Analisis Struktural dan Pragmatik atas “Drama Dag Dig Dug”
Karya Putu Wijaya
oleh
Adis Rahmat. S
Strukturalisme
memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya sastra itu
sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri,
bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw dalam Wiyatmi, 2006 : 89).
Dalam penerapannya penelitian dilakukan secara obyektif dalam penerapannya
memahami karya sastra secara close
reading (membaca karya secara tertutup tanpa melihat pengarangnya,
hubungannya dengan realitas, maupun pembaca) analisis difokuskan pada
unsur-unsur intrinsik karya sastra.
Dalam
pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur
dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural
memandang karya sastra sebagai sosok yang berdiri sendiri, mengesampingkan
unsur di luar karya sastra. Karya sastra dipandang bermutu, manakala karya
tersebut mampu menjalin unsur-nsur secara padu dan bermakna. Hubungan antar
unsur hendaknya memilki tujuan dan bersifat estetis. Dengan demikian aspek
bentuk dan isi merupakan hal yang harus dikedepankan.
Sekilas cerita drama “Dag Dig Dug” karya Putu Wijaya
Di sebuah
rumah hiduplah sepasang suami-istri bersama seorang pembantunya yang bernama
Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri itu mendapat kabar bahwa seseorang yang
bernama Chairul Umam telah meninggal karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka
menerima kabar tersebut melalui sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan
menjelaskan hal tentang kematian Chairul Umam lebih lanjut.
Suatu pagi,
mereka menunggu tepat pada waktu yang telah dijanjikan. Tak lama kemudian
datanglah dua orang tamu yang dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan
tentang peristiwa yang menimpa Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar,
mereka menyerahkan amplop yang berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu
lintas. Setelah itu kedua tamu itu pun pergi. Pada kenyataannya mereka sendiri
sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya
tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Pada saat mereka
membuka amplop dan menghitungnya, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya,
setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang
tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari
gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya
mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari terus
berganti, usia mereka pun bertambah tua. Akhirnya mereka berhasil mengumpulkan
uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka
dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat.
Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan
persiapan kematian mereka. Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya
mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada
Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli. Setelah
membeli bahan-bahan bangunan, keinginan suami bertambah. Ia ingin membeli peti
mati agar lengkap bahan-bahan penguburan mereka. Istri menolak keras keinginan
Suami, dan seperti biasa mereka kembali cekcok. Selang beberapa hari, dua buah
peti mati telah siap diruang tamu disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian
memanggil Tobing, mantan anak kos mereka yang telah berkeluarga. Mereka
bermaksud menjual rumah itu pada Tobing dengan sistem kredit tak terikat waktu.
Yang jelas kredit tersebut harus sudah dilunasi ketika mereka meninggal. Namun
sampai cicilan rumah itu lunas, suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya.
Ibrahim yang dipercayakan mengurus proses pemakaman mereka juga tidak sabar
lagi, padahal kedua suami-istri itu sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam
Suami dalam keadaan sekarat, dan keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi
suasana, sementara Istri terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf
pada Cokro dan Istrinya. Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat
yang ia simpan dibawah kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya
keadaan menjadi normal kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug.
Jika
dilihat dari sudut pandang strukturalisme yang difokuskan pada struktur
intrinsiknya (struktur dramatik) drama Dag Dig Dug ini mencakup beberapa
kriteria, yang antara lain sebagai berikut :
Tema
Drama
Dag Dig Dug karya Putu Wijaya ini mengangkat tema tentang “kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia, dan derita
dalam hidup yang berujung pada pertentangan antara Suami Istri serta orang lain
disekitarnya dalam menanti kematiani, karena frustrasi oleh berbagai tekanan
hidup”.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh
dalam drama ini adalah Suami, Istri, Tamu I, Tamu II, Cokro, Ibrahim, dan
Tobing. Tokoh Suami dan Istri merupakan tokoh sentral dalam drama ini,
sedangkan tokoh lainya pembantu (tokoh bawahan). Penokohan drama ini
berlandaskan pada konvensi naskah dan pembawaannya yang mengacu pada karakterisasi
tokoh secara sempurna sebagaimana layaknya manusia. Karakterisasi tokoh yang
diberikan pengarangnya secara kompleks. Dengan demikian, dalam pementasannya aktor
memiliki keleluasaan dalam mengembangkan peran yang dimainkannya, namun tetap
dalam batas sebuah konvensi pemeranan yang nyata dan orisinil layaknya manusia
pada umumnya.
