Wednesday, May 1, 2013

Kajian Drama


Analisis Struktural dan Pragmatik atas “Drama Dag Dig Dug”
Karya Putu Wijaya

oleh
Adis Rahmat. S

Strukturalisme memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw dalam Wiyatmi, 2006 : 89). Dalam penerapannya penelitian dilakukan secara obyektif dalam penerapannya memahami karya sastra secara close reading (membaca karya secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungannya dengan realitas, maupun pembaca) analisis difokuskan pada unsur-unsur intrinsik karya sastra.
Dalam pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural memandang karya sastra sebagai sosok yang berdiri sendiri, mengesampingkan unsur di luar karya sastra. Karya sastra dipandang bermutu, manakala karya tersebut mampu menjalin unsur-nsur secara padu dan bermakna. Hubungan antar unsur hendaknya memilki tujuan dan bersifat estetis. Dengan demikian aspek bentuk dan isi merupakan hal yang harus dikedepankan.
Sekilas cerita drama “Dag Dig Dug” karya Putu Wijaya
Di sebuah rumah hiduplah sepasang suami-istri bersama seorang pembantunya yang bernama Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri itu mendapat kabar bahwa seseorang yang bernama Chairul Umam telah meninggal karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka menerima kabar tersebut melalui sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan menjelaskan hal tentang kematian Chairul Umam lebih lanjut.
Suatu pagi, mereka menunggu tepat pada waktu yang telah dijanjikan. Tak lama kemudian datanglah dua orang tamu yang dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan tentang peristiwa yang menimpa Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar, mereka menyerahkan amplop yang berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu lintas. Setelah itu kedua tamu itu pun pergi. Pada kenyataannya mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Pada saat mereka membuka amplop dan menghitungnya, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari terus berganti, usia mereka pun bertambah tua. Akhirnya mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka. Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli. Setelah membeli bahan-bahan bangunan, keinginan suami bertambah. Ia ingin membeli peti mati agar lengkap bahan-bahan penguburan mereka. Istri menolak keras keinginan Suami, dan seperti biasa mereka kembali cekcok. Selang beberapa hari, dua buah peti mati telah siap diruang tamu disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian memanggil Tobing, mantan anak kos mereka yang telah berkeluarga. Mereka bermaksud menjual rumah itu pada Tobing dengan sistem kredit tak terikat waktu. Yang jelas kredit tersebut harus sudah dilunasi ketika mereka meninggal. Namun sampai cicilan rumah itu lunas, suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya. Ibrahim yang dipercayakan mengurus proses pemakaman mereka juga tidak sabar lagi, padahal kedua suami-istri itu sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam Suami dalam keadaan sekarat, dan keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi suasana, sementara Istri terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf pada Cokro dan Istrinya. Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat yang ia simpan dibawah kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya keadaan menjadi normal kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug.
Jika dilihat dari sudut pandang strukturalisme yang difokuskan pada struktur intrinsiknya (struktur dramatik) drama Dag Dig Dug ini mencakup beberapa kriteria, yang antara lain sebagai berikut :
Tema
Drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya ini mengangkat tema tentang “kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia, dan derita dalam hidup yang berujung pada pertentangan antara Suami Istri serta orang lain disekitarnya dalam menanti kematiani, karena frustrasi oleh berbagai tekanan hidup”.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam drama ini adalah Suami, Istri, Tamu I, Tamu II, Cokro, Ibrahim, dan Tobing. Tokoh Suami dan Istri merupakan tokoh sentral dalam drama ini, sedangkan tokoh lainya pembantu (tokoh bawahan). Penokohan drama ini berlandaskan pada konvensi naskah dan pembawaannya yang mengacu pada karakterisasi tokoh secara sempurna sebagaimana layaknya manusia. Karakterisasi tokoh yang diberikan pengarangnya secara kompleks. Dengan demikian, dalam pementasannya aktor memiliki keleluasaan dalam mengembangkan peran yang dimainkannya, namun tetap dalam batas sebuah konvensi pemeranan yang nyata dan orisinil layaknya manusia pada umumnya.
