Mini Research
Pragmatik
“Pelanggaran
Prinsip Kerjasama Dalam Tuturan Kunjungan Anjang Sono KKM UNTIRTA Kelompok 57 di
Rumah Kepala Desa Cimarga, Kec. Cimarga, Kab. Lebak”
Oleh:
Adis Rahmat Sukadis
Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2010
Email: adis_rahmats@yahoo.com
Abstrak
Bahasa
merupakan sistem tanda yang merupakan perwujudan verbal dari ide atau gagasan
si penutur dalam menyampaiakn informasi kepada mitra tutur dan digunakan
sebagai sarana komunikasi. Untuk itu, bahasa tuturan harus mengandung makna
yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Begitu halnya dalam tuturan
yang santun, yang mengandung makna kesantunan. Agar pesan (messege) di dalam aktivitas bertutur dapat sampai dengan
sungguh-sungguh baik kepada diri si mitra tutur, proses komunikasi yang terjadi
di dalam masyarakat tersebut perlu mempertimbangkan prisip-prinsip yakni
prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip kelangsungan. Tujuan penelitian
ini antara lain untuk mengetahui: (1) Pelanggaran-pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam
percakapan survei lokasi KKM dengan Kepala Desa Cimarga; dan (2) Bagaimana pengaruh
situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik, dan teknik
penelitian menggunakan teknik analisis isi. Dari hasil penelitian terdapat tiga pelanggaran maksim kerja
sama, yakni maksim relevansi, maksim pelaksanaan dan maksim kuantitas.
Penggunaan bahasa dalam penelitian ini, masyarakat yang dalam situasi-situasi
tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau
lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain”.
Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh situasi dimana tuturan itu
berlangsung. Dalam situasi tuturan berlangsung dalam lingkungan masyarakat
Sunda yang terkenal dengan kesopansantunannya. Kemudian, situasi kedua yang
menyebabkan terbenturnya prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan adalah
karena situasi keformalan.
Kata kunci: Prinsip Kerjasama dan Tindak Tutur
A.
Pendahuluan
Salah satu alasan mengapa seseorang
menggunakan bahasa pada dasarnya adalah sebagai alat berkomunikasi untuk melakukan sesuatu, meminta sesuatu,
membuat janji, melaporkan suatu berita, memberi salam, meminta maaf, mencari
informasi dan mengundang seseorang di suatu acara. Tindak tutur ini merupakan
bagian dari suatu percakapan yang merupakan sesuatu hal yang kadang-kadang
menimbulkan suatu masalah baik bagi penutur maupun petuturnya.
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas
sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di
dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa
ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan
penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi linguanlnya. Nampaknya pernyataan tersebut perlu dibuktikan dalam sebuah
analisis terhadap tuturan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di
telinga. Ilmu ini muncul untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang
mulai “angkat tangan” terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah
atau tidak sesuai dengan prinsip.
Bahasa merupakan sistem tanda yang merupakan perwujudan verbal dari ide
atau gagasan si penutur dalam menyampaiakn informasi kepada mitra tutur dan
digunakan sebagai sarana komunikasi. Untuk itu, bahasa tuturan harus mengandung
makna yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Begitu halnya dalam
tuturan yang santun, yang mengandung makna kesantunan. Agar pesan (messege) di dalam aktivitas bertutur
dapat sampai dengan sungguh-sungguh baik kepada diri si mitra tutur, proses
komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut perlu mempertimbangkan
prisip-prinsip yakni prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip
kelangsungan. Secara sederhana, terdapat
kaidah-kaidah percakapan yang harus ditaati oleh peserta percakapan yang dalam
kajian pragmatik disebut sebagai prinsip kerja sama (Kunjana 2003: 26). Prinsip-prinsip tersebut seperti yang
di kemukakan dalam maksim-maksim kerja sama Grice dalam tindak tutur (Kunjana 2003: 26) yakni maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Salah satu masalah yang
terjadi adalah hal-hal yang berhubungan dengan norma kesopanan. Sebuah
unsur interaksi kerja sama dalam percakapan akan terjalin dengan baik jika
syarat-sayarat tertentu terpenuhi. Salah satunya adalah kesadaran terhadap
bentuk sopan santun. Kesopan santunan adalah tata cara atau kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Kesopan santunan ini ditetapkan atau disepakati
bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesopansantunan sekaligus
menjadi prasyarat oleh masyarakat bahasa. Kesopansantunan
dapat dilihat dari berbagai segi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya
adalah kesopansantunan dalam berkomunikasi atau biasa disebut kesantunan
berbahasa. Kesantunan berbahasa tercermin dala tata cara kerja sama komunikasi
seccara verbal atau tata cara berbahasa. Menurut Rahardi (2003: 19) tata cara
berbahasa ini termasuk pilihan kata sampai pada tataran kalima, tata bahasa,
pilihan ragam dan intonasi.
