Kajian Sastra
“Analisis Struktural dan
Sosiologi Sastra pada Novel Larung Karya Ayu Utami”
Oleh :
Adis
Rahmat Sukadis (070362)
Ardi
Satria Nugroho (070366)
Wahyudin
(070359)
Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2010
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam memahami sebuah sastra para peneliti atau kritikus
sastra sering menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan tersebut dimaksudkan
untuk memahami sastra itu sendiri dan hubungannya dengan kehidupan nyata. Jika diibaratkan
pendekatan ini merupakan pisau untuk menegtahui isi dari sebuah jeruk yang kita
misalkan sastranya.
Karya sastra
merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dengan pembacanya. Apa yang
ditulis sastrawan dalam karya sastranya adalah sesuatu yang ingin diungkapkan
pada pembaca. Dalam penyampaian idenya tersebut sastrawan tidak bisa dipisahkan
dari latar belakang dan lingkungannya. Novel
merupakan salah satu sastra yang akrab dengan dunia pembaca. Penokohan dalam
sebuah novel merupakan hal pokok yang tidak mungkin bisa digantikan. Penokohan
dalam novel seringkali dihubungkan dengan tokoh dan karakternya disamakan
dengan kehidupan nyata yang merupakan salah satu esensi dari sastra.
Novel sebagai salah
satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Novel dapat
dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa novel itu adalah
struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana estetika
atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman novel dapat ditinjau
dari beberapa aspek. Hal ini tergantung pada isi nilai-nilai novel yang dibahas
di dalamnya. Kehadiran novel untuk dinikmati pembaca, tetapi tidak terlepas
dari latar belakang penyairnya serta keadaan pada zamannya. Oleh karena itu,novel
perlu ditinjau dari segi struktural dan segi sosiologi yang dikaitkan dengan
kenyataan. Selain itu kritik sastra novel juga dapat dilakukan melalui Analisis
teks sastra menurut metode analisis Arthur Asa Berger yang memfokuskan pada
hubungan sosial antar peran-peran yang ada di dalam teks sastra tersebut. Yang
secara spesifik mencakup beberapa konsep utama, antara lain : Alienasi (alienation), Anomi (anomie), Penyimpangan (deviance),
Peran / sosial (rol/social), Jenis
kelamin (gender), dan Nilai-nilai (values).
Novel larung karya Ayu Utami merupakan
salah satu yang melukiskan masalah-masalah sosial dan cinta. Pengarang dengan
teliti memilih kata-kata denotatif dan konotatif, sehingga mampu mencerminkan
pengalaman hidupnya secara baik. Masalah social dan cinta tersebut tidak lepas
dari kepribadiaan tokoh-tokohnya yang digambarkan dengan sangat menarik.
Masalah sosial dan cinta menjadi
objek dalam novel larung dari unsur struktural dan sosiologi. Dengan harapan
dapat mengetahui secara mendalam tentang isi dan bobot nilai kesusastraannya. Memahami
atau menganalisis novel pada hakikatnya adalah membaca kehidupan. Karena novel dapat
mencerminkan corak kehidupan masyarakat pada zamannya, dan mampu menjelaskan
harkat, dan martabat manusia secara utuh, serta berisikan masalah kehidupan
yang universal. Sampai saat ini penelitian mengenai pemahaman kritik novel
sangat kurang. Oleh karena itu peneliti ingin memahami struktur novel larung
karya Ayu Utami.
1.2 Rumusan Maslah
Dari latar belakang di atas, maka
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah unsur intrinsik dalam novel larung karya
Ayu Utami?
2. Bagaimanakah
kepribadian Tokoh Utama Novel Larung Karya Ayu Utami?
3. Bagaimanakah
tinjauan sosiologi sastra Berger dalam novel Larung karya Ayu Utami?
4. Bagaimanakah
Falosentrisme Dalam Novel Larung karya Ayu Utami?
1.3
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan antara lain sebagai berikut :
1.
Untuk mengungkapkan unsur intrinsik dalam novel larung
karya Ayu Utami?
2. Untuk
mengetahui kepribadian Tokoh Utama Novel Larung Karya Ayu Utami?
3. Untuk
mengetahui tinjauan sosiologi sastra Berger dalam novel Larung karya Ayu Utami?
4. Untuk
mengetahui Falosentrisme Dalam Novel Larung karya Ayu Utami?
BAB II
PEMBAHSAN
1.
Analisis Struktural pada
Novel Larung Karya Ayu Utami
Strukturalisme memandang dan memahami karya sastra dari segi
struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang
otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw
dalam Wiyatmi, 2006 : 89). Dalam penerapannya penelitian dilakukan secara
obyektif dalam penerapannya memahami karya sastra secara close reading (membaca karya secara tertutup tanpa melihat
pengarangnya, hubungannya dengan realitas, maupun pembaca) analisis difokuskan
pada unsur-unsur intrinsik karya sastra.
