Mini
Research Sosiolinguistik
"Alih
Kode dan Campur Kode pada Ragam Bahasa Wacana Dialog Penyir Radio G-Fm Ci-Rahab
Padarincang"
Oleh :
Adis
Rahmat Sukadis
Progam
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Email
: adis_rahmats@yahoo.com
1.
Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dari hal itu maka terjadilah
komunikasi dan bentuk komunikasi yang sangat penting adalah adanya bahasa. Akan
tetapi kadang tanpa sadar penutur acap kali menggunakan bahasa lain yang
diberikan arti hampir mirip dengan bahasa ibunya. Dari itu maka terjadilah alih
kode dan campur kode. Masyarakat kita sekarang ini mungkin memiliki latar
belakang budaya dan bahasa yang heterogen. Dalam arti, budaya dan bahasa
internasional. Masyarakat, khususnya generasi muda dapat dipastikan menguasai
dua bahasa (Indonesia dan daerah). Belum lagi budaya generasi muda yang tidak
dapat lepas dari pengaruh budaya asing. Contohnya, budaya dan bahasa Inggris.
Tidak jauh berbeda dampaknya dalam hal penyiaran radio dengan contoh pencampur
adukan bahasa agar terkesan lebih kuat pengaruhnya terhadat pendengar.
Munculnya pencampur adukan bahasa tersebut dapat dilatar belakangi oleh maksud
si penyiar agar dapat menarik simpati dari para pendengar untuk ikut bergabung
dalam acara yang dibawakan oleh penyiar tersebut.
Menyikapi
penggunaan bahasa Indonesia di radio, khususnya radio swasta, di mana sejumlah
penyiarnya seringkali melakukan alih kode (ke dialek sunda) atau menyilipkan
istilah-istilah/kata-kata bahasa Inggris, hendaknya kita tidak serta merta
menyatakan bahwa tindak berbahasa itu tidak benar dan penuturnya tidak mampu
berbahasa Indonesia secara baik dan benar yang cenderung untuk mengangkat
prestise-nya dengan cara menggunakan unsur-unsur bahasa selain bahasa
Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan yang bersangkutan berbahasa seperti
itu.
Seorang penyiar
radio menyelipkan dialek Sunda, misalnya, karena mungkin, khalayak pendengarnya
menghendaki dialek itu. Sebab, mungkin, dialek Sunda dianggap berkesesuaian
dengan selera pendengarnya. Dalam hal ini faktor pendengar menjadi penyebabnya,
yakni penggunaan atau pemilihan dialek tertentu dilakukan untuk memenuhi
‘tuntutan’ pendengarnya. Bila dilihat dari sudut penyiarnya, mungkin, yang
bersangkutan ingin mengidentifikasikan diri sebagai penutur berprestise tinggi
seperti layaknya para selebritis di Jakarta. Dengan menggunakan dialek Sunda,
lalu dia berkeyakinan bahwa prestise-nya akan naik maka faktor penyebabnya
adalah motivasi, yakni motivasi dalam rangka untuk mencapai prestise melalui
penggunaan bahasa (dialek) tertentu. Mungkin saja, alih bahasa atau dialek itu
disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya, yang berkaitan dengan sosial
budaya (hubungan status-peranan sosial, sistem nilai dan sebagainya ) dari
masyarakat tertentu. Seorang penyiar yang menyelipkan unsur-unsur dari bahasa
daerah, misalnya: mangga, (bahasa Sunda), dan, semonggo, (bahasa Jawa) yang
memancarkan konotasi hormat, hendaknya kita pahami sebagai tindak berbahasa
yang dilandasi oleh “keharusan social-budaya” di mana penutur itu harus berlaku
hormat terhadap para pendengar pemilik bahasa itu (faktor sosial budaya).
Tidak dipungkiri bahwa hal perkodean adalah masalah
yang penting untuk diteliti dalam linguistik. Hal demikian disebabkan oleh
kenyataan bahwa ihwal kode itu sulit dan rumit untuk dicermati. Dikatakan rumit
karena ihwal kode itu berkaitan erat dengan konteks situasi, yakni suasana yang
mewadahi kode itu sendiri. Suasana yang dimaksud mencakup dua hal yaitu
seting sosial dan seting kultural. Dengan kata lain apabila orang
sudah menjadi individu yang bilingual tentu kode-kode yang dimilikinya akan
menjadi semakin rumit. Namun, pasti semakin menarik pula untuk digambarkan dan
dijelaskan. Sebagai
seseorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, dan juga terlibat dengan
dua budaya, seorang dwibahasawan tentulah tidak terlepas dari akibat-akibat
penggunaan dua bahasa itu. Salah satu akibat dari kedwibahasaan adalah adanya
tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau digunakannya
unsur-unsur dari bahasa yang satu pada penggunaan bahasa yang lain. Berangkat
dari gambaran kenyataan itu dapat ditegaskan bahwa ihwal kode itu perlu segara
diteliti, dikaji dan diperikan secara mendalam.
