Sunday, April 28, 2013


Kajian Sturktural (Sintaksis, Pragmatik dan Semantik)
Puisi “Aku Menari” Karya Asep G.P

oleh 
Adis Rahmat Sukadis. S.Pd

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pasca Sarjana
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2013




“Aku Menari”

Aku menari dibawah cahaya rembulan
peluh membasahi sekujur tubuh
hingga menjelang malam
aku terus saja menari tak henti

karena aku ingin mencari kedamaian

aku kini menari dibawah terik matahari
peluh membasahi sekujur tubuh
hingga kulit tubuh menghitam
bibir terus memanjatkan doa-doa

karena dunia kini dipenuhi manusia yang tak punya jiwa
( Serang, Januari 2003)
Asep G.P

Kajian Struktural
Menurut Pradopo (2009: 7) mengatakan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama. Puisi adalah karya sastra yang kompleks pada setiap lariknya mempunyai makna yang dapat ditafsirkan secara denotatif atau pun konotatif. Puisi merupakan suatu karya sastra yang inspiratif dan mewakili makna yang tersirat dari ungkapan batin seorang penyair. Sehingga setiap kata atau kalimat tersebut secara tidak langsung mempunyai makna yang abstrak dan memberikan imaji terhadap pembaca. Kata-kata yang terdapat dalam puisi dapat membentuk suatu bayangan khayalan bagi pembaca, sehingga memberikan makna yang sangat kompleks.
Sebuah puisi merupakan kesatuan yang utuh atau bulat, dan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat padu karena tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Unsur-unsur dalam sebuah puisi bersifat fungsional dalam kesatuannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya (Waluyo, 1991: 25). Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh. Struktur batin puisi terdiri atas : tema, nada, perasaan, dan amanat. Sedangkan struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata kongkrit, majas, verifikasi dan tipografi puisi. Majas terdiri atas lambang dan kiasan, sedangkan verifikasi terdiri dari : rima, ritma dan metrum (Waluyo, 1991: 28). Dalam analisis struktural ini, puisi yang dianalisis adalah “Aku Menari” karya Asep G.P, meliputi :
1. Diksi (Pilihan Kata)
Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca (Herwan, 2005 : 39). Dalam puisi “Aku Menari” disamping, terdapat beberapa pilihan kata yang digunakan oleh pengarang yang sangat sederhana seperti yang dapat dilihat dalam puisi tersebut. Kata-kata yang digunakan oleh penyair merupakan kata-kata yang ringan, familiyar, universal dan mudah dipahami oleh para pembacanya. Diksi yang digunakan berasal dari bahasa sehari-hari untuk mendukung makna yang berubungan dengan kecemasan aku lirik dalam menjalani kehidupannya. Diksi yang terdapat dalam puisi tersebut, antara lain sebagai berikut :
Ø  Aku menari di bawah cahaya rembulan
Ø  Peluh membasahi sekujur tubuh
Ø  Bibir terus memanjatkan doa-doa
Beberapa contoh diksi yang telah disebutkan di atas menunjukkan beberapa pengertian. Dalam menggunakan kata-kata aku menari di bawah cahaya rembulan, pembaca akan lebih mudah mengetahui makna sebenarnya dari puisi tersebut. Pada kata peluh membasahi sekujur tubuh, yakni kata-kata yang digunakan dalam kalimat tersebut menggunakan kata-kata yang mengandung unsur perumpamaan. Sedangkan kalimat bibir terus memanjatkan doa-doa, ini menyatakan makna yang sebenarnya dari puisi tersebut, bahwa kecemasan si aku lirih dalam mencari kedamaian dalam kehidupan dunia yang semakin menghawatirkan, karena manusia-manusia yang hidup di zaman sekarang ini sudah tidak mempunyai hati nurani.
2. Pengimajian (Citraan)
Pengimajian adalah kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan. Ada beberapa jenis citraan, sesuai dengan indera yang menghasilkannya, yaitu citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan rabaan, citraan pencecapan, citraan penciuman, dan citraan gerak. Pada puisi “Aku Menari” pengimajian yang digunakan oleh pengarang terdapat pada:
Aku menari dibawah cahaya rembulan/ aku kini menari dibawah terik matahari (citran pengelihatan)
peluh membasahi sekujur tubuh (citraan pencecapan)
aku terus saja menari tak henti (citraan gerak)
hingga kulit tubuh menghitam/ bibir terus memanjatkan doa-doa/ hingga menjelang malam (citraan pengelihatan)
karena dunia kini dipenuhi manusia yang tak punya jiwa(citraan pendengaran)

