Sunday, April 28, 2013

Analisis Semiotik Pierce



Analisis Semiotik Pierce ( Ikon, Indeks, dan Simbol)
pada Puisi Di Ujung Ranjang” Karya Subagio Sastrowardoyo


oleh
Adis Rahmat Sukadis                                                                                       PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2012






Subagio Sastrowardoyo
Di Ujung Ranjang
Waktu tidur
tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi

tidur
adalah persiapan
buat tidur lebih lelap

di ujung ranjang
menjaga bidadari
menyanyi nina-bobo
1995

Biodata penyair :
Subagio Sastrowardoyo lahir di Madiun (Jawa Timur) 1 Februari 1924. Karya-karyanya antara lain : Simfoni (1957), Kejantanan di Sumbing (1965), Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Simfoni Dua (1990), Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992), dan Kematian Makin Akrab (1995). Ia meninggal tahun 1995.


Pendekatan Semiotik
Pendekatan semiotik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda. Hal ini sesuai dengan pengertian semiotik sebagai ilmu tanda, yang memandang fenomena sosial dan budaya sebagai sistem tanda (Preminger dalam Wiyatmi, 2006 : 92). Bahasa sebagai medium karya sastra sebenarnya sudah merupakan sistem ketandaan atau semiotika, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Selain itu, karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasar pada konvensi masyarakat (sastra). Inilah yang membedakan karya sastra dengan karya seni lain (Pradopo: 2009 : 121-122). Menurut pandangan semiotik, setiap tanda terdiri atas dua aspek , yaitu penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (refrent yang diacu oleh tanda tertentu).
Peirce dikenal dengan konsep  triadik dan  trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang menjelaskan  sesuatu. Teori makna Pierce (dalam Teeuw 1984 : 42) menekankan pada bentuk tripihak (triadik) yakni setiap gejala secara fenomologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai. Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial atau bergantung pada konteks khusus tertentu.
Menurut Pierce sistem tanda mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol yang dikatakan juga thirdness ditunjuk dengan aturan, hukum atau kebiasaan, karena representamen yang tidak dapat terlepas dari konteks sejarah/sosial suatu  masyarakat  adalah  simbol  yang  terbentuk  berdasarkan  kesepakatan; antara  simbol dan  interpretan  tidak  ada kaitan  apa pun. Tingkat keberlakuan  tanda dan pemahaman penafsir bersifat sebagai aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum, misalnya kata-kata dalam suatu bahasa (kecuali onomatope): kursi (tempat duduk);  selain itu, benda atau gambar, misalnya  bendera merah putih (Indonesia), bendera  kuning (orang  meninggal), Monas (Jakarta), logo kuda laut (Pertamina),  plat mobil berwarna merah (mobil dinas).
Indeks yang juga dikatakan secondness karena index merupakan sebab  akibat atau ada kontiguitas antara tanda sekunder yang memperingatkan adanya tanda lain yang utama. Tingkat keberlakuan tanda dan pemahaman berhadapan dengan kenyataan, ada pertemuan dengan dunia luar. Pada tingkat  ini, tanda masih ditandai  secara  individual. Contoh: dahan-dahan pohon tumbang adalah tanda dari adanya angin ribut. Sebagai tanda, indeks tidak harus selalu hadir. Ketidakhadirannya  juga dapat menjadi tanda, misalnya sandal yang tidak ada pada tempatnya merupakan tanda bahwa pemiliknya ada di rumah karena sandal  itu dipakainya.
Ikon yang juga dikatakan firstness karena ikon adalah bentuk representamen yang paling lekat dengan objek yang diwakilinya sehingga tanda dikenali pada tahap awal. Selain contoh urutan sekuen yang normal dalam narasi juga merupakan ikon dari potongan suatu peristiwa, contoh: kalimat Julius Caesar: veni, vidi, vici. Ada  ikon yang terbentuk dalam konteks kultural. Oleh karena  itu, manifestasinya dalam setiap budaya dapat  berbeda. Dalam kerangka tersebut, Peirce menyebutnya hypoicon, misalnya: onomatope.  Bunyi  tembakan, dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan dor!, dalam bahasa Inggris bang!.
Analisis Puisi Di Ujung Ranjang karya Subagio Sastrowardoyo dengan Pendekatan Semiotik
Tahap pertama memahami puisi secara semiotik adalah dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya secara referensial. Upaya pencarian makna sebuah karya sastra, menurut Riffatere (dalam Herwan, 2005 : 20) menjelaskan bahawa yang menentukan makna sebuah karya sastra adalah pembaca secara mutlak, yaitu berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca susastra. Juhl (dalam Herwan, 2005 : 20) tidak meyangkal bahwa sebuah karya sastra mempunyai signifience, makna yang berbeda-beda menurut situasi pembaca tetapi dia memertahankan pendirian bahwa arti sebuah teks tidak ambigu, dan teks tersebut memungkinkan satu penafsiran saja pada tataran arti. Jadi, pada dasarnya makna puisi merupakan penafsiran pembaca dari sebuah sistem tanda tertentu. Sedangkan dalam kaitan semiotik Pierce yang membagi dalam dalam tiga sistem tanda yakni indeks, ikon, dan simbol analisis puisi Di Ujung Ranjang karya Subagio Sastrowardoyo, difarafrasekan antara lain sebagai berikut :