Jenis
Lakon
Jenis lakon
dalam naskah Dag Dig Dug ini adalah berbentuk tragedi komedi, yakni bentuk
lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol yang mengundang tawa, tetapi
secara tragis nasib akhirnya menyedihkan. Tragedi komedi yang ditunjukan drama
ini yakni tingkah laku kejiwaan (kepikunan) seseorang yang secara psikologi
mengalami ketidak laziman, sehingga mengundang tawa para pembaca atau
penontonnya. Dalam drama ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan
yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Terutama tokoh istri yang sangat
mudah percaya pada orang yang belum ia kenal, tetapi pada orang yang ia kenal
ia malah tidak percara dan selalu menaruh kecurigaan. Sikap Suami Istri yang
selalu menunjukan kekonyolan ketika mereka mempersiapkan segala keperluan
pemakaman hingga sampai penyakit sang Suami kumat.
Babak,
Setting dan Adegan
Babak
Pertama
Setting : Sebuah
rumah yang besar yang kosong. Meskipun ditengah-tengahnya ada sebuah meja
marmar kecil tinggi diapit dua kursi antik berkaki tinggi, berlengan membundar,
berpantat lebar. Di sini sepasang suami istri pensiunan yang hidup dari uang
idekosan menerima kabar sesorang telah menggal disana. Dalam surat dijelaskan
akan datang utusan yang akan menjelaskan hal tersebut lebih lanjut. Pada hari
yang dijanjikan keduanya menuggu.
Adegan :
1. Masih
pagi
2.
Istri bangkit dan pergi ke belakang.
Suami terus mempelajari surat tersebut. Waktu berlalu. Habis makan siang.
3.
Dalam percakapan dengan tamu. Tamu
tersebut dua orang laki-laki. Keempatnya duduk disekeliling meja. Mereka minum
dan makan kue berbungkus daun yang agak merepotkan untuk memakannya. Tapi
semuanya mencoba makan kue yang enak tersebut sambil tetap berusaha dalam
keadaan suasana bersedih. Mereka juga disuguh makan malam yang harum dan enak.
4.
Sesudah tamu pergi (Suami istri itu
kebingungan. Keduanya berdiri memperhatikan uang itu).
5.
Sesudah membongakr surat-surat. Diatas
meja, di lantai berserakan surat-surat. Keduanya kecapean untuk merapikan
kembali.
6.
Keduanya tertawa puas-puas, lalu minum.
7. Esok
paginya. Mereka berdua duduk minum kopi. Sepeda telah siap di samping kursi
untuk berangkat. Suami memakai kemeja dan celana yang disetrika kencang. Ia
mengenakan sepatunya. Asmanya kelihatan akan kumat lagi. Di atas meja terlihat
sebuah tas. Istrinya bersimpuh di atas kursi, menunggu kesibukan suaminya.
Tokek itu berbunyi.
Babak
Kedua
Setting : Selang
lama kedua orang tua itu bertambah tua dan penyakitan. Tapi mereka berhasil
kembali mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Pada suatu hari
mereka menunggu tukang yang mereka pesan untuk mengerjakan segala sesuatu
apabila mereka meninggal. Segala sesuatu seperti babak pertama. Hanya kini
sepeda tidak pernah lagi dipergunakan, digantung, di tengah ruang di atas
mereka.
Adegan :
1. Sesudah
minum.