Penyimpangan dalam tuturan memang sering terjadi, baik itu secara
struktur kalimat atau pun terhadap prinsip. Penyimpangan terhadap struktur
kalimat sudah tentu dapat diatasi oleh ilmu sintaksis dan “kawan-kawan”, namun
beda lagi dengan pelanggaran terhadap prinsip. Pelanggaran terhadap prinsip ini
hubungannya dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu
yang cocok untuk menangani masalah ini adalah ilmu pragmatik.
Seperti halnya tuturan yang akan dibahas dalam laporan penelitian ini. Terdapat
pelanggaran terhadap prinsip kerjasama. Oleh karena itu, penulis mencoba
menganalisis tuturan yaitu “Pelanggaran Prinsip Kerjasama Dalam Tuturan Kunjungan
Anjang Sono KKM Untirta Kelompok 57 di Rumah Kepala Desa Cimarga, Kec. Cimarga, Kab. Lebak” sehingga dapat terungkap alasan
mengapa pelanggaran itu dapat terjadi.
B.
Pertanyaan
Penelitian
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah pelanggaran maksim kerja
sama Grice dan maksim kesopanan Lech. Berkaitan dengan itu, pertanyaan
penelitian ini adalah bagaimanakah :
1)
Pelanggaran-pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa
dalam percakapan survei lokasi KKM dengan Kepala Desa Cimarga?
2) Pengaruh
situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis diatas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut untuk mengetahui:
1)
Pelanggaran-pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa
dalam percakapan survei lokasi KKM dengan Kepala Desa Cimarga.
2) Bagaimana
pengaruh situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan.
D. Metode Penelitian
1)
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitiatif yang bersifat
deskriptif dengan teknik analisis isi. Metode kualitatif merupakan metode
pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak dirangsang menggunakan
prosedur statistik. Deskriptif artinya memaparkan. Analisis isi berarti bersifat
analisis. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif
dideskripsikan secara teliti dan analitis.
2)
Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat tiga narasumber, yang pertama
adalah Ibu Kepala Desa (I) latar belakang pendidikan SMA dan Bapak E. Sudrajat (Kepala Desa Cimarga) (KD) dengan
latar belakang pendidikan tamatan
SMA, dan ketiga Bapak Amas (AM) (Pamong
Desa Cimarga). Beliau semua termasuk golongan masyarakat menengah ke atas dan
penduduk asli Sunda. Sedangkan
pewawancara sendiri terdapat 7 pewawancara yang semuanya adalah anggota KKM
kelompok 57. Pewancara tersebut antara lain Tofik (T), Roma (R), Ujang (U), Riska (R), Yulinda (Y), Wawan (Y) dan Adis (A) (penulis).
3) Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pada saat survei lokasi KKM 2010 kelompok 57 di Desa Cimarga, tepatnya di rumah Kepala Desa
Cimarga. Pengambilan data ini tidak melalui rekaman tetapi dengan wawancara langsung, melainkan
dengan pengamatan oleh peneliti di lapangan dan berinteraksi langsung secara
alami dengan Kepala Desa dan pamong
Desa setempat.
Penelitian dilakukan pada tanggal 17
Juli 2010.
