Friday, November 8, 2013

Kajian Sastra Novel Larung Karya Ayu Utami

Kajian Sastra

“Analisis Struktural dan Sosiologi Sastra pada Novel Larung Karya Ayu Utami”



Oleh :
Adis Rahmat Sukadis (070362)
Ardi Satria Nugroho (070366)
Wahyudin (070359)




Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2010






BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam memahami sebuah sastra para peneliti atau kritikus sastra sering menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memahami sastra itu sendiri dan hubungannya dengan kehidupan nyata. Jika diibaratkan pendekatan ini merupakan pisau untuk menegtahui isi dari sebuah jeruk yang kita misalkan sastranya.
Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dengan pembacanya. Apa yang ditulis sastrawan dalam karya sastranya adalah sesuatu yang ingin diungkapkan pada pembaca. Dalam penyampaian idenya tersebut sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya. Novel merupakan salah satu sastra yang akrab dengan dunia pembaca. Penokohan dalam sebuah novel merupakan hal pokok yang tidak mungkin bisa digantikan. Penokohan dalam novel seringkali dihubungkan dengan tokoh dan karakternya disamakan dengan kehidupan nyata yang merupakan salah satu esensi dari sastra.
Novel sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Novel dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa novel itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana estetika atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman novel dapat ditinjau dari beberapa aspek. Hal ini tergantung pada isi nilai-nilai novel yang dibahas di dalamnya. Kehadiran novel untuk dinikmati pembaca, tetapi tidak terlepas dari latar belakang penyairnya serta keadaan pada zamannya. Oleh karena itu,novel perlu ditinjau dari segi struktural dan segi sosiologi yang dikaitkan dengan kenyataan. Selain itu kritik sastra novel juga dapat dilakukan melalui Analisis teks sastra menurut metode analisis Arthur Asa Berger yang memfokuskan pada hubungan sosial antar peran-peran yang ada di dalam teks sastra tersebut. Yang secara spesifik mencakup beberapa konsep utama, antara lain : Alienasi (alienation), Anomi (anomie), Penyimpangan (deviance), Peran / sosial (rol/social), Jenis kelamin (gender), dan Nilai-nilai (values).
Novel larung karya Ayu Utami merupakan salah satu yang melukiskan masalah-masalah sosial dan cinta. Pengarang dengan teliti memilih kata-kata denotatif dan konotatif, sehingga mampu mencerminkan pengalaman hidupnya secara baik. Masalah social dan cinta tersebut tidak lepas dari kepribadiaan tokoh-tokohnya yang digambarkan dengan sangat menarik.
Masalah sosial dan cinta menjadi objek dalam novel larung dari unsur struktural dan sosiologi. Dengan harapan dapat mengetahui secara mendalam tentang isi dan bobot nilai kesusastraannya. Memahami atau menganalisis novel pada hakikatnya adalah membaca kehidupan. Karena novel dapat mencerminkan corak kehidupan masyarakat pada zamannya, dan mampu menjelaskan harkat, dan martabat manusia secara utuh, serta berisikan masalah kehidupan yang universal. Sampai saat ini penelitian mengenai pemahaman kritik novel sangat kurang. Oleh karena itu peneliti ingin memahami struktur novel larung karya Ayu Utami.
1.2  Rumusan Maslah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.   Bagaimanakah unsur intrinsik dalam novel larung karya Ayu Utami?
2.   Bagaimanakah kepribadian Tokoh Utama Novel Larung Karya Ayu Utami?
3.   Bagaimanakah tinjauan sosiologi sastra Berger dalam novel Larung karya Ayu Utami?
4.   Bagaimanakah Falosentrisme Dalam Novel Larung karya Ayu Utami?
1.3  Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan antara lain sebagai berikut :
1.   Untuk mengungkapkan unsur intrinsik dalam novel larung karya Ayu Utami?
2.   Untuk mengetahui kepribadian Tokoh Utama Novel Larung Karya Ayu Utami?
3.   Untuk mengetahui tinjauan sosiologi sastra Berger dalam novel Larung karya Ayu Utami?
4.   Untuk mengetahui Falosentrisme Dalam Novel Larung karya Ayu Utami?
BAB II
PEMBAHSAN

