Friday, November 8, 2013

Jurnal Mini Research Pragmatik

Mini Research Pragmatik

“Pelanggaran Prinsip Kerjasama Dalam Tuturan Kunjungan Anjang Sono KKM UNTIRTA Kelompok 57 di Rumah Kepala Desa Cimarga, Kec. Cimarga, Kab. Lebak

Oleh:
Adis Rahmat Sukadis

Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2010

Abstrak
Bahasa merupakan sistem tanda yang merupakan perwujudan verbal dari ide atau gagasan si penutur dalam menyampaiakn informasi kepada mitra tutur dan digunakan sebagai sarana komunikasi. Untuk itu, bahasa tuturan harus mengandung makna yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Begitu halnya dalam tuturan yang santun, yang mengandung makna kesantunan. Agar pesan (messege) di dalam aktivitas bertutur dapat sampai dengan sungguh-sungguh baik kepada diri si mitra tutur, proses komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut perlu mempertimbangkan prisip-prinsip yakni prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip kelangsungan. Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengetahui: (1) Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan survei lokasi KKM dengan Kepala Desa Cimarga; dan (2) Bagaimana pengaruh situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik, dan teknik penelitian menggunakan teknik analisis isi. Dari hasil penelitian terdapat tiga pelanggaran maksim kerja sama, yakni maksim relevansi, maksim pelaksanaan dan maksim kuantitas. Penggunaan bahasa dalam penelitian ini, masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain”. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh situasi dimana tuturan itu berlangsung. Dalam situasi tuturan berlangsung dalam lingkungan masyarakat Sunda yang terkenal dengan kesopansantunannya. Kemudian, situasi kedua yang menyebabkan terbenturnya prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan adalah karena situasi keformalan.
Kata kunci: Prinsip Kerjasama dan Tindak Tutur



A.    Pendahuluan
Salah satu alasan mengapa seseorang menggunakan bahasa pada dasarnya adalah sebagai alat berkomunikasi untuk melakukan sesuatu, meminta sesuatu, membuat janji, melaporkan suatu berita, memberi salam, meminta maaf, mencari informasi dan mengundang seseorang di suatu acara. Tindak tutur ini merupakan bagian dari suatu percakapan yang merupakan sesuatu hal yang kadang-kadang menimbulkan suatu masalah baik bagi penutur maupun petuturnya.
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi linguanlnya. Nampaknya pernyataan tersebut perlu dibuktikan dalam sebuah analisis terhadap tuturan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di telinga. Ilmu ini muncul untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang mulai “angkat tangan” terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah atau tidak sesuai dengan prinsip.
Bahasa merupakan sistem tanda yang merupakan perwujudan verbal dari ide atau gagasan si penutur dalam menyampaiakn informasi kepada mitra tutur dan digunakan sebagai sarana komunikasi. Untuk itu, bahasa tuturan harus mengandung makna yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Begitu halnya dalam tuturan yang santun, yang mengandung makna kesantunan. Agar pesan (messege) di dalam aktivitas bertutur dapat sampai dengan sungguh-sungguh baik kepada diri si mitra tutur, proses komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut perlu mempertimbangkan prisip-prinsip yakni prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip kelangsungan. Secara sederhana, terdapat kaidah-kaidah percakapan yang harus ditaati oleh peserta percakapan yang dalam kajian pragmatik disebut sebagai prinsip kerja sama (Kunjana 2003: 26). Prinsip-prinsip tersebut seperti yang di kemukakan dalam maksim-maksim kerja sama Grice dalam tindak tutur (Kunjana 2003: 26) yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Salah satu masalah yang terjadi adalah hal-hal yang berhubungan dengan norma kesopanan. Sebuah unsur interaksi kerja sama dalam percakapan akan terjalin dengan baik jika syarat-sayarat tertentu terpenuhi. Salah satunya adalah kesadaran terhadap bentuk sopan santun. Kesopan santunan adalah tata cara atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesopan santunan ini ditetapkan atau disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesopansantunan sekaligus menjadi prasyarat oleh masyarakat bahasa. Kesopansantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah kesopansantunan dalam berkomunikasi atau biasa disebut kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tercermin dala tata cara kerja sama komunikasi seccara verbal atau tata cara berbahasa. Menurut Rahardi (2003: 19) tata cara berbahasa ini termasuk pilihan kata sampai pada tataran kalima, tata bahasa, pilihan ragam dan intonasi.
Penyimpangan dalam tuturan memang sering terjadi, baik itu secara struktur kalimat atau pun terhadap prinsip. Penyimpangan terhadap struktur kalimat sudah tentu dapat diatasi oleh ilmu sintaksis dan “kawan-kawan”, namun beda lagi dengan pelanggaran terhadap prinsip. Pelanggaran terhadap prinsip ini hubungannya dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu yang cocok untuk menangani masalah ini adalah ilmu pragmatik.
Seperti halnya tuturan yang akan dibahas dalam laporan penelitian ini. Terdapat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama. Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisis tuturan yaitu “Pelanggaran Prinsip Kerjasama Dalam Tuturan Kunjungan Anjang Sono KKM Untirta Kelompok 57 di Rumah Kepala Desa Cimarga, Kec. Cimarga, Kab. Lebak” sehingga dapat terungkap alasan mengapa pelanggaran itu dapat terjadi.