Jenis Lakon
Jenis lakon dalam naskah Dag Dig Dug ini adalah berbentuk tragedi komedi, yakni bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol yang mengundang tawa, tetapi secara tragis nasib akhirnya menyedihkan. Tragedi komedi yang ditunjukan drama ini yakni tingkah laku kejiwaan (kepikunan) seseorang yang secara psikologi mengalami ketidak laziman, sehingga mengundang tawa para pembaca atau penontonnya. Dalam drama ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Terutama tokoh istri yang sangat mudah percaya pada orang yang belum ia kenal, tetapi pada orang yang ia kenal ia malah tidak percara dan selalu menaruh kecurigaan. Sikap Suami Istri yang selalu menunjukan kekonyolan ketika mereka mempersiapkan segala keperluan pemakaman hingga sampai penyakit sang Suami kumat.
Babak, Setting dan Adegan
Babak Pertama
Setting : Sebuah rumah yang besar yang kosong. Meskipun ditengah-tengahnya ada sebuah meja marmar kecil tinggi diapit dua kursi antik berkaki tinggi, berlengan membundar, berpantat lebar. Di sini sepasang suami istri pensiunan yang hidup dari uang idekosan menerima kabar sesorang telah menggal disana. Dalam surat dijelaskan akan datang utusan yang akan menjelaskan hal tersebut lebih lanjut. Pada hari yang dijanjikan keduanya menuggu.
Adegan :
1.      Masih pagi
2.      Istri bangkit dan pergi ke belakang. Suami terus mempelajari surat tersebut. Waktu berlalu. Habis makan siang.
3.      Dalam percakapan dengan tamu. Tamu tersebut dua orang laki-laki. Keempatnya duduk disekeliling meja. Mereka minum dan makan kue berbungkus daun yang agak merepotkan untuk memakannya. Tapi semuanya mencoba makan kue yang enak tersebut sambil tetap berusaha dalam keadaan suasana bersedih. Mereka juga disuguh makan malam yang harum dan enak.
4.      Sesudah tamu pergi (Suami istri itu kebingungan. Keduanya berdiri memperhatikan uang itu).
5.      Sesudah membongakr surat-surat. Diatas meja, di lantai berserakan surat-surat. Keduanya kecapean untuk merapikan kembali.
6.      Keduanya tertawa puas-puas, lalu minum.
7.      Esok paginya. Mereka berdua duduk minum kopi. Sepeda telah siap di samping kursi untuk berangkat. Suami memakai kemeja dan celana yang disetrika kencang. Ia mengenakan sepatunya. Asmanya kelihatan akan kumat lagi. Di atas meja terlihat sebuah tas. Istrinya bersimpuh di atas kursi, menunggu kesibukan suaminya. Tokek itu berbunyi.
Babak Kedua
Setting : Selang lama kedua orang tua itu bertambah tua dan penyakitan. Tapi mereka berhasil kembali mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Pada suatu hari mereka menunggu tukang yang mereka pesan untuk mengerjakan segala sesuatu apabila mereka meninggal. Segala sesuatu seperti babak pertama. Hanya kini sepeda tidak pernah lagi dipergunakan, digantung, di tengah ruang di atas mereka.
Adegan :
1.      Sesudah minum.
2.      Sedang membagi uang. Uang dikeluarkan dari peti besi memenuhi meja. Istri menghitung, sedangkan suami melihat saja.
3.      Percakapan dengan Ibrahim. Ibrahim berpakaian kedodoran, kumal meyembunyikan sesuatu. ISTRI tidak bersimpati. Yang aktif bicara SUAMI sambil berusaha untuk memperbaiki kesan pertama tukang itu pada istrinya. IBRAHIM sedang berusaha membaca rancangan gambar kuburan itu yang berukuran besar dan dibeber di lantai semuanya berdiri IBRAHIM mangut-mangut.
4.      Batu marmar itu akhirnya dibeli ditumpuk di sekitar mereka. Suami istri itu minum teh kembali tetapi kali ini keduanya menghadapkan kursinya ke tembok supaya dapat memandangi marmar itu. Suami membaca koran.
5.      Peti mati itu juga dibeli dua buah. Diletakan di samping marmar dan ditutup oleh kain sehingga tak kelihatan. Hari itu kedua suami istri memanggil Tobing. Percakapan dengan Tobing.