Dalam pendekatan struktural bertujuan membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan
dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna
menyeluruh. Analisis struktural memandang karya sastra sebagai sosok yang
berdiri sendiri, mengesampingkan unsur di luar karya sastra. Karya sastra
dipandang bermutu, manakala karya tersebut mampu menjalin unsur-nsur secara
padu dan bermakna.
Berdasarkan pendekatan struktural, unsur intrinsik yang terdapat pada
novel Larung karya Ayu Utami adalah :
- Tema dari novel tersebut adalah perlawanan terhadap budaya patriarki dan biudaya yang mentabukan perbincangan soal seks dan soal seksuallitas.
- amanat yang ingin disampaikan oleh penulis adalah :
- Seks dan seksualitas harus menjadi wacana dialogis yang tidak perlu ditutup-tutupi atau ditabukan.
- Seksualitas tidak boleh menjadikan wanita sebagai subordinative laki-laki atau masyarakat bawahan.
- Kekuasaan dan kekerasan harus dihentikan supaya masyarakat dapat hidup secara demokratis.
- Alur atau plot dalam novel Larung pada bagian pertama dan kedua, pengarang menggunakan alur pemikiran (yang dipentingkan adalah pemikirannya dibandingkan dengan tokoh dan alurnya), sedangkan pada bagian tiga pengarang menggunakan alur maju.
- Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah ; Larung, Saman, Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, Yasmin Moningka, Sihar Situmorang, Teknik pelukisan tokoh menggunakan teknik tidak langsung.
- Latar yang digunakan pengarang sebagai landas tumpu dalam novel ini meliputi latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat misalnya, Jakarta, New York, Selat Philip; latar waktu, misalnya tahun 1996, 1 Juni 1996, 27 Juli 1996; latar sosial menyangkut status sosial tokoh dan keadaan atau situasi sosial ketika peristiwa dalam cerita ini terjadi. Status sosial tokoh, misalnya, kelas menengah ke atas dan situasi sosial
- Sudut pandang novel ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama.
2. Kepribadian Tokoh Utama Novel Larung Karya
Ayu Utami
Kepribadian manusia menurut teori psikoanalisis terdiri dari tiga aspek
yaitu id, ego, dan superego. Segi ketidaksadaran manusia yang
disebut id (Das Es) merupakan salah satu inti pokok dari
teorinya. Teori ini menekankan bahwa kesadaran manusia seperti gunung es,
hanya sebagian kecil saja yaitu puncak teratasnya yang tampak terapung di laut.
Sebagian besar badan gunung es tersebut terendam di bawah permukaan laut.
Ketiga sistem yaitu id, ego dan superego dalam diri
seseorang merupakan satu susunan yang bersatu dan harmonis. Id berada
dalam alam ketidaksadaran, sedangkan ego dan superego berada
dalam alam kesaran manusia. Dengan bekerja sama secara teratur ketiga sistem
itu memungkinkan seorang individu untuk bergerak secara efisien dan memuaskan
dalam lingkungan. Sebaliknya, jika ketiga sistem kepribadian ini bertentangan
satu sama lain, maka orang yang bersangkutan akan menjadi orang yang tidak
dapat menyesuaikan diri. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan
psikoanalisis dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan id dalam diri
tokoh utama novel Larung yang dicurigai mengidap gejala neurosis.
Dari analisis ini terdapat temuan bahwa energi id begitu
mendominasi pembentukan kepribadian tokoh Larung. Kekuatan energi id Larung
yang menguasai wilayah ketidaksadarannya tersebut adalah ketertarikannya
terhadap organ dalam tubuh manusia. Pengaruh cerita di masa kecil, yaitu mitos
Ni Rangda (Leak) yang mengenakan perhiasan dari organ manusia tertanam kuat
dalam dirinya. Dari mitos yang diyakini itulah, ia sering mengalami halusinasi
tentang organ dalam manusia ketika ia berhadapan dengan lawan bicara. Ia menjadikan
sosok nenek sebagai objek ketertarikannya secara seksual. Hal ini membuat
Larung dianggap sebagai homoseksual di lingkungan teman-temannya, sebab ia
tidak pernah menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis selain neneknya.