B.     Pertanyaan Penelitian
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah pelanggaran maksim kerja sama Grice dan maksim kesopanan Lech. Berkaitan dengan itu, pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah :
1)      Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan survei lokasi KKM dengan Kepala Desa Cimarga?
2)      Pengaruh situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut untuk mengetahui:
1)      Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan survei lokasi KKM dengan Kepala Desa Cimarga.
2)      Bagaimana pengaruh situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan.

D.    Metode Penelitian
1)      Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitiatif yang bersifat deskriptif dengan teknik analisis isi. Metode kualitatif merupakan metode pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak dirangsang menggunakan prosedur statistik. Deskriptif artinya memaparkan. Analisis isi berarti bersifat analisis. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis.
2)      Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat tiga narasumber, yang pertama adalah Ibu Kepala Desa (I) latar belakang pendidikan SMA dan Bapak E. Sudrajat (Kepala Desa Cimarga) (KD) dengan latar belakang pendidikan tamatan SMA, dan ketiga Bapak Amas (AM) (Pamong Desa Cimarga). Beliau semua termasuk golongan masyarakat menengah ke atas dan penduduk asli Sunda. Sedangkan pewawancara sendiri terdapat 7 pewawancara yang semuanya adalah anggota KKM kelompok 57. Pewancara tersebut antara lain Tofik (T), Roma (R), Ujang (U), Riska (R), Yulinda (Y), Wawan (Y) dan Adis (A) (penulis). 
3)      Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pada saat survei lokasi KKM 2010 kelompok 57 di Desa Cimarga, tepatnya di rumah Kepala Desa Cimarga. Pengambilan data ini tidak melalui rekaman tetapi dengan wawancara langsung, melainkan dengan pengamatan oleh peneliti di lapangan dan berinteraksi langsung secara alami dengan Kepala Desa dan pamong Desa setempat. Penelitian dilakukan pada tanggal 17 Juli 2010.
4)      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik simak dan teknik catat. Teknik simak merupakan teknik penyimakan yang dilakukan terhadap data yang dilisankan maupun data tertulis. Teknik simak digunakan untuk mengumpulkan data karena data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan tuturan alami narasumber. Data dalam yang diperoleh dalam penelitian ini dari hasil wawancara secara terstruktur, dan hasil pengamatan peneliti yang terjun langsung ke lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat secara alami. Percakapan yang berlangsung alami direkam dengan tanpa diketahui oleh narasumber. Kemudian data yang telah diperoleh dikaji dengan “Prinsip Kerjasama” dan “Prinsip Kesopanan”.
5)      Analisis Data
Korpus data di analisis dengan cara mendeskripsikan kata-kata yang digunakan dalam tuturan aparat Desa Cimarga ke dalam kalimat yang menunjukan pelanggaran-pelanggaran kerja sama dalam proses bertutur yang dikalsifikasikan dalam maksim-maksim kerja sama Grice. Serta mendeskrifsikan kata-kata yang menunjukan ketidak santunan berbahasa untuk diklasifikasikan ke dalam maksim-maksim kesantunan Lech.
E.     Kerangka Teori
1.  Pengertian Pragmatik
Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Leech (Nadar 2009: 2) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi
Levinson (Nadar 2009 : 4) yang mendefinisikan pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahas. 
Ada beberapa topik pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori tindak-tutur, prinsip kerja sama (Cooperative Principle), implikatur (Implicature), teori relevansi, dan kesantunan (Politeness).
2. Prinsip Kerjasama
Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar (Nadar 2009: 24).
Menurut Grice dan Austin (Nadar, 1996: 24) menyatakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).
a.    Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas ialah kerjasama berbentuk jawaban yang belum pasti. Di dalam maksim kuantitas, penutur diharapkan memberikan informasi yang cukup, memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi tersbeut tidak boleh melebihi informasi yang dibutuhkan mitra tutur. Tuturan yang dianggap tidak mengandung informasi yang dibutuhkan oleh mitra tutur dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.
b.    Maksim Kualitas
Maksim kualitas ialah kerjasama dalam bentuk jawaban yang sesuai. Dengan maksim kualitas, seorang penutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta. Fakta tersebut harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan yang tidak didasarkan pada kenyataan dan tidak ada dukungan data yang jelas dan konkret serta dapat dipertanggungjawabkan, akan melanggar prinsip kerja sama Grice, khususnya maksim kulaitas ini.
c.    Maksim Relevansi
Maksim relevansi ialah kerjasama dalam bentuk jawaban yang belum sesuangguhnya, bergantung pada interpretasi penanya. Maksim relevansi menuntut masing-masing peserta suatu tuturan untuk memberikan kontribusi yang relevan mengenai hal yangdipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap melanggar maksim relevansi. Maksim relevansi tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam suatu prinsip kerja sama. Hal tersebut dapat dilakukan apabila tuturan tersebut bertujuan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya.
