Wednesday, May 1, 2013


Analisis Sosiologis Berger dalam  Drama “Dam” karya Putu Wijaya
Tugas Kajian Drama

oleh 
Adis Rahmat Sukadis


Karya sastra merupakan hasil proyeksi lingkungan (pengarang, kondisi sekitar pengarang maupun kondisi lingkungan tempat karya sastra diciptakan) yang diungkapkan melalui bahasa atau dapat dikatakan karya sastra mempergunakan bahasa sebagai medianya. Karena mempergunakan bahasa di dalamnya, maka teks di dalamnya pun memuat bahasa-bahasa yang memiliki keterasingan dari bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Analisis teks sastra menurut metode analisis Arthur Asa Berger yang memfokuskan pada hubungan sosial antar peran-peran yang ada di dalam teks sastra tersebut. Yang secara spesifik mencakup beberapa konsep utama, antara lain :
1.      Alienasi (alienation) yakni, seseorang yang teralienasi merasa seperti “orang asing” yang tidak memiliki hubungan dengan masyarakat atau beberapa kelompok dalam masyarakat.
2.      Anomi (anomie) yakni, seseorang yang menolak norma-norma yang ada dalam masyarakat.
3.      Penyimpangan (deviance) yakni, penyimpangan yang merujuk pola-pola perilaku yang dianggap berbeda dari yang sudah ada atau pada umumnya.
4.      Peran / sosial (rol/social) yakni, konsep yang merujuk jenis tingkah laku tertentu yang kita pelajari, yang berhubungan dengan harapan orang terhadap kita, yang terkait dengan situasi tertentu, yang ditentukan oleh tempat kita dalam suatu masyarakat.
5.      Jenis kelamin (gender) yakni, kontulsi sosial yang dijadikan pembeda antara individu berjenis kelamin laki-laki dan individu berjenis kelamin perempuan. Konsep ini penting ketika dikaitkan dengan peran-peran dan atribut-atribut seseorang dalam lingkungan sosialnya.
6.      Nilai-nilai (values) yakni, konsep yang merujuk perilaku seseorang, apa yang diinginkan atau tidak diinginkan, baik atau buruk, yang semua itu relatif. Nilai-nilai yang kita miliki, secara tak langsung memengaruhi perilaku kita. Nilai mencakup beragam fenomena sosial secra luas sek, politik, pendidikan dan sebagainya.
Menurut Berger manusia dan masyarakat adalah produk dialektis dinamis dan plural (dalam Eriyanto,  2001 : 13). Masyarakat adalah produk manusia, namun sebaliknya manusia adalah produk masyarakat (Eriyanto, 2001 : 17). Realitas dalam masyarakat tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga diturunkan oleh Tuhan, melainkan dibentuk dan dikontruksi oleh manusia itu sendiri. Dengan demikian realitas memiliki wajah ganda. Setiap orang bisa mempunyai kontruksi yang berbeda tentangnya.
Sekilas Mengenai Certia “Dam”
Drama “Dam” ini menceritakan proses persidangan kasus pembunuhan. Seorang tertuduh yang sudah melakukan pembunuhan pada seseorang tanpa motif yang jelas. Yang mana pembunuhan itu hanya dilatar belakangi oleh faktor kecemburuan sosial, karena si tertuduh merasa tidak puas akan kehidupannya yang selalu hidup menderita bahkan untuk makan saja tak mampu, sedangkan orang lain hidup bergelimang harta. Ketika ia melihat orang lain yang hidup mewah, secara seketika muncul luapan rasa kebencian yang begitu menggelegak yang mana mau tak mau harus disalurkan. Oleh sebab itulah ketika ia melihat sebuah sedan mewah bahkan terlalu mewah, secara spontan rasa benci itu muncul yang akhirnya mendorong untuk melakukan pembunuhan itu dengan sebilah celurit. Pada waktu itu secara tidak sengaja ia mengambil celurit dari seseorang yang kebetulan sedang buang air, ia menebas leher sipengendara mobil itu secara membabi buta.
Ketika ia melakukan pembunuhan itu, ia sendiri tidak tahu asal usul orang yang telah ia bunuh itu, dari mana korban mendapatkan mobil mewah itu ia sendiri pun tidak tahu. Karena yang ia tahu dengan harta sulapan itu, tak mungkin tidak semuanya itu pasti hasil penipuan, perampokan, korupsi, manipulasi yang sekarang ini lazim disebut sebagai kiat. Tertuduh beranggapan bahwa semua orang yang menggunakan mobil mewah itu adalah orang yang menghina kemiskinan negeri ini, menghina manusia yang hidup tercekek di bumi ini harus segera diberantas dan dimusnahkan. Tanpa ia mau tahu kalau sebenarnya mobil mewah itu merupakan hasil jerih payah sang korban selama ini.