Seperti dalam kalimat “setiap kali aku berhubungan dengan tubuh yang masai
tanpa daya itu, menyentuh permukaannya yang kesat, kelaminnya yang menyisakan
lembab, jemariku dan diriku adalah kelunakan dua siput bugil yang tak jantan
dan tak betina …”
3. Kritik Sosiologi Sastra pada Novel Larung Karya Ayu Utami
Karya sastra merupakan hasil proyeksi lingkungan (pengarang, kondisi
sekitar pengarang maupun kondisi lingkungan tempat karya sastra diciptakan)
yang diungkapkan melalui bahasa atau dapat dikatakan karya sastra mempergunakan
bahasa sebagai medianya. Karena mempergunakan bahasa di dalamnya, maka teks di
dalamnya pun memuat bahasa-bahasa yang memiliki keterasingan dari bahasa yang
dipergunakan sehari-hari. Analisis teks sastra menurut metode analisis Arthur
Asa Berger yang memfokuskan pada hubungan sosial antar peran-peran yang ada di
dalam teks sastra tersebut. Yang secara spesifik mencakup beberapa konsep
utama, antara lain :
1. Alienasi
(alienation) yakni, seseorang yang
teralienasi merasa seperti “orang asing” yang tidak memiliki hubungan dengan
masyarakat atau beberapa kelompok dalam masyarakat.
2. Anomi (anomie) yakni, seseorang yang menolak
norma-norma yang ada dalam masyarakat.
3. Penyimpangan
(deviance) yakni, penyimpangan yang
merujuk pola-pola perilaku yang dianggap berbeda dari yang sudah ada atau pada
umumnya.
4. Peran /
sosial (rol/social) yakni, konsep
yang merujuk jenis tingkah laku tertentu yang kita pelajari, yang berhubungan
dengan harapan orang terhadap kita, yang terkait dengan situasi tertentu, yang
ditentukan oleh tempat kita dalam suatu masyarakat.
5. Jenis
kelamin (gender) yakni, kontulsi
sosial yang dijadikan pembeda antara individu berjenis kelamin laki-laki dan
individu berjenis kelamin perempuan. Konsep ini penting ketika dikaitkan dengan
peran-peran dan atribut-atribut seseorang dalam lingkungan sosialnya.
6. Nilai-nilai
(values) yakni, konsep yang merujuk
perilaku seseorang, apa yang diinginkan atau tidak diinginkan, baik atau buruk,
yang semua itu relatif. Nilai-nilai yang kita miliki, secara tak langsung
memengaruhi perilaku kita. Nilai mencakup beragam fenomena sosial secra luas
sek, politik, pendidikan dan sebagainya.
Menurut Berger manusia dan masyarakat adalah produk dialektis dinamis dan
plural (dalam Eriyanto, 2001 : 13).
Masyarakat adalah produk manusia, namun sebaliknya manusia adalah produk
masyarakat (Eriyanto, 2001 : 17). Realitas dalam masyarakat tidak dibentuk
secara ilmiah, tidak juga diturunkan oleh Tuhan, melainkan dibentuk dan
dikontruksi oleh manusia itu sendiri. Dengan demikian realitas memiliki wajah
ganda. Setiap orang bisa mempunyai kontruksi yang berbeda tentangnya.
1. Alienasi
Seseorang
yang teralienasi merasa seperti orang asing yang tidak memiliki hubungan
masyarakat. Gejala alienasi ini diperlihatkan dalam kalimat-kalimat sebagai
berikut :
“Luar biasa , sahutku, saya baru tahu
Indonesia punya presiden, saya bahkan baru tahu bahwa Indonesia adalah negara”
(hal. 31).
“Tidak, aku bukan pengecut melainkan seseorang yang memiliki hati sebab
hanya para terhukum mati yang berhak mengetahui saat eksekusi” (hal 51).
Larung adalah tokoh ysng menunjukkan hasil penekanan dari sistem
patriarki dan sistem politik yang penuh kekerasan. Bentuk penekanan berasal
dari identitas gender larung sebagai laki-laki. Di sinilah terjadi pertentangan
antara rasionalitas dan emosi yang berusaha saling mendominasi pada individu.
Larung adalah representasi puncak rasionalitas sistem masyarakat
patriaki. Emosi pada akhirnya menjadi dominan dalam dirinya dan menguasai
logika normalnya untuk menentukan saat kematiannya sendiri. Ilusi ilusi Larung
memberikan kemenangan pada dunia nyata ketika ia membiarkan rasinalitas
dikalahkan oleh maut dan oleh tindakan yuang didasarkan pada ilusi yang ada
pada dirinya.
2. Anomi
Seseorang yang menolak norma-normanya disebut anomic. Gejala ini diperlihatkan pada kalimat berikut-berikut ini
(dialog-dialog yang diucapkan Cok).
“Tapi membiarkan lelaki masturbasi
dengan payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan”
(hal 82)
“tapi Yasmin masih sering
memanggilku perek. Atau anggap saja perek adalah perempuan yang suka bereksperimen”
(hal 84)
.Karakter cok mempresentasikan posisi perempuan yang bisa melakukan
perlawanan terhadap nilai seksualitas yang diterapkan pada perempuan.