4)
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah teknik simak dan teknik
catat. Teknik simak merupakan teknik penyimakan yang dilakukan terhadap data
yang dilisankan maupun data tertulis. Teknik simak digunakan untuk
mengumpulkan data karena data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan
tuturan alami narasumber. Data dalam yang diperoleh dalam penelitian ini dari
hasil wawancara secara terstruktur, dan hasil pengamatan peneliti yang terjun
langsung ke lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat secara alami.
Percakapan yang berlangsung alami direkam dengan tanpa diketahui oleh
narasumber. Kemudian data yang telah diperoleh dikaji dengan “Prinsip
Kerjasama” dan “Prinsip Kesopanan”.
5)
Analisis
Data
Korpus data di analisis dengan cara mendeskripsikan kata-kata yang
digunakan dalam tuturan aparat Desa
Cimarga ke dalam kalimat yang menunjukan pelanggaran-pelanggaran kerja
sama dalam proses bertutur yang dikalsifikasikan dalam maksim-maksim kerja sama
Grice. Serta mendeskrifsikan kata-kata yang menunjukan ketidak santunan
berbahasa untuk diklasifikasikan ke dalam maksim-maksim kesantunan Lech.
E.
Kerangka Teori
1. Pengertian
Pragmatik
Yule (1996: 3), misalnya,
menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna
pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang,
melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang
mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang
terlibat dalam percakapan tertentu.
Leech (Nadar 2009: 2)
melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan
dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik
sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai
bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan
pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi
Levinson (Nadar 2009 : 4) yang
mendefinisikan pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks
yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahas.
Ada beberapa topik pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori
tindak-tutur, prinsip kerja sama (Cooperative Principle), implikatur (Implicature),
teori relevansi, dan kesantunan (Politeness).
2. Prinsip Kerjasama
Dalam komunikasi yang wajar
agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan
maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap
lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu
penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas,
dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada
persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan
bicaranya. Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada
implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila
implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan
kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat
diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara
dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar (Nadar 2009: 24).
Menurut Grice dan Austin (Nadar, 1996: 24) menyatakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip
kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational
maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas
(maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan
maksim pelaksanaan (maxim of manner).
a. Maksim
Kuantitas
Maksim kuantitas ialah kerjasama berbentuk jawaban yang belum
pasti. Di dalam maksim kuantitas,
penutur diharapkan memberikan informasi yang cukup, memadai, dan seinformatif
mungkin. Informasi tersbeut tidak boleh melebihi informasi yang dibutuhkan
mitra tutur. Tuturan yang dianggap
tidak mengandung informasi yang dibutuhkan oleh mitra tutur dapat dikatakan
melanggar maksim kuantitas.
b. Maksim
Kualitas
Maksim kualitas ialah kerjasama dalam bentuk jawaban yang sesuai. Dengan maksim kualitas, seorang penutur
diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta. Fakta
tersebut harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan
yang tidak didasarkan pada kenyataan dan tidak ada dukungan data yang jelas dan
konkret serta dapat dipertanggungjawabkan, akan melanggar prinsip kerja sama
Grice, khususnya maksim kulaitas ini.
c. Maksim
Relevansi
Maksim relevansi
ialah kerjasama dalam bentuk jawaban yang belum sesuangguhnya, bergantung pada
interpretasi penanya. Maksim relevansi menuntut masing-masing peserta
suatu tuturan untuk memberikan kontribusi yang relevan mengenai hal
yangdipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang
demikian dianggap melanggar maksim relevansi. Maksim relevansi tidak selalu
harus dipenuhi dan dipatuhi dalam suatu prinsip kerja sama. Hal tersebut dapat
dilakukan apabila tuturan tersebut bertujuan untuk mengungkapkan maksud-maksud
tertentu yang khusus sifatnya.
d. Maksim
Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan
peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur atau tiidak
ambigu. Peserta tutur yang tidak mempertimbangkan hal-hal tersebut dapat
dikatakan melanggar maksim pelaksanaan.