6.      Percakapan di belakang.
7.      Tobing makan kue lagi kemudian ia memperhatikan marmer itu. Ia berdiri meraba sepeda. Lalu memutar pedalnya. Roda berputar. Mangut-mangut tak mengerti tapi kagum. Kemudian ia memperhatikan barang-barang yang ditutup dengan kain. Ia ingin tahu. Ia membukanya. Ia heran. Ia membukanya lagi. Ia tambah heran. Ia terus membukanya. Tampak dua buah peti mati. Di belakang masih kedengaran suara ribut-ribut. Tobing terheran-heran melihat kedua peti itu. Tiba-tiba ia mencium bau. Ia mencari-cari. Akhirnya ia meraba salah satu peti. Ia mencium-cium. Kemudian ia membukanya. Tiba-tiba ia terkejut. Menutup hidung dan menutup peti itu kembali.
8.      Sesudah Tobing pergi. Kain yang menyelimuti peti itu tersingkap sehingga kelihatan peti.
9.      Masuk istrinya membawa kain putih.
10.  Suami menarik kain itu dengan maksud untuk membuangnya. Tahu gelagat itu istri menghindarinya.
Babak Ketiga
Setting : Suami istri tersebut menjadi sangat tua, pikun dan penyakitan. Tetapi telah lengkap mengumpulkan semua bahan-bahan untuk kuburannya. Semuanya diletakan di sekitar kursi tempat mereka minum. Peti mati tidak lagi ditutupi, keduanya sudah bisa memandang sambil menunggu hari mati mereka. Sepeda sudah dijual. Ibrahim sudah tak sabar menanti kapan ia akan mengerjakan kuburan tersebut. Tobing sendiri yang menjadi setengah tua sudah melunasi uang cicilannya. Hanya kedua orang tua belum juga mati. Keduanya kini menghadapkan kursinya kearah peti mati tersebut.


Adegan :
1.      Istri mengukur peti itu dengan jarinya.
2.      Istri mendekati lagi batu marmar.
3.      Istri naik ke batu-batu marmar itu.
4.      Istri berhasil naik agak tinggi ia berusaha naik lagi.
5.      Istri mencoba naik lagi.
6.      Suami bangkit dari kursinya. Tapi segera duduk lagi.
7.      Suami berusaha untuk bangun sambil menahan sakitnya.
8.      Suami sampai dekat marmar. Ia mencoba hendak menengok ke atas tapi lehernya kaku dan tambah sakit.
9.      Lampu padam. Tapi mereka berdua masih memangil-mangil Cokro.
10.  Adegan Cokro. Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu dan sebagainya alat-alat untuk membersihkan. Ia melemparkan alat-alat itu ke tengah ruanagan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan yang tua juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat. Ia memperhatikan batu marmar dan peti mati itu dengan mengejek.
11.  Cokro menagis di peti mati itu. Sambil berbicara tak jelas. Tetap cokro sendirian. Ia duduk di kursi sambil menaikan kedua kakinya sebagaimana istri biasanya duduk. Memandang ke luar jendela. Ada suara musik. Ia masih memegang sebuah buku yang rupanya menggangu pikirannya.
12.  Masih tetap Cokro. Cokro sedang mendengarkan radio. Ada siaran dagelan, dagelan ini bebar-benar lucu dan jelas kedengarannya, Cokro tertawa terbahak-bahak mendengarkannya. Ia duduk mencangkung lututnya di lantai sambil memegang sapu, kebut dan alat pelnya. Ketawanya lepas meledak-ledak. Kemudian kedengaran suara memanggil-manggil dari luar pagar.
13.  Mereka berseru berganti-ganti. Cokro masih asik mendengarkan. Waktu seruan itu bertambah keras disertai dengan pukulan pada pagar, Cokro baru mendengarnya. Cepat-cepat ia mematikan radio membereskan segala sesuatu dan lari ke depan sambil membawa sapu.