3. Penyimpangan (deviance)
Penyimpangan mengarah kepada pola-pola perilaku yang dianggap berbeda
dari yang sudah ada atau pada umumnya. Perilaku kita terhadap berbagai
penyimpangan berubah seiring berjalannya waktu. Bentuk-bentuk penyimpangan
dalam teks digambarkan lewat kalimat-kalimat berikut :
“… dia tidak mau meniduri seorang
perawan, kata Shakuntala. Apa artinya saya bertanya. Itu berarti lelaki yang
bertanggungjawab. Tapi, apakah kamu tidak bertanya, Laila, kenapa harus ada
seorang lelaki yang bertanggungjawab atas ke[perawanan seorang perempuan?
Barangkali, Laila, jika kamu renggut dengan keperawanan kamu, dengan pikiranmu
atau dengan jari-jarimu, dia bisa tidur dengan tenang, tidur dengan kamu ...”
“dan sembilan puluh sembilan persen
lelaki tidak memuaskan kamu kalau kamu tidak memuaskan diri sendiri” Shakuntala
berkata sambil lallu.
Pembicaraan mengenai seksualitas dianggap tabu, dan penulis novel Larung
ditempatkan yang sangat membahayakan, baik bagi kaum adam, perempuan lain maupun
masyarakat secara keseluruhan. Bentuk-bentuk seksualitas yang menyimpang di
masyarakat menjadi konsep-konsep yang disajikan penulis untuk menawarkan ide
otonomi perempuan di area seksualitas yang berbeda dengan nilai seksualitas dan
norma yang berbeda dengan nilai yang ddominan di masyarakat. Secara langsung
Ayu Utami merekonstruksi nilai dan norma yang dominan di masyarakat.
4. Peran
Konsep peran mengarah kepada jenis tingkah laku tertentu yang kita
pelajari, yang berhubungan dengan
harapan orang terhadap kita, yang terkait dengan situasi tertentu yang
ditentukan oleh tempat kita dalam suatu masyarakat. Dalam satu hari seseorang
dapat memainkan banyak peran. Konsep ini diperlihatkan oleh kalimat-kalimat
sebagai berikut :
“Saman tidak
membiarkan Laila ikut melayani di dapur. Lelaki itu menanak nasi dan menggoreng
tempe, seperti memberikan kesempatan pada Laila dan Sihar untuk berbicara
berdua. Tapi juga seperti tanpa tujuan. Setelah makan ia meminta tolong Laila
memotong pepaya dan membuatkan kopi untuk mereka bertiga. Laila menurut sebab
itu pekerjaan imbang. Tapi ia selalu merasa ada pembicaraan yang penting di
antara Saman dan Sihar sementara ia tidak hadir” (hal 115).
“Orang tuaku percaya bahwa
laki-laki cenderung rasional dan wanita emosional. Karena itu, pria akan
memimpin dan wanita akan mengasihi. Pria membangun dan wanita memelihara. Maka
bapak mengajari abangku menggunakan akal untuk mengontrol dunia, juga badan.
Aku tidak pernah dipaksanya untuk melakukan hal yang sama, sebab ia percaya
pada hakikatnya aku tak mampu. Wanita diciptakan dari iga. Karena itu ia
ditakdirkan memiliki kecenderungan bengkok sehingga harus diluruskan oleh pria”
(hal. 136).
Teks Larung menunjukkan dapat berperan dalam dunia publik yang dicirikan
bagi laki-laki. Pada saat yang sama juga tidak banyak perempuan yang
beraktivitas di area publik. Sepertinya penulis gelisah akan peran dan
aktifitas perempuan. Peran social perempuan diterapkan sebagai atribut atas
jenis kelamin yang dimiliknya.
5. Gender
Gender adalah konstruksi sosial yang dijadikan pembeda antara individu
berjenis laki-laki dan perempuan. Konsep ini penting apabila dikaitkan dengan peran-peran
dan atribut seseorang dalam lingkungan sosialnya. Konsep gender di dalam larung
diperlihatkan dalam kalimat-kalimat di bawah ini :
“Sang janda murka. Sebab ia janda
dan anaknya dara tanpa pelamar, sebab inilah kemalangan perempuan;tanpa lelaki
sebab nilai perempuan diciptakan oleh lelaki. Ratna Manjali, putrid rupawan itu
sia-sia. Sebab wanita pembawa petaka, tetapi lelaki menyelamatkannya” (hal.
38).