3. Prinsip Kesopanan
Prinsip kesopanan memiliki
beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim
kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim),
maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement
maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan
ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan
orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan
tutur. (Kunjana, 2003: 40-41).
Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan
maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran
impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk
ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif
adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran
ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis
pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim
digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan (Kunjana 2003 : 72-73).
a. Maksim kebijaksanaan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini
menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain
atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (Nadar 2009: 29) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar
pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian
pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan
dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
b. Maksim kemurahan
Maksim kemurahan menuntut
setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain,
dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
c. Maksim penerimaan
Maksim penerimaan diutarakan
dengan kalimat komisif dan impositif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta
tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan
keuntungan diri sendiri.
d. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati
berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat
pada diri sendiri.
e. Maksim kecocokan
Maksim kecocokan menggariskan
setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka,
dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
f. Maksim kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan
tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta
pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati
kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau
kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat
kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa
sebagai tanda kesimpatian.
4. Antara
Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan
Leech (Nadar, 2009: 25) dijelaskan bahwa Prinsip
Kerjasama dibutuhkan untuk mempermudah menjelaskan hubungan antara makna dan
daya; penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan
masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan berdasarkan
kebenaran (truth-based approach). Tetapi prinsip kerjasama itu sendiri
tidak dapat menjelaskan, mengapa manusia sering menggunakan cara yang tidak
langsung untuk menyampaikan apa yang mereka maksud; dan apa hubungan antara
makna dan daya dalam jenis-jenis kalimat yang bukan kalimat
pernyataan/deklaratif (non-declarative). Maka, di sinilah peranan
kesopanan menjadi penting.
Ada sebagian masyarakat yang
dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada
prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu
daripada yang lain. Dalam hal ini harus diakui bahwa kedudukan prinsip
kerjasama lemah sekali bila kasus-kasus perkecualian tidak dijelaskan dengan
memuaskan. Untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan
prinsip kesopanan. Karena itu, prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai
sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi
prinsip kesopanan merupakan komplemen yang perlu. Fungsi sosial umum yang
dijalankan oleh prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan tidak boleh luput dari
perhatian, dan hubungan ‘tawar-menawar’ yang ada antara kedua prinsip tersebut.
Prinsip kerjasama memungkinkan seorang peserta percakapan untuk berkomunikasi
dengan asumsi bahwa peserta yang lain bersedia bekerja sama. Dalam hal ini
prinsip kerjasama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan
sehingga tuturan dapat menyumbang kepada tujuan ilokusi atau tujuan wacana. Namun
dapat dikatakan bahwa dalam hal atur-mengatur tuturan peserta, prinsip
kesopanan berperan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena
hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang
lain akan bekerja sama. Dalam situasi tertentu, prinsip kesopanan menduduki
tempat kedua. Hal ini terjadi pada suatu kegiatan kerja sama berupa pertukaran
informasi-informasi yang sangat dibutuhkan oleh kedua belah pihak.
Dari uraian di atas dapat kita
ketahui bahwa antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan selalu tidak sejalan. Hal tersebut sesuai dengan
keterangan Grice dalam Leech yang menyatakan bahwa kalau kita ingin sopan kita
sering dihadapkan pada benturan antara prinsip kerjasama dengan prinsip
kesopanan sehingga kita harus memutuskan sejauh mana kita akan tawar-menawar
antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan.
F. Analisis
Data
Perhatikanlah cuplikan dialog
berikut ini:
I : “Sok atu di leueut!” (“Silahkan di minum!”) (1)
T : “Wios Ibu tong ngarepotkeun” (“Tidak apa-apa bu jangan merepotkan”) (2)
I : “Teu aya nanaon di die mah, da ayanageh
cai wungkul” (“Tidak ada apa-apa disini, hanya ada air!”) (padahal yang disuguhkan
ada makanan juga) (3)
A :
“Atos Ibu cekap!” (Udah cukup Ibu) (4)
Jika dilihat secara sepintas,
dialog tersebut terkesan sangat sopan. Namun, apabila seseorang yang membaca
dialog tersebut tidak mengetahui situasinya seperti apa, maka orang tersebut
akan merasa janggal dengan struktur dialognya. Kejanggalan terjadi akibat dari percakapan yang
kurang relevan antara tuturan I
dengan tuturan T. Ketidakrelevanan
ini terjadi akibat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yaitu maksim
relevansi.