Kajian
perkodean sebanarnya dapat meliputi berbagai hal, seperti campur kode,
interferensi dan integrasi, alih kode dan sebagainya (Suwito, 1983:67-81).
Analisis kalian ini berfokus pada salah satu aspek dari beberapa masalah
perkodean yang disebutkan di atas, yakni alih kode dan campur kode yang terjadi
pada dialog penyiar radio. Soewito (Chaer dan leoni agustina 2004 : 114)
membedakan adanya dua macam alih kode yaitu alih kode intern dan alih kode
ekstrn, yang dimaksud alih kode intrn adalah alih kode yang berlangsung
antarbahasa sendiri seperti dari bahasa Indonesia (BI) ke bahasa Sunda (BS)
atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri
dengan bahasa asing (BA).
Orang dapat
menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam
bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia
disebut kedwibahasawan). Selain istilah bilingualisme dengan
segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia
disebut juga keanekabahasawan) yaitu keadaan digunakannya lebih dari
dua bahasa oleh seeorang dalam pergaualannya dengan orang lain secara
bergantian dalam penulisan ini tentang multilingualisme tidak akan dibicarakan
secara khusus sebab modelnya sama dengan bilingualisme.
Masyarakat
tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah
karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan
dengan masyarakat tutur lain maka masyarakat tutur itu akan menjadi masyarakat
tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat tutur yang monolingual (Chaer
dan Leonie, 1995:111). Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka artinya yang
mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain, tentu apa yang mengalami
apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan
sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai
akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang ada di dalam sosiolinguistik
disebut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi,
integrasi, konvergensi dan pergeseran bahasa. Dalam penulisan ini
hanya akan membahas tentang bilingualisme, alih kode dan campur kode yang
merupakan kerangka teori dari penelitian yang berjudul “Alih Kode
dan Campur Kode pada Ragam Bahasa Wacana Dialog Penyir Radio G-Fm Ci-Rahab
Padarincang.”
2. Rumusan Masalah
Masalah dalam
kajian ini pada intinya hanyalah difokuskan pada satu macam gejala bahasa
saja yakni alih kode yang meliputi:
1. Apakah
yang dimaksud dengan alih kode dan campur kode?
2. Bagaimanakah
kode yang dipakai dalam percakapan penyiar radio?
3. Bagaimanakah
jenis, tataran, sifat, dan faktor
penyebab terjadinya alih kode dan campur kode yang dipakai
dalam peristiwa percakapan penyiar radiodi ?
3. Tujuan
Penulisan
Dari rumusan di
atas penulisan ini berusaha untuk mendapatkan gambaran mengenai:
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan alih kode dan campur kode.
2. Untuk
mengetahui kode yang dipakai dalam percakapan penyiar radio.
3. Untuk
mengetahui jenis, tataran, sifat, dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan
campur kode yang dipakai dalam peristiwa percakapan penyiar radiodi.
4. LANDASAN TEORITIS
4.1 Kode
Istilah
kode di sini dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian dalam hirakhi
kebahasaan. Kode dapat menyaran pada (1) bahasa, dan (2) varian dari suatu
bahasa. Bila bahasa dipandang sebagai suatu kode, kita, misalnya, akan
mengetahui bahwa bahasa Banjar, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan sebagainya
adalah kode-kode. Suatu bahasa memiliki sejumlah varian bahasa dan selanjutnya
setiap varian bahasa juga disebut kode.
Lebih
lanjut, Soepomo Poedjosoedarmo (1978:30) menjelaskan bahwa tingkat tutur
dipandang sebagai suatu kode. Tingkat tutur mempunyai ciri khusus sesuai dengan
latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya, dan situasi tutur
yang ada. Tingkat tutur itu biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata
dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Bagi masyarakat
ekabahasa, kode itu merupakan varian dari bahasanya yang satu. Akan tetapi,
bagi masyarakat yang dwibahasa atau anekabahasa, inventariasai kode itu menjadi
lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih.
4.2 Batasan Alih Kode
Dalam mayarakat tutur yang bilingual,
penutur ada kalanya mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur, hal ini
tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Alih
kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat
multilingual. Artinya dalam masyarakat multilingual mungkin sekali seorang
penutur menggunakan berbagai kode dalam tindak tuturnya. Peristiwa peralihan
kode ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu. Sesuai
pengertian kode, kode tersebut dapat mencangkup bahasa atau ragam bahasa.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa
konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu
ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam
akrab; atau dari dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur
tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah,
misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.