3. Bahasa Figuratif  (Majas)
Bahasa figuratif atau majas adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang biasa, yakni suara yang langsung mengungkapkan makna. Dengan gaya bahasa tersebut diharapkan akan memberikan warna kehidupan atau menghidupkan kata-kata yang dikatakan penyair, apabila penggunaan gaya bahasa ini tepat, maka akan mempengaruhi hasil karya penyair tersebut. Majas-majas yang terdapat dalam puisi Aku Menari ini ada dua jenis majas, antara lain sebagai berikut :
Peluh membasahi sekujur tubuh (metafora)
Bibir terus memanjatkan doa-doa (metafora)
Aku terus saja menari tak henti karena aku ingin mencari kedamaian (metafora)
Karena dunia dipenuhi manusia yang tak punya jiwa (metafora)
Hingga menjelang malam aku terus saja menari tak henti (hiperbola)
Aku kini meanari di bawah terik matahari peluh membasahi sekujur tubuh hingga kulit tubuh menghitam (hiperbola)
4. Sarana retorika
Sarana yang dikombinaasikan dalam puisi tersebut untuk memperkuat dan mempertegas atau untuk penandasan, disamping membuat liris karena iramanya yang mengalun oleh ulangan-ulangan bunyi yang teratur. Yang menggunakan majas metafora, hiperbola dan penegas yang saling berkesinambungan.
5. Kekongkritan Sajak (Secara Sintaksis)
Kekongkritan puisi “Aku Menari” karya Asep G.P tampak pada pengunaan kosa kata yang memperjelas makana puisi tersebut. Kata-kata yang digunakan dalam puisi tersebut merupakan kata-kata yang biasa dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan kata-kata dasar ayang abadi dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Misalnya kata-kata seperti aku menari, cahaya rembulan, mencari kedamaian, terik matahari, peluh,dan  jiwa.
Unsur-unsur ketatabahasaan dipergunakan dalam puisi ini untuk ekspresivitas, membuat hidup, dan liris karena kepadatan kesejajaran atau keselarasan bunyi dan arti meski sering mneyimpang dari tata bahasa normatif. Misalnya dalam pemadata-pemadatan tersebut terjadi kalimat aku menari dibawah cahaya rembulan, peluh membasahi sekujur tubuh, bibir teus memanjatkan doa-doa, karena dunia kini dipenuhi manusia yang tak punya jiwa.
6. Bentuk Puisi
Bentuk puisi mempunyai peranan yang cukup penting. Dengan adanya bentuk puisi ini kita dapat menentukan puisi tersebut termasuk dalam periode berapa. Dalam arti puisi tersebut tergolong puisi lama atau modern. Di samping itu bentuk puisi antara puisi yang satu dengan lainnya berbeda. Adapun yang termasuk bentuk puisi adalah bait dan baris, nilai bunyi dan persajakan. Tiap-tiap bagian akan kami uraikan berikut ini.
A. Bait dan Baris
Puisi-puisi pada masa sekarang ini mempunyai bentuk bait dan baris yang berbeda-beda. Adapun bait dan baris yang terdapat dalam puisi tersebut nampak sebagai berikut:
empat bait. Bait pertama empat baris, bait kedua satu baris, bait ketiga ketiga empat baris, dan bait keempat satu baris. Jumlah baris keseluruhannya sepuluh baris.
B. Nilai Bunyi
Nilai bunyi erat hubungannya dengan ritme dan rima. Herwan (2005: 52-54), membagi nilai bunyi menjadi dua macam yakni euphony dan cacophony. Euphony adalah perulangan bunyi atau rima yang cerah, ringan , yang menunjukkan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi. Biasanya bunyi-bunyi i, e, dan a merupakan bunyi keceriaan. Cacophony adalah perulangan bunyi-bunyi yang berat menekan, menyeramkan, mengerikan seolah-olah seperti suara desau atau suara burung hantu. Biasanya bunyi-bunyi seperti ini diwakili oleh vokal-vokal o, u, e, atau diftong au. Adapun mengenai nilai bunyi yang terdapat dalam puisi “Aku Menari” antara lain sebagai berikut :
Suasana kecemasan atau kegundahan, murung, bingung, ragu sangat pekat dalam puisi ini. Penggunaan kata-kata seperti kata di bawah, peluh, sekujur tubuh, hingga, terus, dunia yang  memberikan tafsiran perasaan kebingungan sekaligus ketakjuban pengarang. Ini ditandai dengan penggunaan fonem vokal /a/, /o/, /u/ termasuk bunyi cocophony. Selain itu tafsiran suasana hati yang riang juga ditemukan dalam puisi ini, melalui kata-kata menari, membasahi, tak henti, ingin, terik, kini, jiwa yang ditandai dengan penggunaan fonem vokal /e/, /i/ termasuk bunyi euphony yang terasa ringan. Akan tetapi, pada dasarnya segala tafsiran atas kata-kata yang digunakan pengarang dalam puisinya sangat bergantung kepada tafsiran pembaca puisi.
      Secara keseluruhan nilai bunyi yan terdapat dalam puisi “Aku Menari” ini lebih dominan bunyi-bunyi cocophony, karena bernadakan keadaan yang mencekam dan mengerikan. Bunyi euphony juga ada di dalam puisi tersebut, walaupun tidak mendominasi.
C. Persajakan
Persajakan ada dua macam, yaitu persajakan berdasarkan tempat dan persajakan susunan. Berdasarkan tempat masih dibagi lagi, yaitu persajakan awal dan persajakan akhir. Persajakan awal, yaitu apabila perulangan bunyi terdapat pada tiap-tiap awal perkataan. Persajakan akhir apabila perulangan itu dijumpai pada akhir setiap kata dalam satu baris. Berdasarkan susunannya persajakan masih dibagi lagi, yaitu persajakan berangkai, berulang dan berpeluk. Persajakan berangkai apabila persamaan bunyi aa, bb, cc dan seterusnya. Persajakan berulang apabila persamaan bunyinya abac, cdce. Persajakan berpeluk apabila persamaan bunyinya abba, cddc (Tarigan, 1985: 35-36). Puisi “Aku Menari” ini mempunyai persajakan bebas, karena tidak dibatasi oleh kesemua hal yang telah dikemukakan. Lagi pula jumlah barisnya dari bait yang satu dengan bait lainnya berbeda. Sehingga persajakan bebas ini tidak memerlukan aturan, dalam arti aturan menganai persajakan.
E. Tipografi
Bentuk tubuh puisi ini bait dan barisnya menggambarkan susasana yang longgar, sejajar dan isisnya bersamaan. Puisi tersebut masih mengikuti pola tifografi puisi pada umumnya, artinya dapat ditafsir, bahwa penyair memiliki kesederhanaan dalam penyusunan bentuk puisinya, emosi jiwa sangat terasa dalam susunan sajaknya yang cukup ekspresif.
7. Isi Puisi Berdasarkan Struktur Batin
Isi puisi adalah segala hal mengenai apa yang terkandung dalam puisi tersebut. Maksud dari penyair diungkapkan dibagian isi puisi ini. Isi puisi ini mencakup mengenai narasi, emosi dan ide.
A. Narasi
Narasi adalah suatu bentuk wacana yang bertugas menggambarkan sejelas-jelasnya suatu objek yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa (Keraf, 1982: 137-138). Narasi dalam sebuah puisi berarti penguraian atau penceritaan dimana puisi bukan sebagai bentukan dari hal-hal di luar puisi, melainkan dari isi puisi itu sendiri. Maksudnya adalah bahwa puisi sebagai suatu yang harus disampaikan kepada orang lain dengan jalan seperti bercerita. Penyair dalam puisi “Aku Menari” ini mengungkapkan mengenai kegundahan dan kecemasan dalam indahnya kedamaian. Aku lirik di dalam puisi tersebut mengalami kecemasan yang sangat luar biasa ketika ia tak dapat membaca isyarat yang datang mungkin berupa tanda maupun simbol keadaan sekitarnya, ketika kedamaian sudah tidak dapat ditemukan lagi di muka bumi ini. Dengan susah payah si aku lirik mencari tempat yang damai dengan cucuran keringat membasahi seluruh tubuh dan membuat kulit tubuhnya hitam terbakar oleh teriknya sinar matahari, serta doa-doa yang selalu mengiringi kemana pun langkahnya pergi tetap saja tak ditemukan, karena penyair mengangap di dunia zaman sekarang ini telah dipenuhi orang-orang yang tidak mempunyai hati nurani lagi atau orang-orang yang tidak mempunyai jiwa besar. Disamping itu di ungkapkan pula kekacauan zaman, tentang kekhawatirannya sebagai seorang penyair, tentang harapan hidup, tentang kesedihan dan kebahagiaan yang sudah tidak dapat menemukan tempat membagi rasa, baik di dalam keadaan suka maupun duka.
B. Emosi (Perasaan atau Feeling)
Emosi adalah perasaan penyair yang diungkapkan melalui hasil karyanya dalam hal ini puisi. Emosi diwarnai oleh suasana hati penyair, yang kadang-kadang dipelajari dengan membiasakan peka terhadap lingkungannya. Dalam puisi “Aku Menari” emosi nampak sebagai kelembutan karena kerinduan maupun emosi yang bersifat kasar karena rasa gelisah yang ada di dalam hatinya. Adapun data yang mengungkapkan mengenai emosi kelembutan tersebut nampak sebagai berikut: “Aku terus saja menari tak hanti karena aku ingin mencari kedamaian”