14.  Malam hari. Batu marmar itu tidak kelihatan lagi. Agak suram. Hanya peti itu saja yang kelihatan kena cahaya lampu listrik yang kebiru-biruan. Kedengaran suara istri yang memanggil-manggil Cokro. Ada percakapan tapi lirih sekali antara Istri dan Cokro. Istri memberikan beberapa perintah. Kemudian istri dan Cokro masuk memapah Suami. Mereka memabawa kedekat peti dan kemudian memasukannya. Lalu mereka menunggunya tanpa berkata-kata. Suami mengerang-ngerang seperti sekarat. Keadaan tegang. Suami mengangkat tangannya menunjuk jendela minta dibuka! Cokro segera membuka jendela. Suami minta lamu yang terang. Semua lampu dinyalakan sehingga terang benderang. Ia minta supaya radio dibunyikan. Istri membunyikan radio. Tapi tak ada siaran lagi hanya rdio amatir dengan lagu-lagu Rock. Terpaksa lagu rock saja, dengan komentar penyiarnya yang kedengarannya ngantuk sekali. Suami minta radio dikeraskan. Dikeraskan jangan terlalu menyentak dan jendela ditutup lagi. Semuanya dipenuhi. Kedua wanita itu menunggu dengan setia.
15.  Cokro membaca do’a mengatasi suasana. Istri mengisak-isak di samping peti mati.
16.  Lampu redup pelan-pelan
17.  Lampu hidup mendadak. Suami memegang cangkir kopi mukanya cerah dan sehat. Ia tertawa geli. Di sampingnya istrinya seperti biasa duduk membelakangi peti mati.
18.  Malam kembali. Suami istri itu kini dua-duanya berbaring dalam peti mati. Cahaya suram. Istri mendengkur. Lama hening. Kemudian suami mulai resah membolak-balik dirinya lalu mengeluh-ngeluh.
19.  Mereka berdua memandang dengan asik. Cokro datang dengan teko langsung menuangkan air ke teko di meja. Muka masam.
20.  Mereka memperhatikan lagi. Masuk kembali Cokro mukanya tambah masam.
21.  Cokro menunggu jawaban tapi Suami Istri itu masih tetap memandang langit. Cokro kembali kebelakang.
22.  Cokro muncul dengan tenang tapi menahan marah.
23.  Suami dan Istri keluar bersama dari belakang dengan marah-marah.
Plot
Plot atau alur cerita merupakan rangkaian cerita atau rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat). Peristiwa demi peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya. Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita.
Plot dalam naskah Dag-Dig-Dug berjalan lurus (maju) yakni linear plot. dimana suatu kejadian dan konflik tersusun secara berurutan. Dimana penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir. Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag Dig Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Struktur Dramatik Drama Dag Dig Dug, antara lain :
Struktur adalah suatu kesatuan dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah atau dihilaangkan, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Struktur dramatik secara  keseluruhan naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara berkesinambungan, peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata rapi satu dengan lainnya yang saling berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang, dan  menarik simpati penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik konvensional dari drama Dag Dig Dug antara lain :
1.      Eksposisi
Eksposisi adalah bagian awal atau perkenalan tokoh (pembukaan) dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfungsi sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi dan sebagainya.
Eksposisi dimulai pada babak I adegan 1, ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Sampai kemudian dua orang tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.
2.      Rising Action
Rising action yakni awal mula masalah atau konflik muncul. Awal mula masalah atau konflik dalam drama ini dimulai pada babak I adegan ke 3, ketika mereka menerima tamu dari Jakarta yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam, serta sekaligus memberikan uang asuransi. Peristiwa inilah yang membuat awal mula masalah berkembang, dimana konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Mereka mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau tidaknya uang asuransi tersebut. Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau jumlah uang yang diterima itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan kebingungan tentang siapa Chairul Umam menghantui mereka, akhirnya uang tersebut diputuskan untuk dikembalikan dengan menambahkan kekurangannya dari gaji pensiunan mereka.
3.      Komplikasi
Komplikasi atau penggawatan (penghadangan) merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan dari tokohnya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan. Kegawatan ini saling bertubrukan dengan tokoh lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati dirinya, sehingga peta konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi dimulai pada babak II adegan 1, ketika mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Sang suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kematian dan penguburan mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain, yakni agar uang dibungakan terlehih dahulu. Mereka pun berdebat, uang pun dibagi tetapi pertengkaran pun berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini justru semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri karena masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.
4.      Klimaks
Komplikasi disusul klimaks yang merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh cerita ditentukan.
Klimaks dimulai pada babak III adegan 21, ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi. Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.