Kridalaksana (1982: 7) menegaskan
bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau
situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode.
Alih kode dapat terjadi pada
masyarakat tutur yang bilingual atau multilingual, namun juga terjadi pada
masyarakat bahasa monolingual. Pada masyarakat tutur bilingual atau
multilingual, alih kode dapat terjadi dari varian bahasa yang satu ke varian
bahasa yang lain.
Faktor-faktor penyebab alih kode
dapat ditelusuri melalui keterkaitan suatu pembicaraan dengan konteks dan
situasi berbahasa. Fishman (Chaer dan Agustini 2004 : 108) mengemukakan
faktor-faktor dalam suatu interaksi pembicaraan yang dapat mempengaruhi
penetapan makna, yaitu:
1. Siapa pembicara atau bagaimana
pribadi pembicara ?
2. Di mana atau kapan pembicaraan itu
berlangsung ?
3. Apa modus yang digunakan ?
4. apa topik atau subtopik yang
dibicarakan ?
5. Apa fungsi dan tujuan pembicaraan ?
6. Apa ragam bahasa dan tingkat tutur
yang digunakan ?
Dari berbagai sudut pandang yang
dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, alih kode dapat dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1.
Jenis
alih kode : alih bahasa, alih ragam bahasa, alih tingkat tutur;
2.
Tataran
alih kode: tataran fonologi, tataran fonem, tataran kata atau frase;
3.
Sifat
alih kode: alih kode sementara,alih kode tetap atau permanen;
4.
Faktor
penyebab alih kode: pribadi pembicara, hubungan pembicara dengan mitra
pembicara, topik pembicaraan.
4.3 Batasan Campur Kode
Kridalaksana (1982: 32) memberikan
batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari
suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa;
termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
Nababan (1991: 32) menegaskan bahwa
suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau
lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut
percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan atau
kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.
Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Ciri yang
menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Kalau
terdpat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan karena tidak ada
ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata
atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
Sifat campur kode dibedakan antara
interferensi dengan kalimat integratif. Interferensi merupakan masuknya unsur
suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang belum diserap, jadi bersifat sementara.
Seperti halnya alih kode, campur kode juga dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang:
1. Jenis campur kode: campur bahasa,
campur ragam, campur tingkat tutur.
2. Tataran campur kode: tataran fonem,
tataran morfem, tataran kata atau frasa, tataran kalimat.
3. Sifat campur kode: campur kode
sementara, campur kode tetap atau permanen.
4.4
Faktor-Faktor Penyebab dan Tujuan Melakukan Alih Kode atau Campur Kode
Beberapa faktor penyebab terjadinya
alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pembicara dan Pribadi Pembicara
Pembicara kadang-kadang sengaja
beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan
beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni
dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang
tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode
bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.
2. Mitra Bicara
Mitra bicara dapat berupa individu
atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula
menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra
bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang
bawahan yang berbicara dengan seorang atasan mungkin menggunakan bahasa
Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat
tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati. Sebaliknya, seorang atasan
yang berbicara dengan bawahan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi
kata-kata daerah (Sunda) yang memiliki tingkat tutur rendah dengan maksud untuk
menjalin keakraban. Pertimbangan mitra bicara sebagai orang ketiga juga dapat
menimbulkan alih kode jika orang ketiga ini diketahui tidak dapat menggunakan
bahasa yang mula-mula digunakan kedua pembicara. Misalnya, pembicara dan mitra
bicara menggunakan bahasa Sunda beralih kode menggunakan bahasa Indonesia
karena hadirnya seorang penutur yang berbahasa Indonesia memasuki situasi
pembicaraan.
3. Tempat Tinggal dan Waktu
Pembicaraan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah
terminal bus di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai
etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak
alih kode dan campur kode. Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa
ke tingkat tutur bahasa yang lain. Seorang penjual karcis bus di sebuah
terminal yang multilingual pada jam-jam sibuk beralih kode dengan cepat dari
bahasa satu ke dalam bahasa yang lain dan juga melakukan campur kode atau
bahasa.
4. Modus Pembicaraan
Modus pembicaraan merupakan sarana
yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon, atau
melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan
modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan
ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode
daripada dengan menggunakan modus tulis.
5. Topik
Dengan menggunakan topik tertentu,
suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur
kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi
formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam
situasi “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam
non-formal kadang kadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu
topik pembicaraan non-ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan
yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode.
6. Fungsi dan Tujuan
Fungsi bahasa yang digunakan dalam
pembicaraan didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan
ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan,
mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut
fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi komunikasi. Alih
kode dapat terjadi karena situasi dipandang tidak sesuai atau tidak relevan.
Dengan demikian, alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara
fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau
lebih.