1.      Analisis Struktural pada Novel Larung Karya Ayu Utami
Strukturalisme memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw dalam Wiyatmi, 2006 : 89). Dalam penerapannya penelitian dilakukan secara obyektif dalam penerapannya memahami karya sastra secara close reading (membaca karya secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungannya dengan realitas, maupun pembaca) analisis difokuskan pada unsur-unsur intrinsik karya sastra.
Dalam pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural memandang karya sastra sebagai sosok yang berdiri sendiri, mengesampingkan unsur di luar karya sastra. Karya sastra dipandang bermutu, manakala karya tersebut mampu menjalin unsur-nsur secara padu dan bermakna.
Berdasarkan pendekatan struktural, unsur intrinsik yang terdapat pada novel Larung karya Ayu Utami adalah :
  1. Tema dari novel tersebut adalah perlawanan terhadap budaya patriarki dan biudaya yang mentabukan perbincangan soal seks dan soal seksuallitas.
  2. amanat yang ingin disampaikan oleh penulis adalah :
  1. Seks dan seksualitas harus menjadi wacana dialogis yang tidak perlu ditutup-tutupi atau ditabukan.
  2. Seksualitas tidak boleh menjadikan wanita sebagai subordinative laki-laki atau masyarakat bawahan.
  3. Kekuasaan dan kekerasan harus dihentikan supaya masyarakat dapat hidup secara demokratis.
  1. Alur atau plot dalam novel Larung pada bagian pertama dan kedua, pengarang menggunakan alur pemikiran (yang dipentingkan adalah pemikirannya dibandingkan dengan tokoh dan alurnya), sedangkan pada bagian tiga pengarang menggunakan alur maju.
  2. Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah ; Larung, Saman, Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, Yasmin Moningka, Sihar Situmorang, Teknik pelukisan tokoh menggunakan teknik tidak langsung.
  3. Latar yang digunakan pengarang sebagai landas tumpu dalam novel ini meliputi latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat misalnya, Jakarta, New York, Selat Philip; latar waktu, misalnya tahun 1996, 1 Juni 1996, 27 Juli 1996; latar sosial menyangkut status sosial tokoh dan keadaan atau situasi sosial ketika peristiwa dalam cerita ini terjadi. Status sosial tokoh, misalnya, kelas menengah ke atas dan situasi sosial
  4. Sudut pandang novel ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama.
2.      Kepribadian Tokoh Utama Novel Larung Karya Ayu Utami
Kepribadian manusia menurut teori psikoanalisis terdiri dari tiga aspek yaitu id, ego, dan superego. Segi ketidaksadaran manusia yang disebut id (Das Es)  merupakan salah satu inti pokok dari teorinya.  Teori ini menekankan bahwa kesadaran manusia seperti gunung es, hanya sebagian kecil saja yaitu puncak teratasnya yang tampak terapung di laut. Sebagian besar badan gunung es tersebut terendam di bawah permukaan laut. Ketiga sistem yaitu id, ego  dan superego dalam diri seseorang merupakan satu susunan yang bersatu dan harmonis. Id berada dalam alam ketidaksadaran, sedangkan ego dan superego berada dalam alam kesaran manusia. Dengan bekerja sama secara teratur ketiga sistem itu memungkinkan seorang individu untuk bergerak secara efisien dan memuaskan dalam lingkungan. Sebaliknya, jika ketiga sistem kepribadian ini bertentangan satu sama lain, maka orang yang bersangkutan akan menjadi orang yang tidak dapat menyesuaikan diri.  Berdasarkan hal tersebut, pendekatan psikoanalisis dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan id dalam diri tokoh utama novel Larung yang dicurigai mengidap gejala neurosis.