C. Ide (Tema)
Ide atau gagasan adalah yang menjelmakan menjadi puisi. Puisi tidak lahir dari lintasan perasaan saja, tetapi puisi juga lahir dari perenungan yang panjang sebelum tertuang dalam rangkaian kata, yang mengungkapkan apa yang dilihatnya, direnungkan, kemudian berkembang menjadi imajiansinya. Puisi Agus G.P, Aku Menari mengemukakan permasalahan tentang rasa kegundahan dan kecemasan mengenai kedamaian di muka bumi yang perlahan-lahan mulai menghiang, didalamnya juga terdapat nilai-nilai sosial yang mulai tergeser oleh penindasan kekuasaan, kekacauan zaman dan lain-lain.
D. Amanat
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Dalam puisi “Aku Menari” ini amanat yang terkandung yaitu : manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri hendahknya menjaga perdamaian dan tidak saling menyakiti seluruh umat manusia di dunia, karena kedamaian di muka bumi yang perlahan-lahan mulai menghilang oleh penindasan kekuasaan, dan kekacauan zaman.
8. Isotopi
Yang dimaksud dengan isotopi di sini adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat di sepanjang wacana. Isotopi adalah suatu bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apapun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh. Karena itu, dalam isotopilah makna mencapai keutuhannya.
Ø  Isotopi alam : Cahaya rembulan, malam, terik matahari, dunia.
Ø  Isotopi manusia : Kulit tubuh, bibir, sekujur tubuh, peluh,
Ø  Isotopi perasaan : Kedamaian, aku ingin, tak punya jiwa
Ø  Isotopi perbuatan : Menari, ingin mencari, membasahi, memanjatkan, tak hentii
Ø  Isotopi waktu : Menjelang malam, kini
Ø  Isotopi penghubung : Yang, terus
Ø  Isotopi tempat : Di bawah
Ø  Isotopi penambahan : Hingga
Kajian Puisi Secara Semantik
a.    Aku menari di bawah cahaya rembulan (keadaan yang menggambarkan sesorang yang selalu berusaha mencari sesuatu di malam hari)
b.   Peluh membasahi sekujur tubuh ( keadaan tubuh yang telah dipenuhi oleh cucuran keringat dingin)
c.    Hingga menjelang malam (keterangan waktu yang menunjukan malam telah larut)
d.   Aku terus saja menari tak henti (keadan seseorang yang terus mencari dan mencari tanpa kenal lelah)
e.    Karena aku ingin mencari kedamaian (keterangan sesorang yang sangat merindukan kedamaian)
f.    Aku kini terus menari di bawah terik matahari (keadaan yang menggambarkan sesorang yang selalu berusaha tiada henti mencari sesuatu di siang hari yang sangat cerah)
g.   Hingga kulit tubuh menghitam (menggambarkan keadan tubuh sesorang yang semakin menghitam karena terpanggang teriknya sinar matahari)
h.   Bibir terus memanjatkan doa-doa (ketetangan sesorang yang terus berdoa mengharapkan segera menemukan apa yang sedang ia cari)
i.     Karena dunia kini dipenuhi manusia yang tak punya jiwa (keadaan yang menggambarkan kehidupan manusia di muka bumi telah dipenuhi oleh orang-orang yang sudah tidak mempunyai hati nurani, cinta kasih sesama manusia, rasa saling menghargai dan lain-lain).

Kajian Puisi Secara Pragmatik
Aku lirik di dalam konteks puisi tersebut dalam tafsiran pembaca mengalami kecemasan yang sangat luar biasa ketika ia tak dapat membaca isyarat yang mungkin berupa tanda maupun simbol keadaan sekitarnya, ketika kedamaian sudah tidak dapat ditemukan lagi di muka bumi ini. Dengan susah payah si aku lirik mencari kedamaian dengan cucuran keringat membasahi seluruh tubuh dan membuat kulit tubuhnya hitam terbakar oleh teriknya sinar matahari, dan doa-doa yang selalu mengiringi kemana pun langkahnya pergi tetap saja tak memukan kedamaian, karena penyair mengangap di dunia zaman sekarang ini telah dipenuhi orang-orang yang tidak mempunyai hati nurani lagi atau orang-orang yang tidak mempunyai jiwa besar. Disamping itu di ungkapkan pula kekacauan zaman, tentang kekhawatirannya sebagai seorang penyair, tentang harapan hidup, tentang kesedihan dan kebahagiaan yang sudah tidak dapat menemukan tempat membagi rasa, baik di dalam keadaan suka maupun duka.