7. Ragam dan Tingkat Tutur Bahasa
Pemilihan ragam dan tingkat tutur
bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan pada mitra bicara. Pertimbangan ini
menunjukkan suatu pendirian terhadap topik tertentu atau relevansi dengan
situasi tertentu. Alih kode dan campur kode lebih sering timbul pada penggunaan
ragam non-formal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam
bahasa tinggi.
5. Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan di Studio
Radio G-FM Ci Rahab. Metode yang digunakan untuk mencari data adalah merekam
dialog penyiar radio dan mencatatnya. Dengan dua orang responden penyiar radio
dan tiga orang penelepon.
5.1 Deskripsi
Data
Nama Radio : G-Fm Radio
Nama Penyiar 1 : Aqim (24 Tahun)
Nama Penyiar 2 : Aji (23 Tahun)
Penelepon : Devi, Dani, Agus, dan Risma
Segment : TILAM (Titip Salam) dan Request Lagu
Durasi : Pukul 20.00-23.00 WIB
5.2 Analisis
Data
Data I
Penyiar 1
: Hallo . . . Sobat G-FM mania, met malam nich . . . ketemu lagi bareng Aqim dan . . . (1)
Penyiar 2 : Aji di 94,5 G-FM Radio. (2)
Penyiar 1 : Gimana nih kabar sobat G-FM semua dimana pun
berada ?? (3)
Penyiar 2 : Yang pasti kita harap sobat G-FM semua fain-fain aja. YA ga . . . (4)
Penyiar 1 : So
pasti lah . . . (5)
Penyiar
2 : Ok . . . kita berdua akan temenin
sobat G-FM mania selama tiga jam kedepan dalam acara . . . apa Ji ?? (6)
Penyiar 1 : Ya. . .
Dalam acara TILAM (Titip Salam) dan Request lagu (7)
Penyiar
2 : Yang pasti sobat G-FM mania bisa Request dan titip salam dengan seseorang
yang spesial tentunya bagi sobat G-FM semua. (8)
Penyiar
1 : Ya udah buat sobat G-FM semua
yang pengen ikutan gabung ditunggu di line
SMS dan telpon di 081906235259. (9)
Penyiar
2 : Untuk mengawali perjumpaan kita di acara TILAM ni kita akan puterin sebuah
lagu yang enak banget didengerinnya (10)
Penyiar 1 : Laguna
saha?? (11)
Penyiar 2 : Sebuah
lagu dari J-ROCK-Felling In Love . . . (12)
Analisis
Data I
1.
Modus pembicaraan : Tatap muka secara
lisan.
2.
Topik dan subtopik pembicaraan
Topik Pembicaraan: : Pembukaan acara radio G-FM
3.
Fungsi dan Tujuan Berbahasa
Fungsi kalimat (1), (2) : membuka percakapan dan mengajak berkenalan
Fungsi kalimat (3), (4), (5) : menjalin keakraban
Fungsi kalimat (6) : menjelaskan keadaan
Fungsi kalimat (7), (8), (9), (10) : memberikan tawaran
Fungsi kalimat (11) : menyambut tawaran
Fungsi kalimat (12): memerikan informasi
4.
Bahasa, Ragam, dan Tingkat Tutur. Bahasa
yang mula-mula digunakan adalah bahasa Indonesia (kalimat 1, 2, dan 3). Bahasa
yang kemudian digunakan adalah bahasa Inggris dengan tingkat tutur biasa
(kalimat 4, 5, 6 dan 9), dan berlanjut ke dalan bahasa Sunda dengan tingkat
tutur biasa (kalimat 11). Ragam bahasa yang digunakan adalah ragam
santai/non-formal dan sopan.
Dari analisis data 1 dapat
dikemukakan bahwa pada dialog ini terjadi alih kode, yaitu pada kalimat (11).
Alih kode pada data 1 dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai
berikut :
1.
Jenis alih kode adalah alih kode
bahasa
2.
Tataran alih kode adalah tataran
kalimat
3.
Sifat alih kode sementara tergantung
situasi
4.
Faktor penyebab alih kode ialah Penyiar
1 pada kalimat (11) menggunakan bahasa lain (bahasa Sunda) dengan maksud
membangun keakraban anatara penyiar 1 dan 2 sekaligus menghormati lawan
tuturnya dalam membawakan acara tersebut, dengan memberikan isyarat bersedia
berbicara dalam bahasa asli lawan tuturnya.
Pada dialog 1 terjadi campur kode.
Penyiar 1 dan 2 melakukan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris
yaitu pada kalimat 4, 5, 6, dan 9. Campur kode Data 1 dilihat dari berbagai
sudut pandang adalah sebagai berikut :
1.
Jenis campur kode ialah campur
bahasa
2.
Tataran campur kode ialah tataran
kata
3.