2. Sedang
membagi uang. Uang dikeluarkan dari peti besi memenuhi meja. Istri menghitung,
sedangkan suami melihat saja.
3. Percakapan
dengan Ibrahim. Ibrahim berpakaian kedodoran, kumal meyembunyikan sesuatu.
ISTRI tidak bersimpati. Yang aktif bicara SUAMI sambil berusaha untuk memperbaiki
kesan pertama tukang itu pada istrinya. IBRAHIM sedang berusaha membaca
rancangan gambar kuburan itu yang berukuran besar dan dibeber di lantai
semuanya berdiri IBRAHIM mangut-mangut.
4. Batu
marmar itu akhirnya dibeli ditumpuk di sekitar mereka. Suami istri itu minum
teh kembali tetapi kali ini keduanya menghadapkan kursinya ke tembok supaya
dapat memandangi marmar itu. Suami membaca koran.
5. Peti
mati itu juga dibeli dua buah. Diletakan di samping marmar dan ditutup oleh
kain sehingga tak kelihatan. Hari itu kedua suami istri memanggil Tobing.
Percakapan dengan Tobing.
6. Percakapan
di belakang.
7. Tobing
makan kue lagi kemudian ia memperhatikan marmer itu. Ia berdiri meraba sepeda.
Lalu memutar pedalnya. Roda berputar. Mangut-mangut tak mengerti tapi kagum.
Kemudian ia memperhatikan barang-barang yang ditutup dengan kain. Ia ingin
tahu. Ia membukanya. Ia heran. Ia membukanya lagi. Ia tambah heran. Ia terus
membukanya. Tampak dua buah peti mati. Di belakang masih kedengaran suara
ribut-ribut. Tobing terheran-heran melihat kedua peti itu. Tiba-tiba ia mencium
bau. Ia mencari-cari. Akhirnya ia meraba salah satu peti. Ia mencium-cium.
Kemudian ia membukanya. Tiba-tiba ia terkejut. Menutup hidung dan menutup peti
itu kembali.
8. Sesudah
Tobing pergi. Kain yang menyelimuti peti itu tersingkap sehingga kelihatan
peti.
9. Masuk
istrinya membawa kain putih.
10. Suami
menarik kain itu dengan maksud untuk membuangnya. Tahu gelagat itu istri
menghindarinya.
Babak
Ketiga
Setting : Suami
istri tersebut menjadi sangat tua, pikun dan penyakitan. Tetapi telah lengkap
mengumpulkan semua bahan-bahan untuk kuburannya. Semuanya diletakan di sekitar
kursi tempat mereka minum. Peti mati tidak lagi ditutupi, keduanya sudah bisa
memandang sambil menunggu hari mati mereka. Sepeda sudah dijual. Ibrahim sudah
tak sabar menanti kapan ia akan mengerjakan kuburan tersebut. Tobing sendiri
yang menjadi setengah tua sudah melunasi uang cicilannya. Hanya kedua orang tua
belum juga mati. Keduanya kini menghadapkan kursinya kearah peti mati tersebut.
Adegan
:
1. Istri
mengukur peti itu dengan jarinya.
2. Istri
mendekati lagi batu marmar.
3. Istri
naik ke batu-batu marmar itu.
4. Istri
berhasil naik agak tinggi ia berusaha naik lagi.
5. Istri
mencoba naik lagi.
6. Suami
bangkit dari kursinya. Tapi segera duduk lagi.
7. Suami
berusaha untuk bangun sambil menahan sakitnya.
8. Suami
sampai dekat marmar. Ia mencoba hendak menengok ke atas tapi lehernya kaku dan
tambah sakit.
9. Lampu
padam. Tapi mereka berdua masih memangil-mangil Cokro.
10. Adegan
Cokro. Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu
dan sebagainya alat-alat untuk membersihkan. Ia melemparkan alat-alat itu ke
tengah ruanagan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan yang
tua juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari
bekerja berat. Ia memperhatikan batu marmar dan peti mati itu dengan mengejek.