Analisis Semiotik Pierce



Analisis Semiotik Pierce ( Ikon, Indeks, dan Simbol)
pada Puisi Di Ujung Ranjang” Karya Subagio Sastrowardoyo


oleh
Adis Rahmat Sukadis                                                                                       PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2012






Subagio Sastrowardoyo
Di Ujung Ranjang
Waktu tidur
tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi

tidur
adalah persiapan
buat tidur lebih lelap

di ujung ranjang
menjaga bidadari
menyanyi nina-bobo
1995

Biodata penyair :
Subagio Sastrowardoyo lahir di Madiun (Jawa Timur) 1 Februari 1924. Karya-karyanya antara lain : Simfoni (1957), Kejantanan di Sumbing (1965), Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Simfoni Dua (1990), Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992), dan Kematian Makin Akrab (1995). Ia meninggal tahun 1995.


Pendekatan Semiotik
Pendekatan semiotik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda. Hal ini sesuai dengan pengertian semiotik sebagai ilmu tanda, yang memandang fenomena sosial dan budaya sebagai sistem tanda (Preminger dalam Wiyatmi, 2006 : 92). Bahasa sebagai medium karya sastra sebenarnya sudah merupakan sistem ketandaan atau semiotika, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Selain itu, karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasar pada konvensi masyarakat (sastra). Inilah yang membedakan karya sastra dengan karya seni lain (Pradopo: 2009 : 121-122). Menurut pandangan semiotik, setiap tanda terdiri atas dua aspek , yaitu penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (refrent yang diacu oleh tanda tertentu).
Peirce dikenal dengan konsep  triadik dan  trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang menjelaskan  sesuatu. Teori makna Pierce (dalam Teeuw 1984 : 42) menekankan pada bentuk tripihak (triadik) yakni setiap gejala secara fenomologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai. Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial atau bergantung pada konteks khusus tertentu.
Menurut Pierce sistem tanda mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol yang dikatakan juga thirdness ditunjuk dengan aturan, hukum atau kebiasaan, karena representamen yang tidak dapat terlepas dari konteks sejarah/sosial suatu  masyarakat  adalah  simbol  yang  terbentuk  berdasarkan  kesepakatan; antara  simbol dan  interpretan  tidak  ada kaitan  apa pun. Tingkat keberlakuan  tanda dan pemahaman penafsir bersifat sebagai aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum, misalnya kata-kata dalam suatu bahasa (kecuali onomatope): kursi (tempat duduk);  selain itu, benda atau gambar, misalnya  bendera merah putih (Indonesia), bendera  kuning (orang  meninggal), Monas (Jakarta), logo kuda laut (Pertamina),  plat mobil berwarna merah (mobil dinas).
Indeks yang juga dikatakan secondness karena index merupakan sebab  akibat atau ada kontiguitas antara tanda sekunder yang memperingatkan adanya tanda lain yang utama. Tingkat keberlakuan tanda dan pemahaman berhadapan dengan kenyataan, ada pertemuan dengan dunia luar. Pada tingkat  ini, tanda masih ditandai  secara  individual. Contoh: dahan-dahan pohon tumbang adalah tanda dari adanya angin ribut. Sebagai tanda, indeks tidak harus selalu hadir. Ketidakhadirannya  juga dapat menjadi tanda, misalnya sandal yang tidak ada pada tempatnya merupakan tanda bahwa pemiliknya ada di rumah karena sandal  itu dipakainya.
Ikon yang juga dikatakan firstness karena ikon adalah bentuk representamen yang paling lekat dengan objek yang diwakilinya sehingga tanda dikenali pada tahap awal. Selain contoh urutan sekuen yang normal dalam narasi juga merupakan ikon dari potongan suatu peristiwa, contoh: kalimat Julius Caesar: veni, vidi, vici. Ada  ikon yang terbentuk dalam konteks kultural. Oleh karena  itu, manifestasinya dalam setiap budaya dapat  berbeda. Dalam kerangka tersebut, Peirce menyebutnya hypoicon, misalnya: onomatope.  Bunyi  tembakan, dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan dor!, dalam bahasa Inggris bang!.
Analisis Puisi Di Ujung Ranjang karya Subagio Sastrowardoyo dengan Pendekatan Semiotik
Tahap pertama memahami puisi secara semiotik adalah dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya secara referensial. Upaya pencarian makna sebuah karya sastra, menurut Riffatere (dalam Herwan, 2005 : 20) menjelaskan bahawa yang menentukan makna sebuah karya sastra adalah pembaca secara mutlak, yaitu berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca susastra. Juhl (dalam Herwan, 2005 : 20) tidak meyangkal bahwa sebuah karya sastra mempunyai signifience, makna yang berbeda-beda menurut situasi pembaca tetapi dia memertahankan pendirian bahwa arti sebuah teks tidak ambigu, dan teks tersebut memungkinkan satu penafsiran saja pada tataran arti. Jadi, pada dasarnya makna puisi merupakan penafsiran pembaca dari sebuah sistem tanda tertentu. Sedangkan dalam kaitan semiotik Pierce yang membagi dalam dalam tiga sistem tanda yakni indeks, ikon, dan simbol analisis puisi Di Ujung Ranjang karya Subagio Sastrowardoyo, difarafrasekan antara lain sebagai berikut :
Puisi berjudul Di Ujung Ranjang pada dasarnya merupakan sebuah pernyataan kebenaran tentang hakikat hidup yang pada akhirnya harus kembali pada Sang Pencipta. Untuk menggambarkan hal tersebut pengulanagn atau repetisi dalam sajak tersebut, di samping diksi dan rangkaian baris yang mendukung makna tersebut, seperti tampak pada : waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa bangun lagi/ tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap . . .  Sarana retorika hiperbola pada sajak waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa bangun lagi/ tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap, yang memberikan efek kepuitisan sehingga menarik perhatian, pikiran sehingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Disamping itu diksi “tidur” (tiga kali digunakan) mengacu pada tanda (simbol) yang mengingatkan kita pada kematian atau istilah laian yaitu tidur panjang, menandakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia.
Puisi tersebut merupakan salah satu puisi yang ditulis pertengahan tahun 1990-an, dalam situasi kehidupan sosial budaya masyrakat moderen yang penuh dinamika. Dinamika kehidupan manusia modern ditandai dengan kehidupan manusia yang takut akan kematian. Kesibukan dinamika kehidupan manusia dalam puisi tersebut digambarkan dengan kegiatan ketika sesorang sedang tidur tak ada seorang pun yang tak dapat menjamin atau memastikan bahwa ia akan bangun kembali.
Mealaui pemaparan yang sederhana dan ringkas penyair hendak mengajak pembaca kearah penafsiran sederhana tentang “kematian”. Penafsiran tersebut terlihat dalam awal penggunaan kata “Di Ujung(tanda indeks) sebagai judul puisi, yang mengagajak pembaca pada sebuah pemahaman “tanda” tentang kata jalan. Kata jalan merupakan kata yang menandai akan adanya sebuah pangkal atau awal dan ujung atau akhir. Artinya, jika seseorang berjalan dari mulai pangkal secara terus menerus, maka sampailah ia pada sebuah ujung jalan itu. Sementara kata “ranjang” (tanda simbol) merupakan tanda yang menandakan tempat tidur. Kata “tidur” (tanda indeks) mengingatkan kita pada kematian atau istilah laian yaitu tidur panjang. Kata tidur  merupakan tanda yang menandakan kematian, sebab segala sesuatu yang hidup pasti akan mati. Kata “bidadari” (tanda ikon) merupakan tanda yang menandakan seorang perempuan yang sangat cantik bertugas untuk melayani manusia di surga. Kata “nina-bobo” (tanda simbol) merupakan tanda yang menandakan nyanian atau lagu pengantar tidur yang sering dinyanikan oleh seorang ibu kepada anaknya.
Puisi tersebut mengandung kebenaran tentang hakikat eksistensi kehidupan seorang manusia yang pada akhirnya harus berhubungan dengan maut atau kematian sebgai pembatas dalam pencapaian kehidupan yang kekal nantinya. Ungkapan hakikat manusia mengacu pada kecenderungan tertentu mengenai manusia, karena segala sesuatu yang hidup pasti akan kembali kepada Sang Penciptanya. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakan dirinya dari yang  lain. Puisi tersebut sudah jelas mengedepankan hakikat manusia yang pada intinya hakikat dari semua jiwa manusia adalah sama, meskipun dalam menjalani kehidupanya manusia selalu berbeda-beda jalannya karena manusia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pertanggung jawaban tersebut menyangkut segala sesuatu hasil perbuatan baik atau buruk yang telah dilakukan manusia dalam menjalani kehidupannya mengancu pada hubungan jiwa dan raganya.
Puisi tersebut lebih merupakan sebuah pernyataan kebenaran, pernyataan yang bersifat esensial seperti yang terlihat dalam penggalan sajak tidur/adalah persiapan/buat tidur lebih lelap. Makna di dalam penggalan sajak tersebut, sebenarnya masih berkaitan dengan makna yang terkandung pada bait pertama. Makna pertama merupakan tawaran pernyataan yang sama-sama benar, meski pada makna kedua lebih ditegaskan tanpa suatu penawaran kepada pembaca. Penawaran itu terasa pada kata “tak ada yang menjamin” untuk kemudian penawaran berikutnya adalah “kau bisa bangun lagi” yang ditegaskan dengan kata “adalah” yang merupakan kata hubung untuk mengawali sebuah definisi atau penjelasan secara logis.
Puisi Di Ujung ranjang karya Subagio Sastrowardoyo ini menawarkan sebuah gagasan bahwa kematian ibaratnya tidur lelap. Kematian dipandang bukan lagi sebgai sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Dalam puisi tersebut terasa sekali ketentraman batin, apabila kita membayangkan tidur sambil dinina-boboi oleh para bidadari khayangan. Dengan demikian makna kematian dalam puisi tersebut sebagai salah satu poko eksistensialis memanusia. 