Sifat campur kode sementara
4.
Faktor penyebab campur kode ialah
perbedaan tujuan dalam menggunakan bahasa. Yang satu ingin menghormati bahasa
lawan bicaranya, sementara lawan bicaranya ingin mempraktekkan atau melatih
kemampuan bahasa asingnya.
Data II
Penyiar 2 : Kayana tos aya nu asup hallo . . . (1)
Penyiar 1 : Hallo . .
. sareng
saha dimana ?? (2)
Penyiar 2 : Hallo . .
. te
aya suarana!! (3)
Penelepon : Iya hallo . . . G-FM Radio. (4)
Penyiar 1 : Siapa
dimana ?? (5)
Penelepon : Dengan Devi di Barugbug. (6)
Penyiar 2 : Iya Devi
lagi ngapain ni ?? (7)
Penelepon : Gi tiduran ja di kamar!! (8)
Penyiar 1 : Mau Riquest lagu pa ni ?? (9)
Penelepon : Minta lagunya Zigas dong yang sahabat jadi
cinta. (10)
Penyiar 2 : Lagunya
buat siapa ni ?? (11)
Penelepon : Buat semua Sobat G-FM ja yang lagi dengerin. (12)
Penyiar 1 : Ok . . . ditunggu ya lagunya. (13)
Penelepon : Thnks ya
. . . (14)
Penyiar 2 : Ok.
Makasih juga Devi dah ikut gabung bareng kita disisni. (15)
Analisis
Data II
1.
Modus pembicaraan : Melalui telepon secara
lisan.
2.
Topik dan subtopik pembicaraan
Topik Pembicaraan : Riquest lagu dan kirim salam
3.
Fungsi dan Tujuan Berbahasa
Fungsi kalimat (1),(3) : menjelaskan
keadaan
Fungsi kalimat (2) (4), : membuka percakapan
Fungsi kalimat (5), : mengajak berkenalan
Fungsi kalimat (6) : menyambut perkenalan
Fungsi kalimat (7),(8), (13),(15) : menjalin keakraban
Fungsi kalimat (9), (11): memberikan tawaran dan kalimat (10),(12),(14) :
menyambut tawaran
4.
Bahasa, Ragam, dan Tingkat Tutur. Bahasa
yang mula-mula digunakan adalah bahasa Sunda (kalimat 1, 2, dan 3). Bahasa yang
kemudian digunakan adalah bahasa Indonesia dengan tingkat tutur biasa (kalimat
4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, dan 13), dan berlanjut ke dalan bahasa Inggris
dengan tingkat tutur biasa (kalimat 9 dan 14). Ragam bahasa yang digunakan
adalah ragam santai/non-formal dan sopan.
Dari analisis data II dapat
dikemukakan bahwa pada dialog ini terjadi alih kode, yaitu pada kalimat (4). Alih
kode pada data II dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1.
Jenis alih kode adalah alih kode
bahasa
2.
Tataran alih kode adalah tataran
kalimat
3.
Sifat alih kode sementara tergantung
situasi
4.
Faktor penyebab alih kode ialah
adanya perubahan situasi karena adanya orang ketiga. Penyiar 1 pada kalimat (5) menggunakan bahasa
lain (bahasa Indonesia) dengan maksud membangun keakraban anatara penelepon dan
penyiar sekaligus menghormati lawan tuturnya dalam hal ini penelepon yang tidak
bisa menggunakan bahasa Sunda dalam dialog interaktifnya, dengan memberikan
isyarat bersedia berbicara dalam bahasa keduannya yaitu bahasa Indonesia.
Pada dialog II terjadi campur kode.
Penutur dan lawan tutur melakukan campur kode bahasa bahasa Indonesia dengan
bahasa Inggris yaitu pada kalimat 9 dan 14. Campur kode Data II dilihat dari
berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1.
Jenis campur kode ialah campur
bahasa
2.
Tataran campur kode ialah tataran
kata
3.
Sifat campur kode sementara
4.
Faktor penyebab campur kode ialah
perbedaan tujuan dalam menggunakan bahasa. Yang satu ingin menghormati bahasa
lawan bicaranya, sementara lawan bicaranya ingin mempraktekkan atau melatih
kemampuan bahasa asingnya.