Dari analisis ini terdapat temuan bahwa energi id begitu mendominasi pembentukan kepribadian tokoh Larung. Kekuatan energi id Larung yang menguasai wilayah ketidaksadarannya tersebut adalah ketertarikannya terhadap organ dalam tubuh manusia. Pengaruh cerita di masa kecil, yaitu mitos Ni Rangda (Leak) yang mengenakan perhiasan dari organ manusia tertanam kuat dalam dirinya. Dari mitos yang diyakini itulah, ia sering mengalami halusinasi tentang organ dalam manusia ketika ia berhadapan dengan lawan bicara. Ia menjadikan sosok nenek sebagai objek ketertarikannya secara seksual. Hal ini membuat Larung dianggap sebagai homoseksual di lingkungan teman-temannya, sebab ia tidak pernah menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis selain neneknya.
Seperti dalam kalimat “setiap kali aku berhubungan dengan tubuh yang masai tanpa daya itu, menyentuh permukaannya yang kesat, kelaminnya yang menyisakan lembab, jemariku dan diriku adalah kelunakan dua siput bugil yang tak jantan dan tak betina …”
3.      Kritik Sosiologi Sastra  pada Novel Larung Karya Ayu Utami
Karya sastra merupakan hasil proyeksi lingkungan (pengarang, kondisi sekitar pengarang maupun kondisi lingkungan tempat karya sastra diciptakan) yang diungkapkan melalui bahasa atau dapat dikatakan karya sastra mempergunakan bahasa sebagai medianya. Karena mempergunakan bahasa di dalamnya, maka teks di dalamnya pun memuat bahasa-bahasa yang memiliki keterasingan dari bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Analisis teks sastra menurut metode analisis Arthur Asa Berger yang memfokuskan pada hubungan sosial antar peran-peran yang ada di dalam teks sastra tersebut. Yang secara spesifik mencakup beberapa konsep utama, antara lain :
1.      Alienasi (alienation) yakni, seseorang yang teralienasi merasa seperti “orang asing” yang tidak memiliki hubungan dengan masyarakat atau beberapa kelompok dalam masyarakat.
2.      Anomi (anomie) yakni, seseorang yang menolak norma-norma yang ada dalam masyarakat.
3.      Penyimpangan (deviance) yakni, penyimpangan yang merujuk pola-pola perilaku yang dianggap berbeda dari yang sudah ada atau pada umumnya.
4.      Peran / sosial (rol/social) yakni, konsep yang merujuk jenis tingkah laku tertentu yang kita pelajari, yang berhubungan dengan harapan orang terhadap kita, yang terkait dengan situasi tertentu, yang ditentukan oleh tempat kita dalam suatu masyarakat.
5.      Jenis kelamin (gender) yakni, kontulsi sosial yang dijadikan pembeda antara individu berjenis kelamin laki-laki dan individu berjenis kelamin perempuan. Konsep ini penting ketika dikaitkan dengan peran-peran dan atribut-atribut seseorang dalam lingkungan sosialnya.
6.      Nilai-nilai (values) yakni, konsep yang merujuk perilaku seseorang, apa yang diinginkan atau tidak diinginkan, baik atau buruk, yang semua itu relatif. Nilai-nilai yang kita miliki, secara tak langsung memengaruhi perilaku kita. Nilai mencakup beragam fenomena sosial secra luas sek, politik, pendidikan dan sebagainya.
Menurut Berger manusia dan masyarakat adalah produk dialektis dinamis dan plural (dalam Eriyanto,  2001 : 13). Masyarakat adalah produk manusia, namun sebaliknya manusia adalah produk masyarakat (Eriyanto, 2001 : 17). Realitas dalam masyarakat tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga diturunkan oleh Tuhan, melainkan dibentuk dan dikontruksi oleh manusia itu sendiri. Dengan demikian realitas memiliki wajah ganda. Setiap orang bisa mempunyai kontruksi yang berbeda tentangnya.
1.      Alienasi
Seseorang yang teralienasi merasa seperti orang asing yang tidak memiliki hubungan masyarakat. Gejala alienasi ini diperlihatkan dalam kalimat-kalimat sebagai berikut :
“Luar biasa , sahutku, saya baru tahu Indonesia punya presiden, saya bahkan baru tahu bahwa Indonesia adalah negara” (hal. 31).