“laki-laki yang tidur bergantian dengan
banyak cewek akan dicap sebagai jagoan. Arjuna. Tapi perempuan yang tidur
bergantian dengan banyak lelaki akan dibilang piala bergilir. Apapun yang kita
lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama perempuan” (hal. 83)
Konstruksi sosial akan identitas seseorang didasarkan pada jenis kelamin
tertentu dengan perilaku dan sifat yang melekat padanya selalu ada dalam
masyarakat. Ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk sosialisasi nilai gender datang
secara beragam dan tidak dapat dihindari selama hidup.
Larung adalah bentuk dari perlawanan terhadap kemandirian perempuan
(neneknya) itu sendiri, karena ia melihat neneknya (representasi perempuan yang
perkasa) sehingga ia mengalami kehidupan yang pahit karena berusaha untuk
melawan arus nilai-nilai sosial. Cara yang terbaik mengakhiri perlawanan dari
neneknya adalah kematian neneknya itu.
6. Nilai-nilai
Konsep ini mengarah kepada perilaku seseorang, apa yang tidak diinginkan
atau apa yang diinginkan, baik atau buruk, itu semua relatif. Nilai-nilai yang
kita miliki secara tak langsung memengaruhi perilaku kita. Nilai mencakup
berbagai perilaku sosial secara luas ; seks, politik, pendidikan dan
sebagainya. Bentuk-bentuk nilai yang diperlihatkan dalam novel Larung adalah :
“Liang vagina mengingatkan aku pada
jaringan seperti malam tempat hidup pertama dibentuk, bau asam yang menanti
basa mani, lembab dan hangat, lembab dan hangat, tapi lorong telinga
mengingatkan aku pada kematian;sebuah akhir yang tak selesai” (hal 4).
“kenapa manusia menjadi tua, sakit,
sebelum mati, dan busuk? Sebab tubuh mencintai kehidupan maka ia melawan rasa
sakit dengan maut” (hal 49).
Ayu Utami menentang konstruksi makna dan nilai umum yang berlaku di
masyarakat bahwa seksualitas adalah hal yang perlu ditekan atau direpresi. Ayu
Utami juga menentang bahwa pengekangan terhadap insting alamiah ini merupakan
syarat terciptanya masyarakat beradab.
Dalam Larung, penulis bermain dengan tema-tema sosial, menganalisis
budaya patriarki dan seksualitas, praktik kekuasaan di Indonesia serta
rekonstruksi sejarah dalam sudut pandang yang berbeda. Masalah seksualitas
sangat dominan dalam dialog dan interaksi dalam teks. Ayu Utami menyajikan ide
atau gagasan mengenai seksualitas melalui tokoh-tokohnya. Setting cerita Larung
juga menghadirkan nuansa politik tahun 60-an yang penuh konflik dan ideologi
politik, baik di kalangan elit maupun di masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa Larung menyajikan wacana seksualitas sebagai alat
perlawanan terhadap ideologi gender dengan usaha-usaha daripada para tokoh di
dalamnya untuk membuat tafsiran baru (menentang) terhadap konstrusi sosial.
Dapat dikatakan pula Larung adalah karya sastra yang menunjukkan perjuangan
perempuan, tetapi pada saat yang sama juga menggambarkan budaya patriarki
bekerja, yaitu budaya yang memosisikan perempuan pada level subordinat.
4.
Falosentrisme Dalam Novel
Larung
Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh
oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung, di mana Shakuntala
membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran
sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya
yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala
hal hingga maksimal” (Larung, 141), khususnya dalam dua wilayah yang “khas
laki-laki”: kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan
kecepatan tinggi.
Mengenai latihan ereksi abangnya, dengan nada sedikit mengejek
Shakuntala mengatakan, “ia bisa menyuruh-nyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti
seorang komandan memerintah batalyon dan kompi” (Larung, 140).. Di samping itu,
si abang memiliki kepercayaan pada akal yang amat berlebihan, yakin “bahwa akal
akan menaklukkan badan” (Larung, 139), dan bahkan “tak mau percaya bahwa ada
otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras” (ibid).
Berkat latihannya, dengan kekuatan akal (yaitu dengan mengulang-ulang kata
ngaceng) dia dapat memerintah alat vitalnya untuk berdiri.
Berseberangan dengan sikap abangnya, bagi Shakuntala
“keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab
bagiku menari adalah menjadi. [...] Tubuhku hanya ingin menjadi. Tapi apa
salahnya menjadi tidak genap?” (Larung,
Dalam hal representasi seksualitas, novel Ayu Utami memiliki
pesan yang cukup eksplisit yaitu membicarakan seks dengan keterbukaan yang
provokatif, memprotes stereotip pasif perempuan, menolak falosentrisme pada
umumnya, mengakui orientasi seksual yang plural. Namun, ambivalensi tak terlalu
sulit dicari. Berikut ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang justru
bertentangan dengan pesan eksplisit tersebut.