Daftar Pustaka
F.R. Herwan. 2005. “Apresiasi dan Kajian Puisi”. Serang : Gerage Budaya.
Luxembrug, Jan Van, dkk. 1984. “Pengajaran Ilmu Sastra”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Noor, Acep Zamzam. 2007. “Menjadi Penyair Lagi”. Bandung : Pustaka Azan.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. “Pengkajian Puisi”. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Teeuw, A. 1984. “Sastra dan Ilmu sastra (Pengantar Teori Sastra)”. Jakarta : Pustaka Jaya.
Wiyatmi. 2006. “Pengantar Kajian Sastra”. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.

Kajian Puisi



Analisis Struktural (dalam Ranah Sintaksis, Sematik, dan Pragmatik)
Pada Puisis “Kampung Maling (Apologi Anak Si Raja Maling)” Karya Gola Gong

Gola Gong
“KAMPUNG MALING”
(Apologi anak si raja maling)

aku anak si raja maling
makan emping sama belimbing
aku lahir di kampung maling
plesiran kencing kayak anjing
aku besar di kampung maling
kursi kupaling biar happy ending

aku jadi raja maling
tak maling tak eling tujuh keliling
aku si raja maling
tender dan kepeng berkeping-keping
akulah si raja maling
bawa klewang tanpa tedeng aling-aling