Puisi berjudul Di Ujung Ranjang pada dasarnya merupakan sebuah pernyataan kebenaran tentang hakikat hidup yang pada akhirnya harus kembali pada Sang Pencipta. Untuk menggambarkan hal tersebut pengulanagn atau repetisi dalam sajak tersebut, di samping diksi dan rangkaian baris yang mendukung makna tersebut, seperti tampak pada : waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa bangun lagi/ tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap . . .  Sarana retorika hiperbola pada sajak waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa bangun lagi/ tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap, yang memberikan efek kepuitisan sehingga menarik perhatian, pikiran sehingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Disamping itu diksi “tidur” (tiga kali digunakan) mengacu pada tanda (simbol) yang mengingatkan kita pada kematian atau istilah laian yaitu tidur panjang, menandakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia.
Puisi tersebut merupakan salah satu puisi yang ditulis pertengahan tahun 1990-an, dalam situasi kehidupan sosial budaya masyrakat moderen yang penuh dinamika. Dinamika kehidupan manusia modern ditandai dengan kehidupan manusia yang takut akan kematian. Kesibukan dinamika kehidupan manusia dalam puisi tersebut digambarkan dengan kegiatan ketika sesorang sedang tidur tak ada seorang pun yang tak dapat menjamin atau memastikan bahwa ia akan bangun kembali.
Mealaui pemaparan yang sederhana dan ringkas penyair hendak mengajak pembaca kearah penafsiran sederhana tentang “kematian”. Penafsiran tersebut terlihat dalam awal penggunaan kata “Di Ujung(tanda indeks) sebagai judul puisi, yang mengagajak pembaca pada sebuah pemahaman “tanda” tentang kata jalan. Kata jalan merupakan kata yang menandai akan adanya sebuah pangkal atau awal dan ujung atau akhir. Artinya, jika seseorang berjalan dari mulai pangkal secara terus menerus, maka sampailah ia pada sebuah ujung jalan itu. Sementara kata “ranjang” (tanda simbol) merupakan tanda yang menandakan tempat tidur. Kata “tidur” (tanda indeks) mengingatkan kita pada kematian atau istilah laian yaitu tidur panjang. Kata tidur  merupakan tanda yang menandakan kematian, sebab segala sesuatu yang hidup pasti akan mati. Kata “bidadari” (tanda ikon) merupakan tanda yang menandakan seorang perempuan yang sangat cantik bertugas untuk melayani manusia di surga. Kata “nina-bobo” (tanda simbol) merupakan tanda yang menandakan nyanian atau lagu pengantar tidur yang sering dinyanikan oleh seorang ibu kepada anaknya.
Puisi tersebut mengandung kebenaran tentang hakikat eksistensi kehidupan seorang manusia yang pada akhirnya harus berhubungan dengan maut atau kematian sebgai pembatas dalam pencapaian kehidupan yang kekal nantinya. Ungkapan hakikat manusia mengacu pada kecenderungan tertentu mengenai manusia, karena segala sesuatu yang hidup pasti akan kembali kepada Sang Penciptanya. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakan dirinya dari yang  lain. Puisi tersebut sudah jelas mengedepankan hakikat manusia yang pada intinya hakikat dari semua jiwa manusia adalah sama, meskipun dalam menjalani kehidupanya manusia selalu berbeda-beda jalannya karena manusia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pertanggung jawaban tersebut menyangkut segala sesuatu hasil perbuatan baik atau buruk yang telah dilakukan manusia dalam menjalani kehidupannya mengancu pada hubungan jiwa dan raganya.
Puisi tersebut lebih merupakan sebuah pernyataan kebenaran, pernyataan yang bersifat esensial seperti yang terlihat dalam penggalan sajak tidur/adalah persiapan/buat tidur lebih lelap. Makna di dalam penggalan sajak tersebut, sebenarnya masih berkaitan dengan makna yang terkandung pada bait pertama. Makna pertama merupakan tawaran pernyataan yang sama-sama benar, meski pada makna kedua lebih ditegaskan tanpa suatu penawaran kepada pembaca. Penawaran itu terasa pada kata “tak ada yang menjamin” untuk kemudian penawaran berikutnya adalah “kau bisa bangun lagi” yang ditegaskan dengan kata “adalah” yang merupakan kata hubung untuk mengawali sebuah definisi atau penjelasan secara logis.
Puisi Di Ujung ranjang karya Subagio Sastrowardoyo ini menawarkan sebuah gagasan bahwa kematian ibaratnya tidur lelap. Kematian dipandang bukan lagi sebgai sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Dalam puisi tersebut terasa sekali ketentraman batin, apabila kita membayangkan tidur sambil dinina-boboi oleh para bidadari khayangan. Dengan demikian makna kematian dalam puisi tersebut sebagai salah satu poko eksistensialis memanusia. 


Daftar Pustaka
F.R. Herwan. 2005. “Apresiasi dan Kajian Puisi”. Serang : Gerage Budaya.
Luxembrug, Jan Van, dkk. 1984. “Pengajaran Ilmu Sastra”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Noor, Acep Zamzam. 2007. “Menjadi Penyair Lagi”. Bandung : Pustaka Azan.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. “Pengkajian Puisi”. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Teeuw, A. 1984. “Sastra dan Ilmu sastra (Pengantar Teori Sastra)”. Jakarta : Pustaka Jaya.
Wiyatmi. 2006. “Pengantar Kajian Sastra”. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.

No comments:

Post a Comment

MATERI PEMBELAJARAN KELAS 9 BAB 1: MELAPORKAN HASIL PERCOBAAN

  MATERI PERTEMUAN KE 1 & 2 E-LEARNING KELAS IX MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh: Adis Rahmat S., M.Pd.     bab 1  melap...