Dalam representasi hubungan homoseksual antarperempuan,
lesbianisme, novel Saman/Larung ternyata justru mereproduksi stereotip yang
sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, khususnya lesbian. Tokoh Laila
digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki
kecenderungan menjadi seorang lesbian. Dia heteroseksual 100 persen. Namun,
saat sedang patah hati karena dikecewakan pacarnya, dia tidak menolak didekati
secara seksual oleh Shakuntala. Hubungan seks antara kedua perempuan itu pun
terjadilah. Stereotip yang direproduksi di sini adalah anggapan bahwa perempuan
cenderung menjadi lesbian karena dikecewakan laki-laki. Di samping itu, sebuah
prasangka lain yang sering kita dengar tampaknya justru dibuktikan benar di
sini: kekhawatiran bahwa lesbianisme dapat “menular” sehingga berbahayalah bagi
perempuan “normal” (baca: heteroseksual) seperti Laila bergaul dengan orang
seperti Shakuntala.
Alasan Shakuntala mengajak Laila bercinta adalah untuk
mengajari kawannya itu mengenal tubuhnya sendiri. Menurut penilaian Shakuntala,
Laila belum pernah mengalami orgasme dan keadaan itu tidak boleh dibiarkan
berlangsung lebih lama. Argumentasi ini terasa janggal bagi saya: bukankah
untuk mengenal tubuhnya sendiri dan mengalami orgasme seorang perempuan tidak
mesti berhubungan seks, apalagi melakukan hubungan seks yang tidak sesuai
dengan orientasi seksualnya sendiri? Kalau Laila memang begitu lugu atau kaku
sehingga dia tidak berinisiatif mengeksplorasi tubuhnya sendiri, bukankah cukup
kalau Shakuntala menyarankan padanya mencoba masturbasi, seperti yang dilakukan
tokoh Lara pada Mei dalam situasi yang serupa dalam novel Tujuh Musim Setahun
karya Clara Ng (2002)?
Dalam buku hariannya, tokoh Cok menceritakan pengalamannya
ketika sebagai murid SMA dia mulai berhubungan seks. Karena tidak mau
kehilangan keperawanannya, pada awalnya hubungan dengan pacarnya berbentuk
masturbasi sang pacar dengan payudara Cok dan seks anal. “Lalu kupikir-pikir,
kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku
mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue”, begitu kesimpulan Cok
mengenai pengalaman itu dan dia pun memutuskan berhenti menjaga keperawanannya
(Larung, 82-83). Di sini timbul kesan dalam hubungan heteroseksual, perempuan
hanya dapat merasa nikmat dan mencapai orgasme apabila terjadi koitus,
sedangkan laki-laki punya alternatif lain mencapai orgasme.
Lalu bagaimana dengan hubungan seks yang terjadi antara
Shakuntala dan Laila? Jelas di sini tidak terjadi koitus, dan praktik seksual
yang saya sebut sebagai monopoli laki-laki dalam hubungan heteroseksual di atas
mestilah digunakan oleh kedua perempuan itu. Namun, justru adegan ini
diceritakan dengan sangat singkat dan kabur. Dengan “kesopanan” yang terasa
janggal dalam sebuah karya yang begitu “terbuka” mengenai seks di bagian-bagian
lainnya, narasi diputuskan pada saat Shakuntala membuka baju dan mulai
berdekatan dengan Laila (Larung, 132 dan 153). Narasi kemudian malah
dilanjutkan dengan cerita metaforis mengenai vagina sebagai bunga karnivora:
cerita yang justru mempersoalkan hubungan seksual antara perempuan dan
laki-laki. Hanya kalimat terakhir yang mungkin dapat dibaca sebagai semacam
keterangan mengenai apa yang terjadi antara Shakuntala dan Laila: “Tapi
klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang
disebabkan angin” (Larung, 153).
Apa perlunya “pengaburan” semacam itu? Mengapa misalnya cara
abang Shakuntala melatih ereksinya diceritakan dengan begitu gamblang,
sedangkan untuk mendeskripsikan rangsangan pada klitoris saja diperlukan
metafora aneh yang kurang mengena tentang “angin” yang menggetarkannya!
Bahwa cerita tentang bunga karnivora ditempatkan pada adegan
itu bukanlah sebuah anakronisme. Setelah Shakuntala memutuskan bahwa Laila
perlu diberi “pelajaran seks” sebelum menemui Sihar lagi, dia melanjutkan:
“Setelah itu kamu [Laila-Pen] boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga
karnivora…”. Artinya, lewat hubungan seks antarperempuan, Shakuntala bermaksud
mengajari Laila mengenai hakikat hubungan seks “secara umum”, dan yang
dimaksudkan dengan seks “secara umum” itu adalah hubungan heteroseksual.