“Tidak, aku bukan pengecut melainkan seseorang yang memiliki hati sebab hanya para terhukum mati yang berhak mengetahui saat eksekusi” (hal 51).
Larung adalah tokoh ysng menunjukkan hasil penekanan dari sistem patriarki dan sistem politik yang penuh kekerasan. Bentuk penekanan berasal dari identitas gender larung sebagai laki-laki. Di sinilah terjadi pertentangan antara rasionalitas dan emosi yang berusaha saling mendominasi pada individu.
Larung adalah representasi puncak rasionalitas sistem masyarakat patriaki. Emosi pada akhirnya menjadi dominan dalam dirinya dan menguasai logika normalnya untuk menentukan saat kematiannya sendiri. Ilusi ilusi Larung memberikan kemenangan pada dunia nyata ketika ia membiarkan rasinalitas dikalahkan oleh maut dan oleh tindakan yuang didasarkan pada ilusi yang ada pada dirinya.
2.      Anomi
Seseorang yang menolak norma-normanya disebut anomic. Gejala ini diperlihatkan pada kalimat berikut-berikut ini (dialog-dialog yang diucapkan Cok).
“Tapi membiarkan lelaki masturbasi dengan payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan” (hal  82)

“tapi Yasmin masih sering memanggilku perek. Atau anggap saja perek adalah perempuan yang suka bereksperimen” (hal 84)
.Karakter cok mempresentasikan posisi perempuan yang bisa melakukan perlawanan terhadap nilai seksualitas yang diterapkan pada perempuan.
3.      Penyimpangan (deviance)
Penyimpangan mengarah kepada pola-pola perilaku yang dianggap berbeda dari yang sudah ada atau pada umumnya. Perilaku kita terhadap berbagai penyimpangan berubah seiring berjalannya waktu. Bentuk-bentuk penyimpangan dalam teks digambarkan lewat kalimat-kalimat berikut :
“… dia tidak mau meniduri seorang perawan, kata Shakuntala. Apa artinya saya bertanya. Itu berarti lelaki yang bertanggungjawab. Tapi, apakah kamu tidak bertanya, Laila, kenapa harus ada seorang lelaki yang bertanggungjawab atas ke[perawanan seorang perempuan? Barangkali, Laila, jika kamu renggut dengan keperawanan kamu, dengan pikiranmu atau dengan jari-jarimu, dia bisa tidur dengan tenang, tidur dengan kamu ...”

“dan sembilan puluh sembilan persen lelaki tidak memuaskan kamu kalau kamu tidak memuaskan diri sendiri” Shakuntala berkata sambil lallu.
Pembicaraan mengenai seksualitas dianggap tabu, dan penulis novel Larung ditempatkan yang sangat membahayakan, baik bagi kaum adam, perempuan lain maupun masyarakat secara keseluruhan. Bentuk-bentuk seksualitas yang menyimpang di masyarakat menjadi konsep-konsep yang disajikan penulis untuk menawarkan ide otonomi perempuan di area seksualitas yang berbeda dengan nilai seksualitas dan norma yang berbeda dengan nilai yang ddominan di masyarakat. Secara langsung Ayu Utami merekonstruksi nilai dan norma yang dominan di masyarakat.
4.      Peran
Konsep peran mengarah kepada jenis tingkah laku tertentu yang kita pelajari, yang berhubungan dengan  harapan orang terhadap kita, yang terkait dengan situasi tertentu yang ditentukan oleh tempat kita dalam suatu masyarakat. Dalam satu hari seseorang dapat memainkan banyak peran. Konsep ini diperlihatkan oleh kalimat-kalimat sebagai berikut :
“Saman tidak membiarkan Laila ikut melayani di dapur. Lelaki itu menanak nasi dan menggoreng tempe, seperti memberikan kesempatan pada Laila dan Sihar untuk berbicara berdua. Tapi juga seperti tanpa tujuan. Setelah makan ia meminta tolong Laila memotong pepaya dan membuatkan kopi untuk mereka bertiga. Laila menurut sebab itu pekerjaan imbang. Tapi ia selalu merasa ada pembicaraan yang penting di antara Saman dan Sihar sementara ia tidak hadir” (hal 115).

“Orang tuaku percaya bahwa laki-laki cenderung rasional dan wanita emosional. Karena itu, pria akan memimpin dan wanita akan mengasihi. Pria membangun dan wanita memelihara. Maka bapak mengajari abangku menggunakan akal untuk mengontrol dunia, juga badan. Aku tidak pernah dipaksanya untuk melakukan hal yang sama, sebab ia percaya pada hakikatnya aku tak mampu. Wanita diciptakan dari iga. Karena itu ia ditakdirkan memiliki kecenderungan bengkok sehingga harus diluruskan oleh pria” (hal. 136).
Teks Larung menunjukkan dapat berperan dalam dunia publik yang dicirikan bagi laki-laki. Pada saat yang sama juga tidak banyak perempuan yang beraktivitas di area publik. Sepertinya penulis gelisah akan peran dan aktifitas perempuan. Peran social perempuan diterapkan sebagai atribut atas jenis kelamin yang dimiliknya.
5.      Gender
Gender adalah konstruksi sosial yang dijadikan pembeda antara individu berjenis laki-laki dan perempuan. Konsep ini penting apabila dikaitkan dengan peran-peran dan atribut seseorang dalam lingkungan sosialnya. Konsep gender di dalam larung diperlihatkan dalam kalimat-kalimat di bawah ini :
“Sang janda murka. Sebab ia janda dan anaknya dara tanpa pelamar, sebab inilah kemalangan perempuan;tanpa lelaki sebab nilai perempuan diciptakan oleh lelaki. Ratna Manjali, putrid rupawan itu sia-sia. Sebab wanita pembawa petaka, tetapi lelaki menyelamatkannya” (hal. 38).