11. Cokro
menagis di peti mati itu. Sambil berbicara tak jelas. Tetap cokro sendirian. Ia
duduk di kursi sambil menaikan kedua kakinya sebagaimana istri biasanya duduk.
Memandang ke luar jendela. Ada suara musik. Ia masih memegang sebuah buku yang
rupanya menggangu pikirannya.
12. Masih
tetap Cokro. Cokro sedang mendengarkan radio. Ada siaran dagelan, dagelan ini
bebar-benar lucu dan jelas kedengarannya, Cokro tertawa terbahak-bahak
mendengarkannya. Ia duduk mencangkung lututnya di lantai sambil memegang sapu,
kebut dan alat pelnya. Ketawanya lepas meledak-ledak. Kemudian kedengaran suara
memanggil-manggil dari luar pagar.
13. Mereka
berseru berganti-ganti. Cokro masih asik mendengarkan. Waktu seruan itu
bertambah keras disertai dengan pukulan pada pagar, Cokro baru mendengarnya.
Cepat-cepat ia mematikan radio membereskan segala sesuatu dan lari ke depan
sambil membawa sapu.
14. Malam
hari. Batu marmar itu tidak kelihatan lagi. Agak suram. Hanya peti itu saja
yang kelihatan kena cahaya lampu listrik yang kebiru-biruan. Kedengaran suara
istri yang memanggil-manggil Cokro. Ada percakapan tapi lirih sekali antara
Istri dan Cokro. Istri memberikan beberapa perintah. Kemudian istri dan Cokro
masuk memapah Suami. Mereka memabawa kedekat peti dan kemudian memasukannya.
Lalu mereka menunggunya tanpa berkata-kata. Suami mengerang-ngerang seperti
sekarat. Keadaan tegang. Suami mengangkat tangannya menunjuk jendela minta
dibuka! Cokro segera membuka jendela. Suami minta lamu yang terang. Semua lampu
dinyalakan sehingga terang benderang. Ia minta supaya radio dibunyikan. Istri
membunyikan radio. Tapi tak ada siaran lagi hanya rdio amatir dengan lagu-lagu
Rock. Terpaksa lagu rock saja, dengan komentar penyiarnya yang kedengarannya
ngantuk sekali. Suami minta radio dikeraskan. Dikeraskan jangan terlalu
menyentak dan jendela ditutup lagi. Semuanya dipenuhi. Kedua wanita itu
menunggu dengan setia.
15. Cokro
membaca do’a mengatasi suasana. Istri mengisak-isak di samping peti mati.
16. Lampu
redup pelan-pelan
17. Lampu
hidup mendadak. Suami memegang cangkir kopi mukanya cerah dan sehat. Ia tertawa
geli. Di sampingnya istrinya seperti biasa duduk membelakangi peti mati.
18. Malam
kembali. Suami istri itu kini dua-duanya berbaring dalam peti mati. Cahaya
suram. Istri mendengkur. Lama hening. Kemudian suami mulai resah membolak-balik
dirinya lalu mengeluh-ngeluh.
19. Mereka
berdua memandang dengan asik. Cokro datang dengan teko langsung menuangkan air
ke teko di meja. Muka masam.
20. Mereka
memperhatikan lagi. Masuk kembali Cokro mukanya tambah masam.
21. Cokro
menunggu jawaban tapi Suami Istri itu masih tetap memandang langit. Cokro
kembali kebelakang.
22. Cokro
muncul dengan tenang tapi menahan marah.
23. Suami
dan Istri keluar bersama dari belakang dengan marah-marah.
Plot
Plot
atau alur cerita merupakan rangkaian cerita atau rangkaian peristiwa yang satu
sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat). Peristiwa demi
peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang tidak dapat
dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua,
peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya.
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran
pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga
mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita.
Plot
dalam naskah Dag-Dig-Dug berjalan lurus (maju) yakni linear plot. dimana suatu
kejadian dan konflik tersusun secara berurutan. Dimana penonton hanya mendapat
pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir.