Data III
Penyiar 1 : Haloo….. (1)
Penelepon : Iy hallo… G-FM Radio… (2)
Penyiar 2 : Iy
btul. Dengan siapa dimana?? (3)
Penelepon : Dengan Dani di Ciomas. (4)
Peyiar 1 : Iy Dani, Sedang apa nie?? (5)
Penelepon : Ehm..
lagi ngopi ni di base came. (6)
Penyiar 2 :
Waduh . . . mantap tuh tiris-tiris kieu
!! (7)
Penyiar 1 : Wey
malem minggu ga ngapel kitu ?? (8)
Penelepon
: Ngapel kemana!! Te gaduh nu jeung
diapelana. Mendingan ngopi bareng
my fren.(9)
Penyiar
1 : Bener-bener dari pada keluyuran ga
karuan, mendingan ngumpul bareng
temen-temen. (10)
Penyiar 2 : Ok
. . . Dan mau Riquest lagu siapa ni ?? (11)
Penelepon : Lagunya Iwan Fals dong yang
Maaf Cintaku. (12)
Penyiar 1 : Boleh, lagunya buat siapa?? (13)
Penelepon
: Buat anak-anak GANCI ja yang gi dengerin moga damai semua thnks ya. (14)
Penyiar 2 : Ok.
Ditunggu ya. . . (15)
Analisis
Data III
1.
Modus pembicaraan : Melalui telepon
secara lisan.
2.
Topik pembicaraan
Topik Pembicaraan : Riquest lagu dan kirim salam
3.
Fungsi dan Tujuan Berbahasa
Fungsi kalimat (1),(2) : membuka
percakapan
Fungsi kalimat (3) (4) : mengajak berkenalan
Fungsi kalimat (5),(6),(7),(8),(9),(10) : menjalin keakraban
Fungsi kalimat (11),(13) : memberikan tawaran
Fungsi kalimat (12),(14),(15) : menyambut tawaran
4.
Bahasa, Ragam, dan Tingkat Tutur. Bahasa
yang mula-mula digunakan adalah bahasa Indonesia (kalimat 1, 2, 3, 4 dan 5).
Bahasa yang kemudian digunakan adalah bahasa Inggris dengan tingkat tutur biasa
(kalimat 6, 9, 11, 14, dan 15), dan berlanjut ke dalan bahasa Sunda dengan
tingkat tutur biasa (kalimat 7, 8, 9 dan
10). Ragam bahasa yang digunakan adalah ragam santai/non-formal dan sopan.
Dari analisis data III dapat
dikemukakan bahwa pada dialog ini terjadi alih kode, yaitu pada kalimat (9).
Alih kode pada data III dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai
berikut :
1.
Jenis alih kode adalah alih kode bahasa
2.
Tataran alih kode adalah tataran
kalimat
3.
Sifat alih kode sementara tergantung
situasi
4.
Faktor penyebab alih kode ialah
adanya perubahan situasi karena adanya penggunaan bahasa asli (bahasa Sunda B1)
oleh lawan tuturnya dalam hal ini yaitu penyiar 1 dan 2. Penalepon dalam kalimat (9) menggunakan B1
(bahasa Sunda) dengan maksud membangun keakraban anatara penelepon dan penyiar sekaligus
menghormati lawan tuturnya dalam hal ini penelepon yang dapat menggunakan bahasa Sunda dengan baik
(merupakan B1) dengan penyiar yang latar belakangnya sama-sama berasal dari
suku Sunda dalam dialog interaktifnya, dengan memberikan isyarat tersebut yang bersedia
berbicara dalam bahasa pertamanya yaitu bahasa Sunda, karena pembicaraan
tersebut dianggap pembicaraan yang nonformal atau santai.
Pada dialog III terjadi campur kode.
Penutur dan lawan tutur melakukan campur kode bahasa bahasa Indonesia dengan
bahasa Inggris yaitu pada kalimat 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, dan 15. Campur kode
Data III dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1.
Jenis campur kode ialah campur
bahasa
2.
Tataran campur kode ialah tataran
kata atau frasa
3.
Sifat campur kode sementara
4.
Faktor penyebab campur kode ialah
perbedaan tujuan dalam menggunakan bahasa. Yang satu ingin menghormati bahasa
lawan bicaranya, sementara lawan bicaranya ingin mempraktekkan B1 dan melatih
kemampuan bahasa asingnya.
Data
IV
Penyiar 1 : Hallo . . .(1)
Penyiar 2 : Hallo . . . G-FM Radio (2)
Penelepon : Ya halo G-FM Radio. (3)
Penyiar 1 : Dengan siapa dimana?? (4)
Penelepon : Dengan Agus di Padarincang. (5)
Penyiar 2 : Ya Gus mau Riquest lagu siapa nieh?? (6)
Penelepon : Lagunya Kotak yang
pelan-pelan saja. (7)
Penyiar 1 : Lagunya buat siapa nih?? (8)
Penelepon
: Buat alumni SMA 1 Padarincang angkatan
2006 kapan ni kita ngumpul lagi, and spesialnya buat CW gw Ika ku kangen banget
ma kamu I miss you . . . (9)
Penyiar 2 : So Sweeat
. . .!! (10)
Penyiar 1 : . Romantis mat kaya Romeo and juliet ja . .