“laki-laki yang tidur bergantian dengan banyak cewek akan dicap sebagai jagoan. Arjuna. Tapi perempuan yang tidur bergantian dengan banyak lelaki akan dibilang piala bergilir. Apapun yang kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama perempuan” (hal. 83)
Konstruksi sosial akan identitas seseorang didasarkan pada jenis kelamin tertentu dengan perilaku dan sifat yang melekat padanya selalu ada dalam masyarakat. Ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk sosialisasi nilai gender datang secara beragam dan tidak dapat dihindari selama hidup.  
Larung adalah bentuk dari perlawanan terhadap kemandirian perempuan (neneknya) itu sendiri, karena ia melihat neneknya (representasi perempuan yang perkasa) sehingga ia mengalami kehidupan yang pahit karena berusaha untuk melawan arus nilai-nilai sosial. Cara yang terbaik mengakhiri perlawanan dari neneknya adalah kematian neneknya itu.

6.      Nilai-nilai
Konsep ini mengarah kepada perilaku seseorang, apa yang tidak diinginkan atau apa yang diinginkan, baik atau buruk, itu semua relatif. Nilai-nilai yang kita miliki secara tak langsung memengaruhi perilaku kita. Nilai mencakup berbagai perilaku sosial secara luas ; seks, politik, pendidikan dan sebagainya. Bentuk-bentuk nilai yang diperlihatkan dalam novel Larung adalah :
“Liang vagina mengingatkan aku pada jaringan seperti malam tempat hidup pertama dibentuk, bau asam yang menanti basa mani, lembab dan hangat, lembab dan hangat, tapi lorong telinga mengingatkan aku pada kematian;sebuah akhir yang tak selesai” (hal 4).