Heteronormatifitas yang tampak sangat jelas dalam adegan ini diperkuat oleh
kenyataan bahwa Laila tertarik pada sisi maskulin dalam diri Shakuntala, dan
pada saat hubungan seks dimulai, Laila “tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala
apakah Saman apakah Sihar” (Larung, 132). Hubungan homoseksual di sini sekadar
semacam variasi dari heterosexual matrix.
Metafora bunga karnivora dapat dipahami sebagai gugatan
terhadap stereotip kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering diibaratkan
bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang pasif, di sini
disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga pengisap “cairan dari makhluk
yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat”. Namun, di
sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi pusat segala
kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat [...] akan memeras binatang yang masuk,
dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia
hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.” (Larung, 153). Vagina
yang haus akan sperma: inikah representasi seks versi perempuan, versi yang
tidak falosentris?
Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut bisa
dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual perempuan. Dalam
merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme ketika berhubungan seks, bagi
seorang perempuan semprotan sperma ke dalam vagina jelas tidak terlalu
berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan tidak berarti sama sekali.
Misalnya kalau si laki-laki belum berejakulasi atau berejakulasi ke dalam
kondom, hal itu tentu tidak menjadi halangan bagi pasangannya untuk mencapai
orgasme.
Yang mengganggu pada gambaran stereotipikal tentang perempuan
sebagai bunga adalah implikasi yang timbul karena gambaran itu diambil dari
alam. Bunga sudah secara alami diam di tempat, jadi dalam penggunaan gambaran
semacam itu terdapat asumsi bahwa sifat pasif pada perempuan merupakan sifat
alami (kodrat). Ayu Utami mengganti bunga yang pasif itu dengan jenis bunga
yang ganas dan aktif, tapi cerita mengenai “kehausan” bunga itu akan cairan
kembali membawa kita pada persoalan kodrat. Bukankah akhirnya kontraksi otot
vagina (yang terjadi ketika perempuan mengalami orgasme) terkesan sebagai
semacam “naluri alam” untuk mengisap sperma, dalam arti bahwa orgasme perempuan
terjadi bukanlah demi kenikmatan, tapi demi masuknya sperma ke dalam rahim,
atau dengan kata lain: demi kelanjutan umat manusia?
Cerita mengenai vagina sebagai bunga karnivora menghubungkan
kenikmatan, orgasme perempuan dengan ejakulasi laki-laki. Namun, bukankah
setiap perempuan menyadari bahwa tanpa “diperas” sekalipun, “binatang bodoh tak
bertulang belakang” itu tetap akan memuntahkan cairannya-dengan kata lain,
pengibaratan vagina sebagai bunga karnivora sekadar sebuah permainan imaji yang
tidak sesuai dengan realitas pengalaman perempuan?
Representasi seksualitas dalam novel Larung berpusat pada
hubungan heteroseksual, khususnya pada koitus. Kecenderungan itu bahkan dapat
ditemukan pada representasi tingkah laku seksual yang jauh menyimpang dari
norma, yaitu hubungan sadomasokis Yasmin dengan Saman. Dilihat secara sekilas,
di sini sekali lagi kita menemukan pemberontakan atau pemutarbalikan terhadap
relasi kekuasaan laki-laki-perempuan yang normatif: Yasmin mengambil peran
sebagai penyiksa, Saman sebagai korban.
Kutipan berikut ini adalah deskripsi Yasmin tentang
pengalaman itu dalam sebuah suratnya kepada Saman: “Kamu biarkan aku mengikatmu
pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main
dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu
biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang
tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu,
atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus
interuptus yang harafiah” (Larung, 157).
Meskipun permainan ini jauh dari imaji normatif tentang
persetubuhan, toh sekali lagi pusatnya adalah koitus. Dan siksaan yang
diceritakan dengan paling rinci dan jelas adalah penundaan atau pencegahan
orgasme Saman, sehingga timbul kesan bahwa coitus interuptus menyebabkan
penderitaan yang luar biasa bagi seorang laki-laki. Penderitaan itu terkesan
jauh lebih hebat daripada misalnya penderitaan Laila atau Cok yang terangsang
dan birahi, namun tidak mencapai orgasme dalam permainan seks, seperti yang
disebut di atas. Ternyata dalam hubungan seks yang didominasi oleh seorang
perempuan ini pun koitus digambarkan sebagai satu-satunya cara berhubungan
seks, dan orgasme laki-laki menjadi pusat perhatian. Apakah Yasmin mencapai
orgasme sama sekali tidak dipersoalkan.