d.   Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur atau tiidak ambigu. Peserta tutur yang tidak mempertimbangkan hal-hal tersebut dapat dikatakan melanggar maksim pelaksanaan.
3. Prinsip Kesopanan
Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. (Kunjana,  2003: 40-41).
Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan (Kunjana 2003 : 72-73).
a. Maksim kebijaksanaan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (Nadar 2009: 29) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
b. Maksim kemurahan
Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
c. Maksim penerimaan
Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
d. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
e. Maksim kecocokan
Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
f. Maksim kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
4. Antara Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan
Leech (Nadar, 2009: 25) dijelaskan bahwa Prinsip Kerjasama dibutuhkan untuk mempermudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya; penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan berdasarkan kebenaran (truth-based approach). Tetapi prinsip kerjasama itu sendiri tidak dapat menjelaskan, mengapa manusia sering menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyampaikan apa yang mereka maksud; dan apa hubungan antara makna dan daya dalam jenis-jenis kalimat yang bukan kalimat pernyataan/deklaratif (non-declarative). Maka, di sinilah peranan kesopanan menjadi penting.
Ada sebagian masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain. Dalam hal ini harus diakui bahwa kedudukan prinsip kerjasama lemah sekali bila kasus-kasus perkecualian tidak dijelaskan dengan memuaskan. Untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan prinsip kesopanan. Karena itu, prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan komplemen yang perlu. Fungsi sosial umum yang dijalankan oleh prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan tidak boleh luput dari perhatian, dan hubungan ‘tawar-menawar’ yang ada antara kedua prinsip tersebut. Prinsip kerjasama memungkinkan seorang peserta percakapan untuk berkomunikasi dengan asumsi bahwa peserta yang lain bersedia bekerja sama. Dalam hal ini prinsip kerjasama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat menyumbang kepada tujuan ilokusi atau tujuan wacana. Namun dapat dikatakan bahwa dalam hal atur-mengatur tuturan peserta, prinsip kesopanan berperan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bekerja sama. Dalam situasi tertentu, prinsip kesopanan menduduki tempat kedua. Hal ini terjadi pada suatu kegiatan kerja sama berupa pertukaran informasi-informasi yang sangat dibutuhkan oleh kedua belah pihak.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan selalu tidak sejalan. Hal tersebut sesuai dengan keterangan Grice dalam Leech yang menyatakan bahwa kalau kita ingin sopan kita sering dihadapkan pada benturan antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan sehingga kita harus memutuskan sejauh mana kita akan tawar-menawar antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan.  
F. Analisis Data
Perhatikanlah cuplikan dialog berikut ini:
I        : “Sok atu di leueut!” (“Silahkan di minum!”) (1)
T       : “Wios Ibu tong ngarepotkeun” (“Tidak apa-apa bu jangan merepotkan”) (2)
I        : “Teu aya nanaon di die mah, da ayanageh cai wungkul” (Tidak ada apa-apa disini, hanya ada air!”) (padahal yang disuguhkan ada makanan juga) (3)
A       : “Atos Ibu cekap!” (Udah cukup Ibu) (4)
Jika dilihat secara sepintas, dialog tersebut terkesan sangat sopan. Namun, apabila seseorang yang membaca dialog tersebut tidak mengetahui situasinya seperti apa, maka orang tersebut akan merasa janggal dengan struktur dialognya. Kejanggalan terjadi akibat dari percakapan yang kurang relevan antara tuturan I dengan tuturan T. Ketidakrelevanan ini terjadi akibat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yaitu maksim relevansi.
Namun, pelanggaran terhadap prinsip kerjasama tersebut tidak menjadi kesalahan fatal karena pelanggaran tersebut terjadi akibat tuntutan tersebut untuk memenuhi prinsip kesopanan. Dalam setiap tuturan, prinsip kesopanan merupakan suatu aspek yang perlu, apalagi dialog tersebut terjadi dalam linkungan budaya Sunda yang terkenal dengan perilaku sopan santunnya. Mari kita lihat tuturan T dalam dialog di atas, apabila patuh terhadap maksim relevansi tuturan di atas seharusnya sebagai berikut :
I        : “Sok di leeut ade-ade” (“Silahkan di minum adik-adik”) (5)
T       : “Oh muhun, di tuangnya pa” (Oh iya, di makan ya pa”) (6) 
Menurut pendapat saya (berdasarkan pada kebudayaan Sunda) dialog tersebut terlalu “langsung tembak” tidak ada basa-basi sehingga terkesan kurang sopan apalagi situasinya terjadi dalam percakapan antara seorang tamu dengan tuan rumah yang keduanya belum mengenal satu sama lain. Dalam situasi akrab atau mungkin dalam konteks kebudayaan luar Sunda, dialog yang “langsung tembak” tersebut sah-sah saja. Namun, lain halnya dengan orang Sunda yang senang berbasa-basi, dialog tersebut akan dinilai kurang sopan karena terjadi dalam situasi yang kurang akrab.
Pada bagian dialog terakhir I mengemukakan tuturan dengan maksim kerendahan hati yaitu:
I        : “Teu aya nanaon di die mah, da ayanageh cai wungkul” (Tidak ada apa-apa disini, hanya ada air!”) (padahal yang disuguhkan ada makanan juga) (3)
Tuturan yang diungkapkan I di atas terlihat memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa suguhan yang diberikan hanya air walaupun kenyataannya tidak begitu.