“kenapa manusia menjadi tua, sakit, sebelum mati, dan busuk? Sebab tubuh mencintai kehidupan maka ia melawan rasa sakit dengan maut” (hal 49).
Ayu Utami menentang konstruksi makna dan nilai umum yang berlaku di masyarakat bahwa seksualitas adalah hal yang perlu ditekan atau direpresi. Ayu Utami juga menentang bahwa pengekangan terhadap insting alamiah ini merupakan syarat terciptanya masyarakat beradab.
Dalam Larung, penulis bermain dengan tema-tema sosial, menganalisis budaya patriarki dan seksualitas, praktik kekuasaan di Indonesia serta rekonstruksi sejarah dalam sudut pandang yang berbeda. Masalah seksualitas sangat dominan dalam dialog dan interaksi dalam teks. Ayu Utami menyajikan ide atau gagasan mengenai seksualitas melalui tokoh-tokohnya. Setting cerita Larung juga menghadirkan nuansa politik tahun 60-an yang penuh konflik dan ideologi politik, baik di kalangan elit maupun di masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa Larung menyajikan wacana seksualitas sebagai alat perlawanan terhadap ideologi gender dengan usaha-usaha daripada para tokoh di dalamnya untuk membuat tafsiran baru (menentang) terhadap konstrusi sosial. Dapat dikatakan pula Larung adalah karya sastra yang menunjukkan perjuangan perempuan, tetapi pada saat yang sama juga menggambarkan budaya patriarki bekerja, yaitu budaya yang memosisikan perempuan pada level subordinat.
4.      Falosentrisme Dalam Novel Larung
Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung, di mana Shakuntala membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala hal hingga maksimal” (Larung, 141), khususnya dalam dua wilayah yang “khas laki-laki”: kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi.
Mengenai latihan ereksi abangnya, dengan nada sedikit mengejek Shakuntala mengatakan, “ia bisa menyuruh-nyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti seorang komandan memerintah batalyon dan kompi” (Larung, 140).. Di samping itu, si abang memiliki kepercayaan pada akal yang amat berlebihan, yakin “bahwa akal akan menaklukkan badan” (Larung, 139), dan bahkan “tak mau percaya bahwa ada otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras” (ibid). Berkat latihannya, dengan kekuatan akal (yaitu dengan mengulang-ulang kata ngaceng) dia dapat memerintah alat vitalnya untuk berdiri.
Berseberangan dengan sikap abangnya, bagi Shakuntala “keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab bagiku menari adalah menjadi. [...] Tubuhku hanya ingin menjadi. Tapi apa salahnya menjadi tidak genap?” (Larung,
Dalam hal representasi seksualitas, novel Ayu Utami memiliki pesan yang cukup eksplisit yaitu membicarakan seks dengan keterbukaan yang provokatif, memprotes stereotip pasif perempuan, menolak falosentrisme pada umumnya, mengakui orientasi seksual yang plural. Namun, ambivalensi tak terlalu sulit dicari. Berikut ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang justru bertentangan dengan pesan eksplisit tersebut.
Dalam representasi hubungan homoseksual antarperempuan, lesbianisme, novel Saman/Larung ternyata justru mereproduksi stereotip yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, khususnya lesbian. Tokoh Laila digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi seorang lesbian. Dia heteroseksual 100 persen. Namun, saat sedang patah hati karena dikecewakan pacarnya, dia tidak menolak didekati secara seksual oleh Shakuntala. Hubungan seks antara kedua perempuan itu pun terjadilah. Stereotip yang direproduksi di sini adalah anggapan bahwa perempuan cenderung menjadi lesbian karena dikecewakan laki-laki. Di samping itu, sebuah prasangka lain yang sering kita dengar tampaknya justru dibuktikan benar di sini: kekhawatiran bahwa lesbianisme dapat “menular” sehingga berbahayalah bagi perempuan “normal” (baca: heteroseksual) seperti Laila bergaul dengan orang seperti Shakuntala.
Alasan Shakuntala mengajak Laila bercinta adalah untuk mengajari kawannya itu mengenal tubuhnya sendiri. Menurut penilaian Shakuntala, Laila belum pernah mengalami orgasme dan keadaan itu tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama. Argumentasi ini terasa janggal bagi saya: bukankah untuk mengenal tubuhnya sendiri dan mengalami orgasme seorang perempuan tidak mesti berhubungan seks, apalagi melakukan hubungan seks yang tidak sesuai dengan orientasi seksualnya sendiri? Kalau Laila memang begitu lugu atau kaku sehingga dia tidak berinisiatif mengeksplorasi tubuhnya sendiri, bukankah cukup kalau Shakuntala menyarankan padanya mencoba masturbasi, seperti yang dilakukan tokoh Lara pada Mei dalam situasi yang serupa dalam novel Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng (2002)?
Dalam buku hariannya, tokoh Cok menceritakan pengalamannya ketika sebagai murid SMA dia mulai berhubungan seks. Karena tidak mau kehilangan keperawanannya, pada awalnya hubungan dengan pacarnya berbentuk masturbasi sang pacar dengan payudara Cok dan seks anal. “Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue”, begitu kesimpulan Cok mengenai pengalaman itu dan dia pun memutuskan berhenti menjaga keperawanannya (Larung, 82-83). Di sini timbul kesan dalam hubungan heteroseksual, perempuan hanya dapat merasa nikmat dan mencapai orgasme apabila terjadi koitus, sedangkan laki-laki punya alternatif lain mencapai orgasme.
Lalu bagaimana dengan hubungan seks yang terjadi antara Shakuntala dan Laila? Jelas di sini tidak terjadi koitus, dan praktik seksual yang saya sebut sebagai monopoli laki-laki dalam hubungan heteroseksual di atas mestilah digunakan oleh kedua perempuan itu. Namun, justru adegan ini diceritakan dengan sangat singkat dan kabur. Dengan “kesopanan” yang terasa janggal dalam sebuah karya yang begitu “terbuka” mengenai seks di bagian-bagian lainnya, narasi diputuskan pada saat Shakuntala membuka baju dan mulai berdekatan dengan Laila (Larung, 132 dan 153). Narasi kemudian malah dilanjutkan dengan cerita metaforis mengenai vagina sebagai bunga karnivora: cerita yang justru mempersoalkan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki. Hanya kalimat terakhir yang mungkin dapat dibaca sebagai semacam keterangan mengenai apa yang terjadi antara Shakuntala dan Laila: “Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin” (Larung, 153).