Di samping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang
menentang falosentrisme, pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas
justru terdapat kecenderungan falosentris. Saya tidak menemukan indikasi bahwa
ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Larung ini merupakan
ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan
eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai
sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau
dengan kata lain, kritik itu dimasukkan hanya dalam beberapa adegan. Di level
yang lain, novel Ayu justru sangat falosentris.
Bab III
Simpulan
Berdasarkan pendekatan struktural, unsur intrinsik yang terdapat pada
novel Larung karya Ayu Utami adalah : (i) Tema dari novel tersebut adalah
perlawanan terhadap budaya patriarki dan biudaya yang mentabukan perbincangan
soal seks dan soal seksuallitas.(ii) Amanat yang ingin disampaikan oleh penulis
adalah : Seks dan seksualitas harus menjadi wacana dialogis yang tidak perlu
ditutup-tutupi atau ditabukan, seksualitas tidak boleh menjadikan wanita
sebagai subordinative laki-laki atau masyarakat bawahan, kekuasaan dan
kekerasan harus dihentikan supaya masyarakat dapat hidup secara demokratis.
(iii) Alur atau plot dalam novel Larung pada bagian pertama dan kedua,
pengarang menggunakan alur pemikiran (yang dipentingkan adalah pemikirannya
dibandingkan dengan tokoh dan alurnya), sedangkan pada bagian tiga pengarang
menggunakan alur maju. (iv) Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah ; Larung,
Saman, Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, Yasmin Moningka,
Sihar Situmorang, Teknik pelukisan tokoh menggunakan teknik tidak langsung. (v)
Latar yang digunakan pengarang sebagai landas tumpu dalam novel ini meliputi
latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat misalnya, Jakarta, New
York, Selat Philip; latar waktu, misalnya tahun 1996, 1 Juni 1996, 27 Juli
1996; latar sosial menyangkut status sosial tokoh dan keadaan atau situasi
sosial ketika peristiwa dalam cerita ini terjadi. Status sosial tokoh,
misalnya, kelas menengah ke atas dan situasi social (vi) Sudut pandang novel
ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang
pertama.
Dari analisis ini terdapat temuan bahwa energi id begitu
mendominasi pembentukan kepribadian tokoh Larung. Kekuatan energi id Larung
yang menguasai wilayah ketidaksadarannya tersebut adalah ketertarikannya
terhadap organ dalam tubuh manusia. Pengaruh cerita di masa kecil, yaitu mitos
Ni Rangda (Leak) yang mengenakan perhiasan dari organ manusia tertanam kuat
dalam dirinya. Dari mitos yang diyakini itulah, ia sering mengalami halusinasi
tentang organ dalam manusia ketika ia berhadapan dengan lawan bicara. Ia
menjadikan sosok nenek sebagai objek ketertarikannya secara seksual. Hal ini
membuat Larung dianggap sebagai homoseksual di lingkungan teman-temannya, sebab
ia tidak pernah menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis selain neneknya.
Larung menyajikan wacana seksualitas sebagai alat perlawanan terhadap
ideologi gender dengan usaha-usaha daripada para tokoh di dalamnya untuk
membuat tafsiran baru (menentang) terhadap konstrusi sosial. Dapat dikatakan
pula Larung adalah karya sastra yang menunjukkan perjuangan perempuan, tetapi
pada saat yang sama juga menggambarkan budaya patriarki bekerja, yaitu budaya
yang memosisikan perempuan pada level subordinat.
Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh
konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung, di mana Shakuntala
membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran
sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya
yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala
hal hingga maksimal” (Larung, 141), khususnya dalam dua wilayah yang “khas
laki-laki”: kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan
kecepatan tinggi.
Di samping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang
falosentrisme, pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat
kecenderungan falosentris. Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi
dalam representasi seksualitas di novel Larung ini merupakan ambivalensi yang
disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai
seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi.
Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata
lain, kritik itu dimasukkan hanya dalam beberapa adegan. Di level yang lain,
novel Ayu justru sangat falosentris.
Kami S128Cash selaku Bandar Betting Online Terbesar dan Terpercaya ingin mengajak Anda bergabung bersama kami.
ReplyDeleteHanya disini yang menggunakan sistem Terbaru untuk kenyamanan dan kemudahan bettor dalam melakukan Betting.
Semua permaina Populer tersedia disini, seperti :
- Sportsbook
- Live Casino
- IDN Poker
- Sabung Ayam Online
- Slot Games Online
- Tembak Ikan Online
- Klik4D
PROMO BONUS S128Cash :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Tunggu apalagi? Segera daftarkan diri Anda !!
Informasi lebih lanjut bisa hubungi kami melalui :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.biz
Judi Bola
Situs Judi Bola Resmi dan Terpercaya