5.      Resolusi
Resolusi yakni penyelesaian masalah yang terdapat dalam drama. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau tokoh-tokohnya terpecahkan. Resolusi pada babak III adegan14, 18 dan 23, ditandai dengan berakhirnya pertengkaran tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati, masing-masing bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya tetapi tidak dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang istri tetap tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang membaringkan Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa. Disini eksistensi masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat keasliannya. Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana karakter tokoh Suami Istri tersebut.
6.      Konklusi
Konklusi adalah bagian terakhir sebuah cerita atau nasib akhir para tokoh dalam drama. Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti tergambar. Konklusi dalam naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog, apakah nasib akhir tokoh Suami dan Istri itu hidup atau mati. Kematian adalah sebuah rahasia yang hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam kungkungan sangkar kesunyian, kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan akhir cerita pada penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir naskahnya.
Amanat
1.      Manusia sebagai mahluk sosial hendaknya harus dapat hidup berdampingan dengan lingkungan sekitarnya tanpa menaruh kecurigaan terhadap orang dikenalnya, biar bagaimana pun orang yang ada disekitar kitalah yang membantu ketika kita dalam kesulitan.
2.      Kehidupan dan kematian seseorang telah ditentukan oleh sang pencipta, karena tak ada seorang pun yang mengetahui kapan ia akan mati. Sebagai manusia kita hanya bisa menjalani dan mempersiapkan kematian kita dengan baik sampai saatnya hari itu tiba.
Dalam pengkajiaan naskah Dag-Dig-Dug ini, menggunakan analisis struktual melalui dialog-dialog tokoh Suami dan Istri dalam konflik atau peristiwa-peristiwa yang terjadi selama alur cerita itu berlangsung.
Drama Dag Dig Dug sebuah drama yang menarik, pengarang tidak mengacuhkan watak dari tokoh-tokohnya seperti dalam lakon-lakon drama biasa. Tokoh Suami dan Istri, mereka hadir dengan membawa kejadian yang sebenarnya terjadi dalam batin, pikiran, dan angan-angan mereka. Masalah kematian merupakan masalah utama sebagai pembicaraan tokoh-tokohnya. Sepintas drama ini kelihatanya absurd, tetapi sebenarnya realistis. Sebab apa yang dipikirkan tokoh-tokohnya merupakan hal yang sering dipikirkan oleh kita. Dialog-dialog yang konyol, segar, dan penuh lelucon menghiasi cerita drama ini dari awal hingga akhir. Bahasa yang digunakannya pun merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga memudahkan dalam pemahaman dialognya.
Naskah drama Dag Dig Dug ini, sebagai karya sastra dipandang sebagai dunia otonom yang mendapatkan perannya dalam jaringan perhubungan antara penulis naskah (teks) dan pembaca, serta faktor-faktor relevan yang mengikat hubungan tersebut. Sebagai sebuah dunia otonom, naskah drama Dag Dig Dug merupakan sebuah sistem yang terbangun atas jalinan unsur-unsurnya. Secara internal unsur-unsur itu saling mengikat, berjalan saling menunjang keberadaan masing-masing serta secara bersama-sama unsur-unsur tersebut membentuk totalitas naskah drama secara utuh. Dengan demikian konflik dalam naskah drama yang membentuk alur ini, juga tidak dapat dilepaskan dari pemahaman terhadap totalitas unsur pembangunnya, karena konflik merupakan bagian integral dari keseluruhan naskah.
Dalam naskah ini, pengarang memberikan kekuasaan penuh pada para penggarap naskahnya, tanpa membatasi gambaran fisiologis para tokohnya. Identitas fisik tokoh-tokohnya  pun disembunyikan oleh pengarang. Ending cerita dan nasib akhir para tokoh sentralnya pun tidak jelas, yang kemungkinan besar diserahkan pada para penggarap naskahnya sehingga kita bebas membawakan sesuai dengan keinginan kita karena tidak ada nama, tempat, dan waktu. Ini merupakan ciri khas karya-karya Putu Wijaya. Padahal jika dilihat pokok permasalahannya drama tersebut mengangkat tema tentang kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia, dan derita dalam hidup. Pemikiran-pemikiran semacam ini, yakni tentang keinginan untuk segera mati karena frustrasi oleh berbagai tekanan hidup justru lebih fenomenal di zaman sekarang ini, manusia sekarang  pada umumnya lebih cenderung ingin berlama-lama menikmati keindahan hudup.