Namun, pelanggaran terhadap prinsip kerjasama tersebut tidak menjadi
kesalahan fatal karena pelanggaran tersebut terjadi akibat tuntutan tersebut untuk memenuhi prinsip
kesopanan. Dalam setiap tuturan, prinsip kesopanan merupakan suatu aspek yang
perlu, apalagi dialog tersebut terjadi dalam linkungan budaya Sunda yang terkenal
dengan perilaku sopan santunnya. Mari kita lihat tuturan T dalam dialog di
atas, apabila patuh terhadap
maksim relevansi tuturan di atas
seharusnya sebagai berikut :
I : “Sok di leeut ade-ade” (“Silahkan di minum adik-adik”) (5)
T :
“Oh muhun, di tuangnya pa” (Oh iya, di
makan ya pa”) (6)
Menurut pendapat saya (berdasarkan pada kebudayaan Sunda) dialog tersebut
terlalu “langsung tembak” tidak ada
basa-basi sehingga terkesan kurang sopan apalagi situasinya terjadi
dalam percakapan antara seorang tamu dengan tuan rumah yang keduanya belum
mengenal satu sama lain. Dalam situasi akrab atau mungkin dalam konteks
kebudayaan luar Sunda, dialog yang “langsung tembak” tersebut sah-sah saja.
Namun, lain halnya dengan orang Sunda yang senang berbasa-basi, dialog tersebut
akan dinilai kurang sopan karena terjadi dalam situasi yang kurang akrab.
Pada bagian dialog terakhir I mengemukakan tuturan dengan
maksim kerendahan hati yaitu:
I :
“Teu aya nanaon di die mah, da ayanageh cai wungkul” (“Tidak ada apa-apa disini,
hanya ada air!”) (padahal yang disuguhkan ada makanan juga) (3)
Tuturan yang diungkapkan I di atas terlihat
memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa
suguhan yang diberikan hanya air walaupun kenyataannya tidak begitu.
Pada tuturan berikut ini juga
terjadi pelanggaran maksim pelasanaan, yang terlihat dalam penggalan dialog
sebagai berikut :
AM : “Punten pak lurah, ieu mahasiswa nu kamari
bade nanyakeun rumah nu pikeun dianggo KKM di dieu?” (Maaf pak Kepala Desa, ini mahasiswa yang kemarin mau menayakan rumah
yang mau di pake tempat tinggal selama KKM di sini?”) (5)
KD : “Imah . . . . (“Rumah . . . .) (6)
AM :
“Eta nu kamari ku abdi di carioskeun” (“Itu
yang kemarin saya katakan) (7)
Dialog di atas yang merupakan
pelanggaran maksim pelaksanaan karena tuturan KD yang tidak memberikan kontribusi terhadap tuturan yang
disampaikan oleh AM. Ttuturan KD yang terkesan memberikan jawaban
yang ambigu, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu. Dalam maksim Maksim pelaksanaan ini mengharuskan
peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur atau tiidak
ambigu. Kerelevansian dalam suatu
tuturan agar makna dalam
tuturan tersebut dapat di terima dengan baik oleh lawan tuturnya.
Sama halnya dengan tuturan di atas, dalam tuturan di bawah ini pun
terdapat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama, khususnya maksim kuantitas.
Mari kita amati penggalan percakapan berikut!
. . . .
.