. .!! hehe (11)
Penyiar 2 : Iya lah . . . kan Cw suka yang
romantis-romantis!!! (12)
Penelepon : Ya dong. Ya udah Bang Thnks ya. Lagunya ditunggu ni!! (13)
Penyiar 1 : Ok lah kalo begitu . . .!!hehe (14)
Penyiar 2 : Makasih Gus . . . (15)
Analisis
Data IV
1.
Modus pembicaraan : Melalui telepon
secara lisan.
2.
Topik pembicaraan
Topik Pembicaraan : Riquest lagu dan kirim salam
3.
Fungsi dan Tujuan Berbahasa
Fungsi kalimat (1),(2),(3) : membuka
percakapan
Fungsi kalimat (4),(5) : mengajak berkenalan
Fungsi kalimat (6),(8) : memberikan tawaran
Fungsi kalimat (7),(9) : menyambut tawaran
Fungsi kalimat (10),(11),(12),(13),(14),(15) : menjalin keakraban
4.
Bahasa, Ragam, dan Tingkat Tutur.
Bahasa yang mula-mula digunakan adalah bahasa Indonesia (kalimat 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7 dan 8). Bahasa yang kemudian digunakan adalah bahasa Inggris dengan
tingkat tutur biasa (kalimat 9, 10, dan 13). Ragam bahasa yang digunakan adalah
ragam santai/non-formal dan sopan.
Dari analisis data IV dapat
dikemukakan bahwa pada dialog ini terjadi alih kode, yaitu pada kalimat (10).
Alih kode pada data IV dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai
berikut :
1.
Jenis alih kode adalah alih kode
bahasa
2.
Tataran alih kode adalah tataran
kalimat
3.
Sifat alih kode sementara tergantung
situasi
4.
Faktor penyebab alih kode ialah
adanya perubahan situasi karena adanya penggunaan bahasa lain (bahasa Inggris
BA) oleh lawan tuturnya dalam hal ini yaitu penelepon yang menggunakan kalimat
“I miss you” yang memancing penyiar 2
unutk melakukan alih kode sementara, dengan maksud membangun keakraban anatara
penelepon dan penyiar sekaligus menghormati lawan tuturnya dalam hal ini
penelepon yang dapat menggunakan bahasa
Asing dengan baik sama halnya dalam penggunaan B1(bahaa Indonesia) Penalepon dalam kalimat (10) menggunakan BA
(bahasa Inggris) karena topik pembicaraan itu sendiri yang memberikan isyarat
untuk dapat berbicara dalam bahasa Asing (bahasa Inggris, serta latar belakang
pembicaraan yang santai.
Pada dialog IV terjadi campur kode.
Penutur dan lawan tutur melakukan campur kode bahasa bahasa Indonesia dengan
bahasa Inggris yaitu pada kalimat 9 dan 13. Campur kode Data IV dilihat dari
berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1.
Jenis campur kode ialah campur bahasa
2.
Tataran campur kode ialah tataran
kata atau frasa
3.
Sifat campur kode sementara
4.
Faktor penyebab campur kode ialah
perbedaan tujuan dalam menggunakan bahasa. Karena yang satu ingin menghormati
bahasa lawan bicaranya, sementara lawan bicaranya ingin mempraktekkan dan melatih
kemampuan bahasa asingnya dengan topik dan situasi pembicaraan yang mendukung.
Data
V
Penyiar 1 : Hallo . . . (1)
Penelepon : Hallo G-FM Radio met malaem.
(2)
Penyiar 2 : Malem juga, dengan siapa dimana?? (3)
Penelepon : Dengan Risma di Cipayung. (4)
Penyiar 1 : Risma lagi ngapain nih?? (5)
Penyiar 2 : Eh Risma mang ga da yang ngapelin gitu?? (6)
Penelepon : Kebetulan ga da tuh. (7)
Penyiar 2 : Boleh dong Aa yang ngapelin?? (8)
Penelepon : Boleh ja tuh, tapi datengnya
bawa oleh-oleh ya . . .!!hehe (9)
Penyiar
2 : Tenang
kin Aa candakeun emang hoyong naon
gitu neng Risma teh?? (10)
Penyiar 1 : Boong Risma gombal tuh!! (11)
Penelepon : Biarin ja sih. Tar kalau ke
rumah Rismanya yang kabur . . . hehe (12)
Penyiar 1 : Ya bener tuh . . . haha (13)
Penyiar 2 : Percuma dong ke rumah juga kalau Rismanya
kabur. (14)
Penyiar 1 : Ya dah Risma pengen Riquest lagu apa nieh?? (15)
Penelepon : Lagunya Nidji dong yang sang
mantan. (16)
Penyiar 2 : Lagunya buat siapa?? (17)
Penelepon : Buat semua yang kenal ma
Risma ja. (18)
Penyiar 1 : Ditunggu ya lagunya . . . (19)
Penelepon : Thnks ya . . . (20)
Analisis
Data V
1.