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag Dig Dug termasuk
kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang
tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila
dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Struktur
Dramatik Drama Dag Dig Dug, antara lain :
Struktur
adalah suatu kesatuan dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah
atau dihilaangkan, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Struktur
dramatik secara keseluruhan naskah ini
dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya
disajikan secara berkesinambungan, peristiwa demi peristiwa dari awal hingga
akhir tertata rapi satu dengan lainnya yang saling berkaitan. Fungsinya untuk
mengungkap pikiran pengarang, dan
menarik simpati penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik
konvensional dari drama Dag Dig Dug antara lain :
1.
Eksposisi
Eksposisi
adalah bagian awal atau perkenalan tokoh (pembukaan) dari suatu karya sastra
drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfungsi sebagai pembuka yang
memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan
untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan
itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu
ketika cerita terjadi dan sebagainya.
Eksposisi
dimulai pada babak I adegan 1, ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri
tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha
mengingat tetapi selalu gagal. Sampai kemudian dua orang tamu datang dan
menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.
2.
Rising Action
Rising
action yakni awal mula masalah atau konflik muncul. Awal mula masalah atau
konflik dalam drama ini dimulai pada babak I adegan ke 3, ketika mereka
menerima tamu dari Jakarta yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam,
serta sekaligus memberikan uang asuransi. Peristiwa inilah yang membuat awal
mula masalah berkembang, dimana konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Mereka
mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau tidaknya uang asuransi tersebut.
Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau jumlah uang yang diterima
itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan kebingungan tentang siapa Chairul
Umam menghantui mereka, akhirnya uang tersebut diputuskan untuk dikembalikan
dengan menambahkan kekurangannya dari gaji pensiunan mereka.
3.
Komplikasi
Komplikasi
atau penggawatan (penghadangan) merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan
dari tokohnya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil
prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu
tidak pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan. Kegawatan ini saling
bertubrukan dengan tokoh lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati
dirinya, sehingga peta konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi
dimulai pada babak II adegan 1, ketika mereka berhasil mengumpulkan uang untuk
persiapan penguburan mereka. Sang suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya
untuk kematian dan penguburan mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain,
yakni agar uang dibungakan terlehih dahulu. Mereka pun berdebat, uang pun
dibagi tetapi pertengkaran pun berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan
persiapan kematian mereka. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini
justru semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang
berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri
karena masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.
4.
Klimaks
Komplikasi
disusul klimaks yang merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini
pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan
perhitungan terakhir yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh
cerita ditentukan.
Klimaks dimulai pada babak III adegan 21, ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi. Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.
Klimaks dimulai pada babak III adegan 21, ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi. Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.
5.
Resolusi
Resolusi
yakni penyelesaian masalah yang terdapat dalam drama. Dalam bagian ini semua
masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau tokoh-tokohnya terpecahkan.
Resolusi pada babak III adegan14, 18 dan 23, ditandai dengan berakhirnya
pertengkaran tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati,
masing-masing bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya
tetapi tidak dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang
istri tetap tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang
membaringkan Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa.
Disini eksistensi masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat
keasliannya. Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana
karakter tokoh Suami Istri tersebut.
6.
Konklusi
Konklusi
adalah bagian terakhir sebuah cerita atau nasib akhir para tokoh dalam drama.
Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti tergambar. Konklusi dalam
naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog, apakah nasib akhir
tokoh Suami dan Istri itu hidup atau mati. Kematian adalah sebuah rahasia yang
hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan
menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam kungkungan sangkar kesunyian,
kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan akhir cerita pada
penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir naskahnya.
Amanat
1. Manusia
sebagai mahluk sosial hendaknya harus dapat hidup berdampingan dengan
lingkungan sekitarnya tanpa menaruh kecurigaan terhadap orang dikenalnya, biar bagaimana
pun orang yang ada disekitar kitalah yang membantu ketika kita dalam kesulitan.