Ya, akulah si raja maling di kampung maling
nyari ratu maling mas kawinnya anting-anting!
Ciloang, Desember 2002
Gola Gong, beberapa sajaknya di muat di Suara Muhammadiyah, Mitra Desa PR, Republika, Media Indonesia, tabloid Hikmah, Adil, dan Harian Banten. Juga terkumpul di antologi Jejak Tiga (1988), Ode Kampung (1995), Antologi Puisi Indonesia (KSI-Angkasa, 1997), dan Bebegig (LiST, 1998). Naskah komedi satire "Kampung Maling" dipentaskan oleh FKB di GKB. Sekarang Humas Pustakaloka RUMAH DUNIA.
Sesuai dengan namanya, pendekatan struktural memandang karya sastra dari struktur karya itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu tang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw dalam Wiyatmi 2006:89). Pendekatan ini bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Menurut aliran fungional dalam teori gramatikal relasional Siomon Dik (dalam Kridalaksana 1988 : 83) menempatkan fungsi bahasa dan fungsi dalam bahasa dalam tiga tingkat yaitu : (i) Fungsi semantik : pelaku, sasaran, penerima dsb; (ii) Fungsi sintaksis : subjek dan objek; (iii) Fungsi pragmatik : tema dan rema. Dalam analisis strulrulal ini sajak-sajak puiasi tersebut di parafrasekan menurut bagian-bagiannya yang saling melengkapi dalam susunannya yang melingkupi fungsi sintaksis, semantik dan pragmatik.
Analisis Sintaksis
Salah satu tugas sintaksis ialah menerangkan pola-pola yang mendasari satuan-satuan sintaksis, serta konstituen-konsituen atau unsur-unsur pembentuknya (dalam Odien Rosidin dan Suherlan 2004 : 236). Sekaitan dengan itu menururt Ramlan (dalam Odien Rosidin dan Suherlan 2004 : 237) menjelaskan bahwa klausa dan kalimat dapat di analisis berdasarkan tiga dasar, yaitu : (i) berdasarrkan fungsi dan unsur-unsurnya; (ii) berdasarkan kategori kata atau frasa yang menjadi unsurnya; dan (iii) berdasarkan makna unsur-unsurnya. Dengan demikian analisis sintaksis dalam sajak-sajak puisi ini perangkat yang di pakai berupa analisis fungsi, kategori, dan peran. Dalam analisis puisi “Kampung Mnaling” karya Gola Gong ini sajak-sajaknya difarap-prasekan, kemudian di petakan menurut fungsi, kategori, dan perannya dalam masing-masing kalimat. Struktur-struktur pembentuk dalam susunan sintaksis sajak-sajak puisi “Kampung Maling” antara lain sebagai berikut :  

