Analisis Semiotik Pierce ( Ikon, Indeks, dan Simbol)
pada Puisi “Di Ujung Ranjang” Karya Subagio Sastrowardoyo
oleh
Adis Rahmat Sukadis PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2012
Subagio
Sastrowardoyo
Di Ujung Ranjang
Waktu tidur
tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi
tidur
adalah persiapan
buat tidur lebih lelap
di ujung ranjang
menjaga bidadari
menyanyi nina-bobo
1995
Biodata penyair :
Subagio Sastrowardoyo lahir di
Madiun (Jawa Timur) 1 Februari 1924. Karya-karyanya antara lain : Simfoni
(1957), Kejantanan di Sumbing (1965), Bakat Alam dan Intelektualisme (1972),
Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Sosok Pribadi dalam Sajak
(1980), Simfoni Dua (1990), Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992), dan Kematian
Makin Akrab (1995). Ia meninggal tahun 1995.
Pendekatan
Semiotik
Pendekatan
semiotik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda.
Hal ini sesuai dengan pengertian semiotik sebagai ilmu tanda, yang memandang
fenomena sosial dan budaya sebagai sistem tanda (Preminger dalam Wiyatmi, 2006
: 92). Bahasa sebagai medium karya sastra sebenarnya sudah merupakan sistem
ketandaan atau semiotika, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Selain
itu, karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasar pada konvensi
masyarakat (sastra). Inilah yang membedakan karya sastra dengan karya seni lain
(Pradopo: 2009 : 121-122). Menurut pandangan semiotik, setiap tanda terdiri
atas dua aspek , yaitu penanda (hal
yang menandai sesuatu) dan petanda (refrent
yang diacu oleh tanda tertentu).
Peirce dikenal
dengan konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda
triadik tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi
wakil yang menjelaskan sesuatu. Teori
makna Pierce (dalam Teeuw 1984 : 42) menekankan pada bentuk tripihak (triadik) yakni setiap gejala secara
fenomologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada
sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di
luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala
tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai. Rumusan ini
mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial
atau bergantung pada konteks khusus tertentu.
Menurut Pierce
sistem tanda mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol yang dikatakan juga thirdness
ditunjuk dengan aturan, hukum atau kebiasaan, karena representamen yang tidak dapat
terlepas dari konteks sejarah/sosial suatu
masyarakat adalah simbol
yang terbentuk berdasarkan
kesepakatan; antara simbol
dan interpretan tidak
ada kaitan apa pun. Tingkat
keberlakuan tanda dan pemahaman penafsir
bersifat sebagai aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum, misalnya
kata-kata dalam suatu bahasa (kecuali onomatope): kursi (tempat duduk); selain itu, benda atau gambar, misalnya bendera merah putih (Indonesia), bendera kuning (orang
meninggal), Monas (Jakarta), logo kuda laut (Pertamina), plat mobil berwarna merah (mobil dinas).
Indeks yang juga
dikatakan secondness karena index merupakan sebab akibat atau ada kontiguitas antara tanda
sekunder yang memperingatkan adanya tanda lain yang utama. Tingkat keberlakuan
tanda dan pemahaman berhadapan dengan kenyataan, ada pertemuan dengan dunia
luar. Pada tingkat ini, tanda masih
ditandai secara individual. Contoh: dahan-dahan pohon tumbang
adalah tanda dari adanya angin ribut. Sebagai tanda, indeks tidak harus selalu
hadir. Ketidakhadirannya juga dapat
menjadi tanda, misalnya sandal yang tidak ada pada tempatnya merupakan tanda
bahwa pemiliknya ada di rumah karena sandal
itu dipakainya.
Ikon yang juga dikatakan
firstness karena ikon adalah bentuk representamen yang paling lekat dengan
objek yang diwakilinya sehingga tanda dikenali pada tahap awal. Selain contoh
urutan sekuen yang normal dalam narasi juga merupakan ikon dari potongan suatu
peristiwa, contoh: kalimat Julius Caesar: veni, vidi, vici. Ada ikon yang terbentuk dalam konteks kultural.
Oleh karena itu, manifestasinya dalam
setiap budaya dapat berbeda. Dalam kerangka
tersebut, Peirce menyebutnya hypoicon, misalnya: onomatope. Bunyi
tembakan, dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan dor!, dalam bahasa
Inggris bang!.
Analisis Puisi
Di
Ujung Ranjang karya Subagio Sastrowardoyo dengan Pendekatan Semiotik
Tahap
pertama memahami puisi secara semiotik adalah dengan menemukan arti (meaning)
unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya secara referensial. Upaya pencarian makna
sebuah karya sastra, menurut Riffatere (dalam Herwan, 2005 : 20) menjelaskan
bahawa yang menentukan makna sebuah karya sastra adalah pembaca secara mutlak,
yaitu berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca susastra. Juhl (dalam Herwan,
2005 : 20) tidak meyangkal bahwa sebuah karya sastra mempunyai signifience,
makna yang berbeda-beda menurut situasi pembaca tetapi dia memertahankan
pendirian bahwa arti sebuah teks tidak ambigu, dan teks tersebut memungkinkan
satu penafsiran saja pada tataran arti. Jadi, pada dasarnya makna puisi
merupakan penafsiran pembaca dari sebuah sistem tanda tertentu. Sedangkan dalam
kaitan semiotik Pierce yang membagi dalam dalam tiga sistem tanda yakni indeks,
ikon, dan simbol analisis puisi Di Ujung Ranjang karya Subagio Sastrowardoyo,
difarafrasekan antara lain sebagai berikut :
Puisi
berjudul Di Ujung Ranjang pada dasarnya merupakan sebuah pernyataan kebenaran
tentang hakikat hidup yang pada akhirnya harus kembali pada Sang Pencipta.