Pada tuturan berikut ini juga terjadi pelanggaran maksim pelasanaan, yang terlihat dalam penggalan dialog sebagai berikut :
AM   : “Punten pak lurah, ieu mahasiswa nu kamari bade nanyakeun rumah nu pikeun dianggo KKM di dieu?” (Maaf pak Kepala Desa, ini mahasiswa yang kemarin mau menayakan rumah yang mau di pake tempat tinggal selama KKM di sini?”) (5)
KD    : “Imah . . . . (“Rumah . . . .) (6)
AM   : “Eta nu kamari ku abdi di carioskeun” (“Itu yang kemarin saya katakan) (7)
Dialog di atas yang merupakan pelanggaran maksim pelaksanaan karena tuturan KD yang tidak memberikan kontribusi terhadap tuturan yang disampaikan oleh AM. Ttuturan KD yang terkesan memberikan jawaban yang ambigu, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu. Dalam maksim Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur atau tiidak ambigu. Kerelevansian dalam suatu tuturan agar makna dalam tuturan tersebut dapat di terima dengan baik oleh lawan tuturnya.
Sama halnya dengan tuturan di atas, dalam tuturan di bawah ini pun terdapat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama, khususnya maksim kuantitas. Mari kita amati penggalan percakapan berikut!
. . . . .
AM   : “Eta nu kamari ku abdi di carioskeun” (“Itu yang kemarin saya katakan) (7)
KD    : “Oh . . . da de tenang ja, udah bapa sediain rumahnya tidak jauh dari sini. Tinggal di cek saja sama ade-ade nanti di antar sama pak Amas” (Oh . . . . ada tenang saja, sudah bapa sediakan rumahnnya tidak jauh dari sini. Tinggal di cek saja sama ade-ade nanti sama pak Amas”) (8)
R       : “Trima kasih ni seblumnya, jadi ngerepotin bapa” (9)
KD    : “Dah bapa juga ngerti. . . Biasanya juga gitu, dulukan juga banyak yang KKM di sini. Cma bapa nitip sama ade-ade mahasiswa ini, pokona mah jangan berbuat macem-macem nu bisa ngagorengkeun nama ade-ade mahasiswa sendiri selama KKM di sini. Pokoknya jaga amanat yang bapa sampain sama ade-ade” (Sudah bapa juga mengerti . . . biasanya juga begitu, dulu juga banyak yang KKM di sini. Bapa hanya titip sama adik-adik mahasiswa ini, pokoknya jangan berbuat macem-macem yang bisa mencemarkan nama baik adik-adik mahasiswa sendiri selama KKM di sini. Pokonya jaga amanat yang bapa berikan sama adik-adik”) (10)
W      : “Punten bapa, di dieu seueur te pamudana? Asa sepi” (Maaf Pak, di sini pemudanya banyak? ko sepi”) (15)
KD    : “Seueur, sok diditu tuh ngarumpul di Karang Taruna” (Banyak, suka berkumpul di Karang Taruna”) (16)
U       : “Seueurna nu kuliah atanapi damel?” (“Banyak yang kuliah atau berkerja?”) (17)
KD    : “Nukuliah aya nu damel aya, putra bapa oge kuliah. Ah bapa mah nyakolakeun anak teh maksakeun sugan kabiyaan, ulah jiga bapana baretona te purun sakola kaduhung ngekna. Tu foto keluarga bapa 12 bersaudara cma bapa doang nu te sakola. Bapa oge duluna supir ade-ade, jadi kepala desa sanes jebolan Universitas. Cma bapa karena banyak di kenal sama orang bapa tiasa jadi kepala Desa. Hehehehehe . . . . (“Yang kuliah ada yang bekerja ada, anak bapa juga ada yang sedang kuliah. Ah bapa memaksa menyekolahkan anak mudah-mudahan terbiayai, jangan seperti bapanya dulu tidak mau sekolah akhirnya menyesal. Tu foto keluarga bapa 12 bersaudara cma bapa doang yang tidak mau sekolah. Bapa juga dulunya supir adik-adik, jadi kepala desa bukan dari lulusan universitas. Hanya karena bapa banyak di kenal sama orang bapa bisa jadi kepala Desa. Hehehehe . . . “) (18) 
A       : “Alhamdulillah, atuh pa. rejeki mah aya nu ngatur nya pa?” (Alhamdulillah, pak. Rejeki sudah ada yang mengatur, ya pa?”) (19)
KD    : “Enya nyaẻta. Bapa mah teu ngarasula boga budak loba ogẻ. Mudah-mudahan wẻ jalujur.” (“Iya. Bapak tidak pernah mengeluh walaupun banyak anak. Mudah-mudahan mereka pada sukses.”) (20)
Dialog di atas terlihat didominasi oleh tuturan KD. Setiap satu pertanyaan yang disampaikan AM, R, W, U, dan A dijawab oleh KD dengan lebih dari satu informasi. Dalam “kacamata” prinsip kerjasama, dialog tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Namun, coba kita telusuri lebih jauh penyebab pelanggaran tersebut dari “kacamata” prinsip kesopanan.
Umumnya, panjang pendek suatu tuturan dapat menentukan tingkat kesopanan tuturan tersebut. Hal itu sesuai dengan pernyataan Wijana (dalam Nadar 2009 : 14) bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Seperti yang terjadi pada dialog di atas, situasi dialog tersebut temasuk ke dalam situasi percakapan tidak akrab. Hal tersebut wajar saja, karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal sebelumnya, apalagi pihak KD statusnya sebagai tuan rumah dan ditinjau dari umur, beliau lebih tua daripada AM, R, W, U, dan A (sebagai tamu). Namun, antara KD dan AM, R, W, U, dan A dalam tuturan selanjutnya terkesan lebih akrab dan lebih terbuka.
Peran prinsip kesopanan mengakibatkan dtuturan KD dengan lawan tuturnya membuat situasi yang asalnya kaku menjadi lebih akrab. Sikap KD yang selalu memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan kehormatan bagi orang lain (maksim kerendahan hati) membuat lawan tuturnya tidak merasa canggung untuk melanjutkan percakapan. Terlebih lagi, KD adalah seorang penutur yang memiliki status salah satu tokoh masyarakat (Kepala Desa) tersebut, sehingga akan sangat wajar apabila KD bersikap dengan mengedepankan sopan santun. Lain halnya apabila KD menjawab sesuai dengan maksim kuantitas (jawaban seperlunya), kesan yang ditimbulkan kurang sopan dan situasi pun akan menjadi canggung.