Pengkajian dengan Pendekatan Pragmatik
Sedangkan menurut pandangan pendekatan pragmatik yang memandang bahwa karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Sesuai dengan yang dinyatakan Sutan Takdir Alisjahbana (dalam Wiyatmi 2006 : 86) bahwa karya sastra yang baik haruslah yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dag Dig Dug memang hanya menceritakan pertentangan antara Suami Istri dan orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya yakni Cokro dan Ibrahim. Sifat ngeyel dan kepikunannya karena faktor usia lanjut, yang dimiliki tokoh suami dan istri menjadi daya tarik tersendiri bagi para pembaca sebagai magnet untuk menarik minat pembaca. Pesan-pesan yang disampaikan dalam dialog-dialognya mengandung makna yang mendalam, karena mengandung sindiran-sindirian mengenai tingkah laku kejiwaan seseorang yang secara psikologi mengalami ketidak laziman atau dengan kata lain mengalami cacat tragis yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam menjalani kenyataan hidup sehingga menimbulkan pola watak yang absurd.         
Dengan demikian dalam naskah Dag Dig Dug ini, Putu Wijaya hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi di dalam kehidupan nyata dalam mayarakat, melalui tokoh Suami dan Istri yang bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan seolah-olah merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan dalam drama Dag Dig Dug, serta keinginan untuk mati tokoh utamanya, merupakan sebuah simbol bahwa kehidupan yang dijalani tokoh utamanya akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
Bagaimana pun juga nilai-nilai moral dan religi yang terkandung dalam naskah drama Dag Dig Dug, melalui tokoh suami dan istri yang dapat berguna sebagai contoh dalam menjalani hidup yang penuh dengan ketidak adilan, hendaknya dijadikan teladan bagi para pembaca. Pada hakikatnya tokoh suami dan istri mereka adalah orang-orang yang merasa frustasi dalam menjalani hidup, karena faktor kesendirian, kesunyian, kejenuhan dan tekanan atas segala penyakit yang dideritanya karena usianya yang sudah lanjut. Selain itu mereka juga tidak mempunyai keturunan, yang dalam hal ini untuk diberi amanat agar dapat mengurus prosesi penguburannya nanti. Inilah yang menjadi beban pemikiran bagi pasangan suami istri tersebut. Pada akhirnya amanat itu pun diserahkan pada Ibrahim, yang notabene bukan siapa-siapa mereka. Selain itu tokoh istri yang cenderung tidak mempercayai orang-orang yang ia kenal yang berada di lingkungan sekitarnya, tetapi malah percaya pada orang yang belum sama sekali ia kenal serta gampang percaya pada kabar burung yang belum pasti kebenaranya, akhir kemudian dapat merugikan dirinya sendiri. Sedangkan tokoh Cokro yang sabar dalam menghadapi tekanan hidup dialaminya, karena sering dilecehkan dan di cemooh oleh tokoh suami dan istri. Kebetulan tokoh cokro ini merupakan pembantu dikeluarga suami istri tersebut.
Nilai-nilai itulah yang ingin disampaikan Putu Wijaya kepada para pembaca, supaya dalam menjalani hidup ini kita dapat lebih arif dan bijaksana. Yang mana dalam kehidupan manusia baik atau buruknya kita sendiri yang menentukanya. Sedangkan urusan kematian sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan ia akan mati, karena manusia tidak mempunyai hak sedikit pun untuk mengetahui kematiannya, karena semua yang bernyawa pasti akan kembali pada Sang Penciptanya.. Kita sebagai manusia hanya bisa berpasrah dan menjalani kehidupan ini sesuai dengan yang telah dikodratkan tanpa bisa merubahnya. Sebagai manusia yang bisa kita lakukan hanyalah membuat kehidupan yang kita jalani ini menjadi lebih baik dan berarti bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Serta kehidupan kita berjalan sesuai dengan jalan yang telah diridoi Tuhan.
 


No comments:

Post a Comment

MATERI PEMBELAJARAN KELAS 9 BAB 1: MELAPORKAN HASIL PERCOBAAN

  MATERI PERTEMUAN KE 1 & 2 E-LEARNING KELAS IX MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh: Adis Rahmat S., M.Pd.     bab 1  melap...