2. Kehidupan
dan kematian seseorang telah ditentukan oleh sang pencipta, karena tak ada
seorang pun yang mengetahui kapan ia akan mati. Sebagai manusia kita hanya bisa
menjalani dan mempersiapkan kematian kita dengan baik sampai saatnya hari itu
tiba.
Dalam
pengkajiaan naskah Dag-Dig-Dug ini, menggunakan analisis struktual melalui
dialog-dialog tokoh Suami dan Istri dalam konflik atau peristiwa-peristiwa yang
terjadi selama alur cerita itu berlangsung.
Drama Dag Dig
Dug sebuah drama yang menarik, pengarang tidak mengacuhkan watak dari
tokoh-tokohnya seperti dalam lakon-lakon drama biasa. Tokoh Suami dan Istri,
mereka hadir dengan membawa kejadian yang sebenarnya terjadi dalam batin,
pikiran, dan angan-angan mereka. Masalah kematian merupakan masalah utama
sebagai pembicaraan tokoh-tokohnya. Sepintas drama ini kelihatanya absurd,
tetapi sebenarnya realistis. Sebab apa yang dipikirkan tokoh-tokohnya merupakan
hal yang sering dipikirkan oleh kita. Dialog-dialog yang konyol, segar, dan
penuh lelucon menghiasi cerita drama ini dari awal hingga akhir. Bahasa yang
digunakannya pun merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga memudahkan
dalam pemahaman dialognya.
Naskah
drama Dag Dig Dug ini, sebagai karya sastra dipandang sebagai dunia otonom yang
mendapatkan perannya dalam jaringan perhubungan antara penulis naskah (teks)
dan pembaca, serta faktor-faktor relevan yang mengikat hubungan tersebut.
Sebagai sebuah dunia otonom, naskah drama Dag Dig Dug merupakan sebuah sistem
yang terbangun atas jalinan unsur-unsurnya. Secara internal unsur-unsur itu
saling mengikat, berjalan saling menunjang keberadaan masing-masing serta secara
bersama-sama unsur-unsur tersebut membentuk totalitas naskah drama secara utuh.
Dengan demikian konflik dalam naskah drama yang membentuk alur ini, juga tidak
dapat dilepaskan dari pemahaman terhadap totalitas unsur pembangunnya, karena
konflik merupakan bagian integral dari keseluruhan naskah.
Dalam naskah
ini, pengarang memberikan kekuasaan penuh pada para penggarap naskahnya, tanpa
membatasi gambaran fisiologis para tokohnya. Identitas fisik tokoh-tokohnya pun disembunyikan oleh pengarang. Ending
cerita dan nasib akhir para tokoh sentralnya pun tidak jelas, yang kemungkinan
besar diserahkan pada para penggarap naskahnya sehingga kita bebas membawakan
sesuai dengan keinginan kita karena tidak ada nama, tempat, dan waktu. Ini
merupakan ciri khas karya-karya Putu Wijaya. Padahal jika dilihat pokok
permasalahannya drama tersebut mengangkat tema tentang kesunyian, kesendirian,
kejenuhan, amarah, emosi, bahagia, dan derita dalam hidup. Pemikiran-pemikiran
semacam ini, yakni tentang keinginan untuk segera mati karena frustrasi oleh
berbagai tekanan hidup justru lebih fenomenal di zaman sekarang ini, manusia
sekarang pada umumnya lebih cenderung
ingin berlama-lama menikmati keindahan hudup.