Simpulan
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang terhitung baru dibandingkan dengan ilmu bahasa lainnya seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Namun, pragmatik langsung menempati posisi yang tidak kalah penting dalam kajian ilmu bahasa. Hal tersebut disebabkan oleh jangkauan ilmu pragmatik yang tidak hanya mencakup maksud suatu tuturan, tetapi juga situasi tuturan sehingga dapat menjelaskan maksud yang tidak dapat dijelaskan oleh cabang ilmu bahasa lainnya. Ada beberapa topik pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori tindak-tutur, prinsip kerja sama (Cooperative Principle), implikatur (Implicature), teori relevansi, dan kesantunan (Politeness).
Dari paparan pembahasan terhadap hasil penelitian di atas terdapat tiga pelanggaran maksim kerja sama, yakni maksim relevansi, maksim pelaksanaan dan maksim kuantitas. Penggunaan bahasa dalam penelitian ini, masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain”. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh situasi dimana tuturan itu berlangsung. Dalam situasi tuturan berlangsung dalam lingkungan masyarakat Sunda yang terkenal dengan kesopansantunannya. Kemudian, situasi kedua yang menyebabkan terbenturnya prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan adalah karena situasi keformalan. Tuturan tersebut termasuk tuturan yang “mendekati” formal karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal (penutur adalah seorang tamu sedangkan mitra tutur adalah tuan rumah). Dalam penelitian ini penulis mengangap bahawa prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan komplemen yang perlu. Jadi, dalam masalah ini prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dapat saling melengkapi kekurangan satu sama lain dalam memperjelas maksud suatu tuturan walaupun kadang terjadi benturan antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan.