AM : “Eta nu kamari ku abdi di carioskeun” (“Itu yang kemarin saya katakan) (7)
KD : “Oh . . . da de tenang ja, udah bapa
sediain rumahnya tidak jauh dari sini. Tinggal di cek saja sama ade-ade nanti
di antar sama pak Amas” (Oh . . . . ada
tenang saja, sudah bapa sediakan rumahnnya tidak jauh dari sini. Tinggal di cek
saja sama ade-ade nanti sama pak Amas”) (8)
R : “Trima kasih ni seblumnya, jadi
ngerepotin bapa” (9)
KD : “Dah bapa juga ngerti. . . Biasanya juga
gitu, dulukan juga banyak yang KKM di sini. Cma bapa nitip sama ade-ade
mahasiswa ini, pokona mah jangan berbuat macem-macem nu bisa ngagorengkeun nama
ade-ade mahasiswa sendiri selama KKM di sini. Pokoknya jaga amanat yang bapa
sampain sama ade-ade” (Sudah bapa juga
mengerti . . . biasanya juga begitu, dulu juga banyak yang KKM di sini. Bapa
hanya titip sama adik-adik mahasiswa ini, pokoknya jangan berbuat macem-macem
yang bisa mencemarkan nama baik adik-adik mahasiswa sendiri selama KKM di sini.
Pokonya jaga amanat yang bapa berikan sama adik-adik”) (10)
…
W : “Punten bapa, di dieu seueur te pamudana?
Asa sepi” (Maaf Pak, di sini pemudanya
banyak? ko sepi”) (15)
KD : “Seueur, sok diditu tuh ngarumpul di Karang
Taruna” (Banyak, suka berkumpul di Karang
Taruna”) (16)
U : “Seueurna nu kuliah atanapi damel?” (“Banyak yang kuliah atau berkerja?”) (17)
KD : “Nukuliah aya nu damel aya, putra bapa oge
kuliah. Ah bapa mah nyakolakeun anak teh maksakeun sugan kabiyaan, ulah jiga
bapana baretona te purun sakola kaduhung ngekna. Tu foto keluarga bapa 12
bersaudara cma bapa doang nu te sakola. Bapa oge duluna supir ade-ade, jadi
kepala desa sanes jebolan Universitas. Cma bapa karena banyak di kenal sama
orang bapa tiasa jadi kepala Desa. Hehehehehe . . . . (“Yang kuliah ada yang bekerja ada, anak bapa juga ada yang sedang
kuliah. Ah bapa memaksa menyekolahkan anak mudah-mudahan terbiayai, jangan
seperti bapanya dulu tidak mau sekolah akhirnya menyesal. Tu foto keluarga bapa
12 bersaudara cma bapa doang yang tidak mau sekolah. Bapa juga dulunya supir
adik-adik, jadi kepala desa bukan dari lulusan universitas. Hanya karena bapa
banyak di kenal sama orang bapa bisa jadi kepala Desa. Hehehehe . . . “)
(18)
A : “Alhamdulillah, atuh pa. rejeki
mah aya nu ngatur nya pa?” (Alhamdulillah, pak. Rejeki
sudah ada yang mengatur, ya pa?”) (19)
KD :
“Enya nyaẻta. Bapa mah teu ngarasula boga budak loba ogẻ. Mudah-mudahan
wẻ jalujur.” (“Iya.
Bapak tidak pernah mengeluh walaupun banyak anak. Mudah-mudahan mereka pada
sukses.”) (20)
Dialog di atas terlihat didominasi oleh tuturan KD. Setiap satu pertanyaan yang disampaikan AM, R, W, U, dan
A dijawab oleh KD dengan lebih dari satu informasi.
Dalam “kacamata” prinsip kerjasama, dialog tersebut dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Namun, coba kita telusuri lebih jauh
penyebab pelanggaran tersebut dari “kacamata” prinsip kesopanan.
Umumnya, panjang pendek suatu tuturan dapat menentukan tingkat kesopanan
tuturan tersebut. Hal itu sesuai dengan pernyataan Wijana (dalam Nadar 2009 : 14) bahwa semakin
panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap
sopan kepada lawan bicaranya. Seperti yang terjadi pada dialog di atas, situasi
dialog tersebut temasuk ke dalam situasi percakapan tidak akrab. Hal tersebut
wajar saja, karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal
sebelumnya, apalagi pihak KD statusnya sebagai tuan rumah dan
ditinjau dari umur, beliau lebih tua daripada AM, R, W, U, dan
A (sebagai tamu). Namun, antara KD dan AM, R, W, U, dan A dalam
tuturan selanjutnya terkesan lebih akrab dan lebih terbuka.