Apa perlunya “pengaburan” semacam itu? Mengapa misalnya cara abang Shakuntala melatih ereksinya diceritakan dengan begitu gamblang, sedangkan untuk mendeskripsikan rangsangan pada klitoris saja diperlukan metafora aneh yang kurang mengena tentang “angin” yang menggetarkannya!
Bahwa cerita tentang bunga karnivora ditempatkan pada adegan itu bukanlah sebuah anakronisme. Setelah Shakuntala memutuskan bahwa Laila perlu diberi “pelajaran seks” sebelum menemui Sihar lagi, dia melanjutkan: “Setelah itu kamu [Laila-Pen] boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora…”. Artinya, lewat hubungan seks antarperempuan, Shakuntala bermaksud mengajari Laila mengenai hakikat hubungan seks “secara umum”, dan yang dimaksudkan dengan seks “secara umum” itu adalah hubungan heteroseksual. Heteronormatifitas yang tampak sangat jelas dalam adegan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Laila tertarik pada sisi maskulin dalam diri Shakuntala, dan pada saat hubungan seks dimulai, Laila “tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar” (Larung, 132). Hubungan homoseksual di sini sekadar semacam variasi dari heterosexual matrix.
Metafora bunga karnivora dapat dipahami sebagai gugatan terhadap stereotip kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering diibaratkan bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang pasif, di sini disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga pengisap “cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat”. Namun, di sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi pusat segala kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat [...] akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.” (Larung, 153). Vagina yang haus akan sperma: inikah representasi seks versi perempuan, versi yang tidak falosentris?
Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut bisa dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual perempuan. Dalam merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme ketika berhubungan seks, bagi seorang perempuan semprotan sperma ke dalam vagina jelas tidak terlalu berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan tidak berarti sama sekali. Misalnya kalau si laki-laki belum berejakulasi atau berejakulasi ke dalam kondom, hal itu tentu tidak menjadi halangan bagi pasangannya untuk mencapai orgasme.
Yang mengganggu pada gambaran stereotipikal tentang perempuan sebagai bunga adalah implikasi yang timbul karena gambaran itu diambil dari alam. Bunga sudah secara alami diam di tempat, jadi dalam penggunaan gambaran semacam itu terdapat asumsi bahwa sifat pasif pada perempuan merupakan sifat alami (kodrat). Ayu Utami mengganti bunga yang pasif itu dengan jenis bunga yang ganas dan aktif, tapi cerita mengenai “kehausan” bunga itu akan cairan kembali membawa kita pada persoalan kodrat. Bukankah akhirnya kontraksi otot vagina (yang terjadi ketika perempuan mengalami orgasme) terkesan sebagai semacam “naluri alam” untuk mengisap sperma, dalam arti bahwa orgasme perempuan terjadi bukanlah demi kenikmatan, tapi demi masuknya sperma ke dalam rahim, atau dengan kata lain: demi kelanjutan umat manusia?
Cerita mengenai vagina sebagai bunga karnivora menghubungkan kenikmatan, orgasme perempuan dengan ejakulasi laki-laki. Namun, bukankah setiap perempuan menyadari bahwa tanpa “diperas” sekalipun, “binatang bodoh tak bertulang belakang” itu tetap akan memuntahkan cairannya-dengan kata lain, pengibaratan vagina sebagai bunga karnivora sekadar sebuah permainan imaji yang tidak sesuai dengan realitas pengalaman perempuan?
Representasi seksualitas dalam novel Larung berpusat pada hubungan heteroseksual, khususnya pada koitus. Kecenderungan itu bahkan dapat ditemukan pada representasi tingkah laku seksual yang jauh menyimpang dari norma, yaitu hubungan sadomasokis Yasmin dengan Saman. Dilihat secara sekilas, di sini sekali lagi kita menemukan pemberontakan atau pemutarbalikan terhadap relasi kekuasaan laki-laki-perempuan yang normatif: Yasmin mengambil peran sebagai penyiksa, Saman sebagai korban.
Kutipan berikut ini adalah deskripsi Yasmin tentang pengalaman itu dalam sebuah suratnya kepada Saman: “Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harafiah” (Larung, 157).
Meskipun permainan ini jauh dari imaji normatif tentang persetubuhan, toh sekali lagi pusatnya adalah koitus. Dan siksaan yang diceritakan dengan paling rinci dan jelas adalah penundaan atau pencegahan orgasme Saman, sehingga timbul kesan bahwa coitus interuptus menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi seorang laki-laki. Penderitaan itu terkesan jauh lebih hebat daripada misalnya penderitaan Laila atau Cok yang terangsang dan birahi, namun tidak mencapai orgasme dalam permainan seks, seperti yang disebut di atas. Ternyata dalam hubungan seks yang didominasi oleh seorang perempuan ini pun koitus digambarkan sebagai satu-satunya cara berhubungan seks, dan orgasme laki-laki menjadi pusat perhatian. Apakah Yasmin mencapai orgasme sama sekali tidak dipersoalkan.
Di samping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang falosentrisme, pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat kecenderungan falosentris. Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Larung ini merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dimasukkan hanya dalam beberapa adegan. Di level yang lain, novel Ayu justru sangat falosentris.