Kekongkritan puisi “Kampung Maling” karya Gola Gong tampak pada pengunaan kosa kata yang memperjelas makana puisi tersebut. Kata-kata yang dirangkai dan digunakan dalam pembentukan sajak-sajak puisi tersebut merupakan kata-kata yang biasa dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan kata-kata dasar yang abadi dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Selain itu kata-kata yang digunnakan banyak mengambil dari kata-kata gaul dan kata-kata bahasa asing (Bahasa Inggris) yang umumnya remaja gunakan. Misalnya kata pelesiran(bepergian), hapy ending (akhirnya senag), tender (penawaran), kepeng (uang logam), klewang (sekilas) dan tedeng (penghalang). Terlepas dari itu unsur-unsur ketatabahasaan dipergunakan dalam pemadatan-pemadatan puisi ini untuk ekspresivitas, membuat hidup, dan liris karena kepadatan dan kesejajaran (keselarasan) bunyi dan arti meski sering mneyimpang dari tata bahasa normatif.
Strukurtr kalimat dalam puisi “Kampung Maling” merupakan struktur kalimat yang tidak menyimpang dari tatabahasaan normatif, karena struktur kalimatnya sudah mencakup sekurang-kurangnya unsur subjek dan predikat dengan kata lain struktur kalimatnya sudah mengandung kelengkapan fungsional. Srtruktur kalimatnya pun cenderung menggunakan kata-kata yang bermakna polos, lugas, denotatif tetapi padat dan tepat. Meskipun demikian Gola Gong tidak mengesampingkan kata-kata yang bermakna konotatif, hanya saja dalam puisi “Kampung Maling” tersebut yang paling dominan adalah penggunaan kata-kata yana bermakna denotatif.
Analisis Semantik
Semantik merupakan ilmu yang membahas tentang makna, baik makna yang terdapat dalam morfem, kata, kalimat maupun wacana (Muhajir dalam Odien dan Suherlan 2004 : 242). Sedangkan makna itu sendiri adalah hubungan antara bahasa dan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti. Dalam kaitanya dengan sajak-sajak puisi makna teks puisi ditekankan pada struktur ritmik larik sajak dan makna bahasa kiasnya. Kata-kata yang terdapat pada akhir larik sajak yaitu bunyi “ing” yang merupakan bunyi euphony yang melambangkan keceriaan, sehingga memeroleh tekanan semantik yang lebih kuat, lepas dan berdiri sendiri dalam teks.
Aspek makna dalam puisi tersbut dapat di lihat dari struktur-struktur sajak yang di petakan menurut struktur kalimatnya dalam sajak-sajak tersebut. Pada bait pertama sajak aku anak si raja maling aku lahir di kampung maling aku besar di kampung maling  (majas metafora) menpunyai makna bahwa si aku lirih dalam hal ini pengarang merupakan anak si raja maling, lahir di kampung maling dan besar di lingkungan kampung maling. Dalam hal ini si aku lirih mempunyai kebiasaan   suka menzolimi orang lain dan mengambil barang yang bukan haknya dalam hal ini di kiaskan dengan sajak makan emping sama belimbing (majas hiperbol) , serta aku lirih merupakan orang yang suka bepergian kesana kemari tak tentu tanpa tujuan layaknya anjing yang suka berlarian kesana kemari tanpa tujuan yang jelas, yang di lakukannya hanya bisa menyusahkan orang lain yang ada di sekitarnya saja dapat terlihat dalam penggalan sajak plesiran kencing kayak anjing (termasuk majas hiperbola). Dan si aku lirih adalah tife orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak mementingkaan orang yang ada di lingkungan sekitarnya, layaknya seperti para pejabat yang hanya mengejar kursi setelah tercapai ia lupa dengan janji-janjim manis  yang diucapkannya dapat terlihat dalam penggalan sajak kursi kupaling biar happy ending majas (majas personifikasi).
Pada bait kedua aku jadi raja maling tak maling tak eling tujuh keliling (majas metafora) mempunyai makna bahwa aku lirik ini menjadi seorang raja maling yang sadis yang keseharianya suka maling atau mengambil barang orang lain, yang mana bila pekerjaannya itu tidak dilakukan si aku lirih ini merasa seperti orang yang mempunyai penyakit keterbelakngan mental atau seperti orang gila. aku si raja maling tender dan kepeng berkeping-keping (majas metafora) mempunyai makna si aku lirik merupakan orang sangat berkuasa atau berpengaruh dalan hal ini aku lirih merupakan raja maling di kampung maling, karena pengaruhnya itu tawaran-tawaran berdatangan membanjiri yang menghasilkan uang yang berlimapah.  akulah si raja maling bawa klewang tanpa tedeng aling-aling (majas metafora) mempunyai makna si aku lirik ini ketika melaksanakan pekerjaannya tidak pernah ada yang menghalangi, dan ketika membawa hasil pekerjaannya dalam hal ini barang curiannya ia membawanya sekelebatan (secepat kilat) yang seolah-olah tak berbekas tanpa di ketahui oleh orang lain.
Pada bait ke tiga Ya, akulah si raja maling di kampung maling nyari ratu maling mas kawinnya anting-anting! (majas matafora) mempunyai makna bahwa si aku lirik merupakan raja maling di kampung maling yang sanagat berpengaruh, yang sedang mencari pendamping atau istri untuk dinikahinya dan di jadikan sebgai ratu maling, dengan mas kawinnya perihiasan emas (anting-anting) dan dijamin hidupnya akan bahagia dengan kemewahan yang berlimpah.
Analisis Pragmatik
Pragmatik merupakan ilmu makna bahasa, dalam kaitannya dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya yang sesuai dengan konteks tuturan (George dalam Kunjana Rahardi 2003 : 12). Pragmatis merupakan struktur yang memerikan kesesuaian kontekstual kepada apa yang diujarkan, dan sama sekali tidak memerikan informasi tentang isi ujaran. Analisis pragmatik dalam puisi “Kampung Maling” karya Gola Gong dalam tahapan makna tuturannya mencakup tuturan lokusi, ilokusi dan perlokusi serta aspek tema dan rema. Tema adalah bagian ujaran yang memberi informasi tentang apa yang diujarkan, sedangkan rema memeri informasi tentang apa yang di katakan rema. Dengan demikian tema merupakan tumpuan ujaran (Kridalaksana 1988:105). Analisisnya antara laian sebagai berikut :
1.      aku anak si raja maling, sajak tersebut mempunyai makna tuturan yaitu aku lirik dalam hal ini pengarang adalah anak si raja maling yang sadis dan ditakuti oleh masyarakat setempat. Atau aku lirik merupakan raja maling yang harus ditakuti oleh masyarakat sekitarnya termasuk dalam tindakan ilokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak aku anak (berperan sebagai tema), dan si raja maling (berperan sebagai rema).
2.      makan emping sama belimbing, makna tuturannya yaitu makan emping yang merupakan makanan daerah yang terbuat dari umbi-umbian disertai dengan buah belimbing termasuk dalam makanan kesukaan si aku lirik, atau bisa saja sajak itu merupakan permintaan dari si aku lirik untuk di bawakan emping dan belimbimng. Sajak tersebut jika dikaitkan dengan rasio atau logika manusia maknanya bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan manusia maka perbuatan tersebut merupakan hal yang tak mungkin dilakukan manusia bahkan bisa dipastikan suatu kelaianan yang diderita seseorang. Merupakan tuturan perlokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak makan (berperan sebagai tema) dan sajak emping sama belimbing (berperan sebagai rema).
3.      aku lahir di kampung maling, makna tuturan sajak tersebut yaitu aku lirih dalam hal ini bisa penyair merupakan sesorang yang dilahirkan di perkampungan yang mayoritas dihuni oleh orang-orang yang berprofesi sebagai maling/pencuri/perampok, atau seseorang yang dilahirkan di perkampungan yang kampungnya dinamakan kampung maling merupakan tuturan lokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak aku lahir (berperan sebagai tema) dan sajak di kampung maling (berperan sebagai rema). 