Pustaka Acuan
Nadar, F.X. 2009. “Pragmatik dan Penelitian Pragmatik”. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Rahardi, Kunjana. 2003. “Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik”. Malang : Dioma.
Yule, George. 1996. “Pragmatik (Di Terjemahan Oleh Indah Fajar Wahyuni)”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.   

1 comment:

  1. Kami S128Cash selaku Bandar Betting Online Terbesar dan Terpercaya ingin mengajak Anda bergabung bersama kami.
    Hanya disini yang menggunakan sistem Terbaru untuk kenyamanan dan kemudahan bettor dalam melakukan Betting.
    Semua permaina Populer tersedia disini, seperti :
    - Sportsbook
    - Live Casino
    - IDN Poker
    - Sabung Ayam Online
    - Slot Games Online
    - Tembak Ikan Online
    - Klik4D

    PROMO BONUS S128Cash :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
    - BONUS CASHBACK 10%
    - BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!

    Tunggu apalagi? Segera daftarkan diri Anda !!
    Informasi lebih lanjut bisa hubungi kami melalui :
    - Livechat : Live Chat Judi Online
    - WhatsApp : 081910053031

    Link Alternatif :
    - http://www.s128cash.biz

    Judi Bola

    Situs Judi Bola Resmi dan Terpercaya

    ReplyDelete

MATERI PEMBELAJARAN KELAS 9 BAB 1: MELAPORKAN HASIL PERCOBAAN

  MATERI PERTEMUAN KE 1 & 2 E-LEARNING KELAS IX MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh: Adis Rahmat S., M.Pd.     bab 1  melap...