Bab III
Simpulan

Berdasarkan pendekatan struktural, unsur intrinsik yang terdapat pada novel Larung karya Ayu Utami adalah : (i) Tema dari novel tersebut adalah perlawanan terhadap budaya patriarki dan biudaya yang mentabukan perbincangan soal seks dan soal seksuallitas.(ii) Amanat yang ingin disampaikan oleh penulis adalah : Seks dan seksualitas harus menjadi wacana dialogis yang tidak perlu ditutup-tutupi atau ditabukan, seksualitas tidak boleh menjadikan wanita sebagai subordinative laki-laki atau masyarakat bawahan, kekuasaan dan kekerasan harus dihentikan supaya masyarakat dapat hidup secara demokratis. (iii) Alur atau plot dalam novel Larung pada bagian pertama dan kedua, pengarang menggunakan alur pemikiran (yang dipentingkan adalah pemikirannya dibandingkan dengan tokoh dan alurnya), sedangkan pada bagian tiga pengarang menggunakan alur maju. (iv) Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah ; Larung, Saman, Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, Yasmin Moningka, Sihar Situmorang, Teknik pelukisan tokoh menggunakan teknik tidak langsung. (v) Latar yang digunakan pengarang sebagai landas tumpu dalam novel ini meliputi latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat misalnya, Jakarta, New York, Selat Philip; latar waktu, misalnya tahun 1996, 1 Juni 1996, 27 Juli 1996; latar sosial menyangkut status sosial tokoh dan keadaan atau situasi sosial ketika peristiwa dalam cerita ini terjadi. Status sosial tokoh, misalnya, kelas menengah ke atas dan situasi social (vi) Sudut pandang novel ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama.
Dari analisis ini terdapat temuan bahwa energi id begitu mendominasi pembentukan kepribadian tokoh Larung. Kekuatan energi id Larung yang menguasai wilayah ketidaksadarannya tersebut adalah ketertarikannya terhadap organ dalam tubuh manusia. Pengaruh cerita di masa kecil, yaitu mitos Ni Rangda (Leak) yang mengenakan perhiasan dari organ manusia tertanam kuat dalam dirinya. Dari mitos yang diyakini itulah, ia sering mengalami halusinasi tentang organ dalam manusia ketika ia berhadapan dengan lawan bicara. Ia menjadikan sosok nenek sebagai objek ketertarikannya secara seksual. Hal ini membuat Larung dianggap sebagai homoseksual di lingkungan teman-temannya, sebab ia tidak pernah menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis selain neneknya.
Larung menyajikan wacana seksualitas sebagai alat perlawanan terhadap ideologi gender dengan usaha-usaha daripada para tokoh di dalamnya untuk membuat tafsiran baru (menentang) terhadap konstrusi sosial. Dapat dikatakan pula Larung adalah karya sastra yang menunjukkan perjuangan perempuan, tetapi pada saat yang sama juga menggambarkan budaya patriarki bekerja, yaitu budaya yang memosisikan perempuan pada level subordinat.
Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung, di mana Shakuntala membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala hal hingga maksimal” (Larung, 141), khususnya dalam dua wilayah yang “khas laki-laki”: kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi.
Di samping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang falosentrisme, pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat kecenderungan falosentris. Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Larung ini merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dimasukkan hanya dalam beberapa adegan. Di level yang lain, novel Ayu justru sangat falosentris.



1 comment:

  1. Kami S128Cash selaku Bandar Betting Online Terbesar dan Terpercaya ingin mengajak Anda bergabung bersama kami.
    Hanya disini yang menggunakan sistem Terbaru untuk kenyamanan dan kemudahan bettor dalam melakukan Betting.
    Semua permaina Populer tersedia disini, seperti :
    - Sportsbook
    - Live Casino
    - IDN Poker
    - Sabung Ayam Online
    - Slot Games Online
    - Tembak Ikan Online
    - Klik4D

    PROMO BONUS S128Cash :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
    - BONUS CASHBACK 10%
    - BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!

    Tunggu apalagi? Segera daftarkan diri Anda !!
    Informasi lebih lanjut bisa hubungi kami melalui :
    - Livechat : Live Chat Judi Online
    - WhatsApp : 081910053031

    Link Alternatif :
    - http://www.s128cash.biz

    Judi Bola

    Situs Judi Bola Resmi dan Terpercaya

    ReplyDelete

MATERI PEMBELAJARAN KELAS 9 BAB 1: MELAPORKAN HASIL PERCOBAAN

  MATERI PERTEMUAN KE 1 & 2 E-LEARNING KELAS IX MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh: Adis Rahmat S., M.Pd.     bab 1  melap...