4.      plesiran kencing kayak anjing, makna tuturannya sajak tersebut yaitu sesorang atau aku lirih yang suka bepergian, yang setiap bepergiannya suka buang air kecil layaknya seperti anjing yang kakinya di angkat sebelah, atau orang yang suka bepergian kesana kemari dengan bertingkah laku seperti anjing. Tuturan sajak tersebut termasuk dalam tuturan perlokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak plesiran (berperan sebagai tema) dan sajak kencing kayak anjing (berperan sebagai rema).
5.      aku besar di kampung maling, makna tuturan sajak yaitu aku lirih dalam hal ini bisa penyair itu sendiri dibesarkan di kampung yang mayoritas penghuninya berprofesi sebagai maling / pencuri / perampok, bisa juga aku lirih yang dibesarkan di sebuah kampung yang dinamakan kampung maling. Termasuk dalam tuturan ilokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak aku besar (berperan sebagai tema) dan sajak di kampung maling (berperan sebagai rema).
6.      kursi kupaling biar happy ending, makna tuturan sajak yaitu aku lirih yang sedang duduk di kursi putar yang di palingkan kebelakang layaknya pejabat yang tidak memerhatikan orang yang ada disekitarnya, yang di pikirkannya adalah kesenangan dirinya sendiri. Ataui si aku lirik senganja membalikan kursinya agar ia bisa duduk dengan nyaman. Tindakan tersebut termasuk tindakan perlokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak kursi kupaling (berperan sebagai tema) dan sajak biar happy ending (berperan sebagai rema).
7.      aku jadi raja maling, makna tuturan sajak tersebut adalah adalah aku lirik dalam hal ini pengarang menjadi sesorang yang baru saja diangkat menjadi raja maling / raja pencuri yang sadis dan ditakuti oleh masyarakat sekitarnya, atau tuturan tersebut bermaksud bahwa aku lirik adalah anak dari seorang raja atau orang yang berpengaruh di sebuah kampung yang bernama kampung maling. Tuturan tersebut termasuk dalam tuturan lokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak aku jadi (berperan sebagai tema) dan sajak raja maling (berperan sebagai rema).
8.      tak maling tak eling tujuh keliling, tuturan sajak tersebut mempunyai maksud bahwa si aku lirik ini mempunyai kebiasaan maling, yang mana bila sehari saja kebiasaannya tidak di kerjakan ia akan merasa sakit yang seolah-olah pekerjaanya itu sudah mendarah daging, atau bisa saja tuturan tersebut mempunyai maksud bahwa si aku lirik memberitahukan pada lawan tuturnya (dalam hal ini pembaca puisi tersebut) bahwa pembaca jangan sampai para pembaca mengikuti kebiasaan aku lirik itu, karena kalu sampai mengikutinya ia akan susah untuk meninggalkan kebiasaanya itu. Tuturan tersebut termasuk dalam tuturan perlokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak tak maling (berperan sebagai tema) dan sajak tak eling tujuh keliling (berperan sebagai rema).
9.      aku si raja maling, tuturan sajak tersebut mempunyai maksud bahwa si aku (aku lirih) merupakan raja maling dari semua orang berpropesi sebagai maling yang sadis dan di takuti oleh masyarakat sekitarnya, atau tuturan sajak tersebut mempunyai maksud bahwa aku lirik baru saja di angkat menjadi raja maling di kampung yang bernama kampung maling. Tuturan tersebut twermasuk dalam tuturan ilokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak aku si raja (berperan sebagai tema) dan sajak maling (berperan sebagai rema).
10.  tender dan kepeng berkeping-keping, tuturan sajak tersebut mempunyai maksud bahwa si aku lirik merupakan orang yang banyak uang dan selalui di tawari pekerjaan oleh orang lain, atau tuturan sajak terasebut mempunyai makna bahwa jika banyak tawaran pekerjaan yang datang maka uang yang datangnya pun akan berkeping-keping atau berlimpah. Tuturan tersebut termasuk dalam tuturan perlokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak tender dan kepeng (berperan sebagai tema) dan sajak berkeping-keping (berperan sebagai rema).
11.  akulah si raja maling bawa klewang tanpa tedeng aling-aling, tuturan sajak tersebut mempunyai maksud bahwa si aku lirik adalah seorang raja maling, yang beroprasi dalam pekerjaannya secepat kilat dan tidak pernah ada yang menggagalkan. Atau tuturan sajak tersebut mempunyai maksud aku lirik mempunyai keahlian sebagai maling atau pencuri yang belum pernah gagal. Tuturan tersebut termasuk dalam tuturan perlokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak akulah si raja maling (berperan sebagai tema) dan sajak bawa klewang tanpa tedeng aling-aling (berperan sebagai rema).
12.  Ya, akulah si raja maling di kampung maling nyari ratu maling mas kawinnya anting-anting! Tuturan sajak tersebut mempunyai makna bahwa benar si aku lirik adalah seorang raja maling di kalangan orang-orang yang berprofesi sebagai maling atau pencuri yang mencari seorang istri untuk dinikahinya dengan mas kawinya adalah anting-anting. Atau tuturan sajak tersebut mempunyai maksud bahwa benar si aku lirik ini adalah orang yang disegani oleh penduduk yang berada di kampung yang bernama kampung maling dan ia sedang mencari sorang kekasih untuk dinikahinya dengan diberikan sebuah mas kawin berupa anting-anting serta kehidupan calon istrinya akan terjamin seumur hidup. Tuturan tersebut termasuk dalam tuturan perlokusi. Sedangkan dari sudut pragmatis ujaran sajak Ya, akulah si raja maling di kampung maling (berperan sebagai tema) dan sajak nyari ratu maling mas kawinnya anting-anting! (berperan sebagai rema).
Isotopi Puisi
Isotopi adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat di sepanjang teks wacana atau sastra. Isotopi adalah suatu bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apapun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh, karena itu, dalam isotopilah makna mencapai keutuhannya (J.V. Luxembrug 1984 : 195).
Ø  Isotopi manusia : Aku, anak, raja,
Ø  Isotopi perasaan : Eling tujuh keliling
Ø  Isotopi perbuatan : Kencing, lahir, kursi kupaling, pelesiran, maling, bawa klewang, nyari, tender
Ø  Isotopi buah-buahan : Belimbing
Ø  Isotopi hewan : Anjing
Ø  Isotopi makanan : Emping
Ø  Isotopi perhiasan : Anting-anting, mas kawin
Ø  Isotopi uang : Kepeng berkeping-keping
Ø  Isotopi penghubung : Di
Ø  Isotopi penambahan : Sama, dan
Ø  Isotopi perbandingan : Kayak

Daftar Pustaka
F.R. Herwan. 2005. “Apresiasi dan Kajian Puisi”. Serang : Gerage Budaya.
Harimurti, Kridalaksana. 1988. “Sumbangan Aliran Praha dalam Teori Linguistik”. Jakarta : Lembaga Bahasa Atmajaya.
Luxembrug, Jan Van, dkk. 1984. “Pengajaran Ilmu Sastra”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. “Pengkajian Puisi”. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Sudaryat, Yayat. 2009. “Makna dalam Wacana (Prinsif-Prinsif Semantik dan Pragmatik)”. Bandung : Yrama Widya.
Suherlan dan Odien Rosidin. 2004. “Ihwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya (Pengantar Memahami Linguistik)”. Serang : Untirta Press.
Wiyatmi. 2006. “Pengantar Kajian Sastra”. Yogyakarta : Pustaka.

MATERI PEMBELAJARAN KELAS 9 BAB 1: MELAPORKAN HASIL PERCOBAAN

  MATERI PERTEMUAN KE 1 & 2 E-LEARNING KELAS IX MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh: Adis Rahmat S., M.Pd.     bab 1  melap...