Pengkajian
dengan Pendekatan Pragmatik
Sedangkan
menurut pandangan pendekatan pragmatik yang memandang bahwa karya sastra
sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini
tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun
tujuan yang lain. Dalam praktiknya cenderung menilai karya sastra menurut
keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Sesuai dengan
yang dinyatakan Sutan Takdir Alisjahbana (dalam Wiyatmi 2006 : 86) bahwa karya
sastra yang baik haruslah yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dag Dig Dug
memang hanya menceritakan pertentangan antara Suami Istri dan orang lain yang
ada di lingkungan sekitarnya yakni Cokro dan Ibrahim. Sifat ngeyel dan
kepikunannya karena faktor usia lanjut, yang dimiliki tokoh suami dan istri
menjadi daya tarik tersendiri bagi para pembaca sebagai magnet untuk menarik
minat pembaca. Pesan-pesan yang disampaikan dalam dialog-dialognya mengandung
makna yang mendalam, karena mengandung sindiran-sindirian mengenai tingkah laku
kejiwaan seseorang yang secara psikologi mengalami ketidak laziman atau dengan
kata lain mengalami cacat tragis yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam
menjalani kenyataan hidup sehingga menimbulkan pola watak yang absurd.
Dengan
demikian dalam naskah Dag Dig Dug ini, Putu Wijaya hendak mengungkapkan
fenomena yang terjadi di dalam kehidupan nyata dalam mayarakat, melalui tokoh
Suami dan Istri yang bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat
prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer,
menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah
tahu kapan kematian akan datang. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat
keduniawian dan seolah-olah merasa sangat yakin akan kepastian akhirat.
Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan dalam drama Dag Dig Dug, serta keinginan
untuk mati tokoh utamanya, merupakan sebuah simbol bahwa kehidupan yang
dijalani tokoh utamanya akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
Bagaimana pun
juga nilai-nilai moral dan religi yang terkandung dalam naskah drama Dag Dig
Dug, melalui tokoh suami dan istri yang dapat berguna sebagai contoh dalam
menjalani hidup yang penuh dengan ketidak adilan, hendaknya dijadikan teladan
bagi para pembaca. Pada hakikatnya tokoh suami dan istri mereka adalah
orang-orang yang merasa frustasi dalam menjalani hidup, karena faktor
kesendirian, kesunyian, kejenuhan dan tekanan atas segala penyakit yang
dideritanya karena usianya yang sudah lanjut. Selain itu mereka juga tidak
mempunyai keturunan, yang dalam hal ini untuk diberi amanat agar dapat mengurus
prosesi penguburannya nanti. Inilah yang menjadi beban pemikiran bagi pasangan
suami istri tersebut. Pada akhirnya amanat itu pun diserahkan pada Ibrahim,
yang notabene bukan siapa-siapa mereka. Selain itu tokoh istri yang cenderung
tidak mempercayai orang-orang yang ia kenal yang berada di lingkungan
sekitarnya, tetapi malah percaya pada orang yang belum sama sekali ia kenal
serta gampang percaya pada kabar burung yang belum pasti kebenaranya, akhir
kemudian dapat merugikan dirinya sendiri. Sedangkan tokoh Cokro yang sabar
dalam menghadapi tekanan hidup dialaminya, karena sering dilecehkan dan di
cemooh oleh tokoh suami dan istri. Kebetulan tokoh cokro ini merupakan pembantu
dikeluarga suami istri tersebut.
Nilai-nilai
itulah yang ingin disampaikan Putu Wijaya kepada para pembaca, supaya dalam
menjalani hidup ini kita dapat lebih arif dan bijaksana. Yang mana dalam
kehidupan manusia baik atau buruknya kita sendiri yang menentukanya. Sedangkan
urusan kematian sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tidak ada seorang pun
yang tahu kapan ia akan mati, karena manusia tidak mempunyai hak sedikit pun
untuk mengetahui kematiannya, karena semua yang bernyawa pasti akan kembali
pada Sang Penciptanya.. Kita sebagai manusia hanya bisa berpasrah dan menjalani
kehidupan ini sesuai dengan yang telah dikodratkan tanpa bisa merubahnya.
Sebagai manusia yang bisa kita lakukan hanyalah membuat kehidupan yang kita
jalani ini menjadi lebih baik dan berarti bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Serta kehidupan kita berjalan sesuai dengan jalan yang telah diridoi
Tuhan.
No comments:
Post a Comment