Untuk menggambarkan hal tersebut pengulanagn atau repetisi dalam sajak tersebut,
di samping diksi dan rangkaian baris yang mendukung makna tersebut, seperti tampak
pada : waktu tidur tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi/ tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap . . . Sarana retorika hiperbola pada sajak waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa
bangun lagi/ tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap, yang memberikan
efek kepuitisan sehingga menarik perhatian, pikiran sehingga pembaca
berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Disamping itu diksi “tidur” (tiga kali digunakan) mengacu
pada tanda (simbol) yang mengingatkan kita pada kematian atau istilah laian
yaitu tidur panjang, menandakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang
manusia.
Puisi
tersebut merupakan salah satu puisi yang ditulis pertengahan tahun 1990-an,
dalam situasi kehidupan sosial budaya masyrakat moderen yang penuh dinamika.
Dinamika kehidupan manusia modern ditandai dengan kehidupan manusia yang takut
akan kematian. Kesibukan dinamika kehidupan manusia dalam puisi tersebut
digambarkan dengan kegiatan ketika sesorang sedang tidur tak ada seorang pun
yang tak dapat menjamin atau memastikan bahwa ia akan bangun kembali.
Mealaui
pemaparan yang sederhana dan ringkas penyair hendak mengajak pembaca kearah
penafsiran sederhana tentang “kematian”. Penafsiran tersebut terlihat dalam
awal penggunaan kata “Di Ujung” (tanda indeks) sebagai judul puisi, yang mengagajak pembaca pada sebuah
pemahaman “tanda” tentang kata jalan. Kata jalan merupakan kata yang menandai
akan adanya sebuah pangkal atau awal dan ujung atau akhir. Artinya, jika
seseorang berjalan dari mulai pangkal secara terus menerus, maka sampailah ia
pada sebuah ujung jalan itu. Sementara kata “ranjang” (tanda simbol) merupakan tanda yang menandakan
tempat tidur. Kata “tidur” (tanda indeks)
mengingatkan kita pada kematian atau istilah laian yaitu tidur panjang. Kata
tidur merupakan tanda yang menandakan
kematian, sebab segala sesuatu yang hidup pasti akan mati. Kata “bidadari” (tanda ikon) merupakan tanda yang menandakan seorang perempuan yang sangat
cantik bertugas untuk melayani manusia di surga. Kata “nina-bobo” (tanda simbol) merupakan tanda yang menandakan nyanian
atau lagu pengantar tidur yang sering dinyanikan oleh seorang ibu kepada
anaknya.
Puisi
tersebut mengandung kebenaran tentang hakikat eksistensi kehidupan seorang
manusia yang pada akhirnya harus berhubungan dengan maut atau kematian sebgai
pembatas dalam pencapaian kehidupan yang kekal nantinya. Ungkapan hakikat
manusia mengacu pada kecenderungan tertentu mengenai manusia, karena segala
sesuatu yang hidup pasti akan kembali kepada Sang Penciptanya. Hakikat
mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu identitas
esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakan
dirinya dari yang lain. Puisi tersebut
sudah jelas mengedepankan hakikat manusia yang pada intinya hakikat dari semua
jiwa manusia adalah sama, meskipun dalam menjalani kehidupanya manusia selalu
berbeda-beda jalannya karena manusia hanya bertanggung jawab pada dirinya
sendiri. Pertanggung jawaban tersebut menyangkut segala sesuatu hasil perbuatan
baik atau buruk yang telah dilakukan manusia dalam menjalani kehidupannya
mengancu pada hubungan jiwa dan raganya.
Puisi tersebut
lebih merupakan sebuah pernyataan kebenaran, pernyataan yang bersifat esensial
seperti yang terlihat dalam penggalan sajak tidur/adalah
persiapan/buat tidur lebih lelap. Makna di dalam penggalan sajak tersebut,
sebenarnya masih berkaitan dengan makna yang terkandung pada bait pertama.
Makna pertama merupakan tawaran pernyataan yang sama-sama benar, meski pada
makna kedua lebih ditegaskan tanpa suatu penawaran kepada pembaca. Penawaran
itu terasa pada kata “tak ada yang
menjamin” untuk kemudian penawaran berikutnya adalah “kau bisa bangun lagi” yang ditegaskan dengan kata “adalah” yang merupakan kata hubung untuk
mengawali sebuah definisi atau penjelasan secara logis.
Puisi Di Ujung
ranjang karya Subagio Sastrowardoyo ini menawarkan sebuah gagasan bahwa
kematian ibaratnya tidur lelap. Kematian dipandang bukan lagi sebgai sesuatu
yang mengerikan dan menakutkan. Dalam puisi tersebut terasa sekali ketentraman
batin, apabila kita membayangkan tidur sambil dinina-boboi oleh para bidadari
khayangan. Dengan demikian makna kematian dalam puisi tersebut sebagai salah
satu poko eksistensialis memanusia.
Daftar
Pustaka
F.R. Herwan.
2005. “Apresiasi dan Kajian Puisi”. Serang
: Gerage Budaya.
Luxembrug, Jan
Van, dkk. 1984. “Pengajaran Ilmu Sastra”.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Noor, Acep
Zamzam. 2007. “Menjadi Penyair Lagi”. Bandung
: Pustaka Azan.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2009. “Pengkajian Puisi”. Yogyakarta
: Gajah Mada University Press
Teeuw, A. 1984. “Sastra dan Ilmu sastra (Pengantar Teori
Sastra)”. Jakarta : Pustaka Jaya.
Wiyatmi. 2006. “Pengantar Kajian Sastra”. Yogyakarta :
Pustaka Book Publisher.
No comments:
Post a Comment