Modus pembicaraan : Melalui telepon
secara lisan.
2.
Topik dan subtopik pembicaraan
Topik Pembicaraan : Riquest lagu dan kirim salam
3.
Fungsi dan Tujuan Berbahasa
Fungsi kalimat (1),(2) : membuka percakapan
Fungsi kalimat (3),(4) : mengajak berkenalan
Fungsi kalimat (5)-(14) : menjalin keakraban
Fungsi kalimat (15),(17) : memberikan tawaran
Fungsi kalimat (16),(19),(20) : menyambut tawaran
4.
Bahasa, Ragam, dan Tingkat Tutur. Bahasa
yang mula-mula digunakan adalah bahasa Indonesia (kalimat 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8
dan 9) yang dipengaruhi oleh dialek Sunda dan Jakarta. Bahasa yang kemudian digunakan
adalah bahasa Sunda dengan tingkat tutur biasa (kalimat 10), dan berlanjut ke
dalan bahasa Inggris dengan tingkat tutur biasa (kalimat 20) yaitu ucapan
terima kasih. Ragam bahasa yang digunakan adalah ragam santai/non-formal dan
sopan.
Dari analisis data V dapat
dikemukakan bahwa pada dialog ini terjadi alih kode, yaitu pada kalimat (4). Alih
kode pada data V dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1.
Jenis alih kode adalah alih kode
bahasa
2.
Tataran alih kode adalah tataran
kalimat
3.
Sifat alih kode sementara tergantung
situasi
4.
Faktor penyebab alih kode ialah
adanya perubahan situasi karena adanya orang ketiga, topik pembicaraan dan
pribadi pembicara yang mempunyai BI (bahasa Sunda). Penyiar 2 pada kalimat (8) dan (10) menggunakan
bahasa lain (bahasa Sunda) dengan maksud membangun keakraban anatara penelepon
dan penyiar sekaligus dimaksudkan untuk meyakinkan dan menghormati lawan
tuturnya dalam hal ini penelepon.
Pada dialog V terjadi campur kode.
Penutur dan lawan tutur melakukan campur kode bahasa bahasa Indonesia dengan
bahasa Inggris yaitu pada kalimat 9 dan 14. Campur kode Data V dilihat dari
berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :
1.
Jenis campur kode ialah campur
bahasa
2.
Tataran campur kode ialah tataran
kata atau frasa
3.
Sifat campur kode sementara
4.
Faktor penyebab campur kode ialah
perbedaan tujuan dalam menggunakan bahasa. Yang satu ingin menghormati bahasa
lawan bicaranya, sementara lawan bicaranya ingin mempraktekkan bahasa B1
(bahasa Sunda) dan melatih kemampuan bahasa asingnya.
6.
Simpulan
Alih kode terjadi dalam masyarakat
bahasa bilingual, multilingual maupun monolingual. Alih kode yang terjadi dalam
percakapan radio untuk menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan
tertentu. Menurut jenisnya, alih kode dibedakan menjadi alih bahasa, alih
ragam, dan alih tingkat tutur. Ditinjau dari segi tataran, alih kode terdiri
atas alih tataran fonem, alih tataran kata/frasa, dan alih tataran kalimat.
Alih kode juga dapat digolongkan menurut sifatnya, yaitu alih kode sementara
dan alih kode permanen, sedangkan menurut penyebabnya, alih kode terjadi karena
faktor (1) pribadi pembicara, (2) kedudukan, (3) hadirnya orang ketiga, dan (4)
pokok pembicaraan atau topik. Campur kode terjadi dalam masyarakat bilingual,
multilingual maupun monolingual. Campur kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu
dalam situasi berbahasa yang menuntut adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat
juga disebabkan faktor kesantaian, kebiasaan atau tidak adanya padanan yang
tepat. Menurut jenisnya, campur kode dibedakan menjadi campur bahasa, campur
ragam, dan campur tingkat tutur. Ditinjau dari segi tataran bahasa, campur kode
terdiri atas tataran fonem, tataran kata/frasa, dan tataran kaliamt. Campur
kode dapat digolongkan menurut sifatnya, yaitu campur kode sementara
(interferensi) dan campur kode permanen (integrasi). Dalam analisis data di
atas terjadi alih kode dan campur kode yang cukup bervariasi yang dipengaruhi oleh siapa pemicara dan
pribadi pembicara, tujuan, topik, fungsi, modus yang digunakan, ragam bahasa
dan tingkat tutur yang digunakan dalam dialog penyiar radio tersebut.