Peran prinsip kesopanan
mengakibatkan dtuturan KD dengan lawan tuturnya membuat
situasi yang asalnya kaku menjadi lebih akrab. Sikap KD yang selalu
memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan kehormatan
bagi orang lain (maksim kerendahan
hati) membuat lawan tuturnya
tidak merasa canggung untuk melanjutkan percakapan. Terlebih lagi, KD adalah seorang penutur yang memiliki status salah satu tokoh
masyarakat (Kepala Desa)
tersebut, sehingga akan sangat wajar apabila KD bersikap
dengan mengedepankan sopan santun. Lain halnya apabila KD menjawab
sesuai dengan maksim kuantitas (jawaban seperlunya), kesan yang ditimbulkan
kurang sopan dan situasi pun akan menjadi canggung.
Simpulan
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang terhitung baru dibandingkan
dengan ilmu bahasa lainnya seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik. Namun, pragmatik langsung menempati posisi yang tidak kalah penting
dalam kajian ilmu bahasa. Hal tersebut disebabkan oleh jangkauan ilmu pragmatik
yang tidak hanya mencakup maksud suatu tuturan, tetapi juga situasi tuturan
sehingga dapat menjelaskan maksud yang tidak dapat dijelaskan oleh cabang ilmu
bahasa lainnya. Ada beberapa topik pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori
tindak-tutur, prinsip kerja sama (Cooperative Principle), implikatur (Implicature),
teori relevansi, dan kesantunan (Politeness).
Dari paparan pembahasan terhadap hasil penelitian di atas terdapat tiga pelanggaran maksim kerja sama, yakni
maksim relevansi, maksim pelaksanaan dan maksim kuantitas. Penggunaan bahasa
dalam penelitian ini, masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih
mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih
mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain”. Hal
tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh situasi dimana tuturan itu
berlangsung. Dalam situasi tuturan berlangsung dalam lingkungan masyarakat
Sunda yang terkenal dengan kesopansantunannya. Kemudian, situasi kedua yang
menyebabkan terbenturnya prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan adalah
karena situasi keformalan. Tuturan tersebut termasuk tuturan yang “mendekati”
formal karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal (penutur
adalah seorang tamu sedangkan mitra tutur adalah tuan rumah). Dalam penelitian ini penulis mengangap bahawa prinsip
kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan
saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan komplemen yang
perlu. Jadi, dalam masalah ini prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan
dapat saling melengkapi kekurangan satu sama lain dalam memperjelas maksud
suatu tuturan walaupun kadang terjadi benturan antara prinsip kerjasama dengan
prinsip kesopanan.
Pustaka Acuan
Nadar, F.X. 2009. “Pragmatik dan Penelitian Pragmatik”. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Rahardi, Kunjana. 2003. “Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik”. Malang
: Dioma.
Yule, George. 1996. “Pragmatik (Di Terjemahan Oleh Indah Fajar Wahyuni)”. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Kami S128Cash selaku Bandar Betting Online Terbesar dan Terpercaya ingin mengajak Anda bergabung bersama kami.
ReplyDeleteHanya disini yang menggunakan sistem Terbaru untuk kenyamanan dan kemudahan bettor dalam melakukan Betting.
Semua permaina Populer tersedia disini, seperti :
- Sportsbook
- Live Casino
- IDN Poker
- Sabung Ayam Online
- Slot Games Online
- Tembak Ikan Online
- Klik4D
PROMO BONUS S128Cash :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Tunggu apalagi? Segera daftarkan diri Anda !!
Informasi lebih lanjut bisa hubungi kami melalui :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.biz
Judi Bola
Situs Judi Bola Resmi dan Terpercaya