Analisis Sosiologis  
Latar belakang pengarang adalah seorang budayawan yang dilahirkan di Tabanan Bali. Pengarang termasuk ke dalam kelas sosial menengah atas, yang kehidupan dan tempat tinggalnya selalu berbaur dengan masyarakat umumnya. Putu Wijaya yang sangat muak dengan kehidupan kota yang setiap hari sangat menjenuhkan, karena kecenderung orang borjuis  yang selalu mendiskriminasikan kehidupan orang miskin yang hidup sejajar dan  berdampingan dengan mereka. Bahkan mereka menganggap orang miskin sebagai sampah. Hal inilah yang kemudian yang menjadi dasar mengapa Putu Wijaya menggambarkan kembali realitas kehidupaan yang ada dalam masyarakat.
Dalam penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial,  yang dikaitkan dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Drama  ini dipahami dalam hubungannya dengan masyarakat kaum borjuis yang sara dengan kemunafikan dan individualisme masyarakat kota. Kehidupan mereka yang cenderung hanya memeikirkan kehidupan dirinya sendiri yang sukanya hanya mencari kesenangan dunia, tanpa menghiraukan kehidupan disekitarnya. Tetapi dalam persfektif kehidupannya mereka layaknya manusia tetapi, tingkah laku mereka telah dibutakan oleh kehidupan semu, karena dalam hati mereka sudah diracuni oleh naluri kebinatangan. Mereka sudah tidak mengindahkan tatak rama, moral, dan adat masyarakat timur. Dalam sosiologi isi karya sastra mengenai drama “Dam” ini dan  peramasalaha-permasalahannnya yang terdapat dalam drama tersebut dipandang sebagai refleksi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat.
Penerapan sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra dalam  drama Dam karya Putu Wijaya, sebagai karya sastra yang tergolong cukup berani karena drama ini merupakan representasi dari kehidupan masyarakat zaman Orde Baru pada waktu itu, akibatnya drama ini  banyak mendapat respon dan menimbulkan simpati masyrakat dikalangan pembaca. Drama Dam  banyak dibaca dan ditanggapi masarakat. Karena dalam drama Dam merupakan karya sastra yang mengusung makna diskriminasi dan kecemburuan sosial yang terjadi pada masyarakat. Penyetaraan terhadap status sosial masyarakat merupakan syarat terciptanya masyarakat beradab.


Motivasi para pembaca dalam membaca naskah drama “Dam” karya Putu Wijaya ini dapat dirasakan. Karena Dam mengangkat masalah-masalah yang sehari-hari biasa terjadi pada masyarakat melaui usaha-usaha yang dimainkan oleh tiap karakter yang ada dalam drama “Dam” tersebut. Bisa dikatakan “Dam” adalah karya sastra yang berusaha menunjukan perjuangan seseorang atas ketidak puasannya dalam menjalani hidup. Yang mana didalamnya drama tersebut, terdapat dialog-dialog yang ada dalam kehidupan sosial dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga drama ini memberikan peluang bagi pembaca untuk menafsirkannya secara bebas. Mengenai apa yang selama ini dilihat, dialami, dan dipikirkan antara idividu dalam masyarakat, yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk oleh masyarakat. Jadi Putu Wijaya memang berusaha menggambarkan keadaan yang ada di masyarakat tanpa memberikan penilaian secara kaku, yang pada dasarnya penulis berusaha menampilkan keadaan mayarakat seperti apa yang ada pada realita.
Sudut pandang sosiologis yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan sosiologis dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra tidak dapat diputuskan hubungannya kondisi politik, psikologis, sosial bahkan historis ketika karya itu diciptakan. Dalam “Dam” penulis bermain-main dengan tema-tema sosial. Dalam sudut pandang yang berbeda, yaitu disepanjang cerita “Dam’ penulis menyandingkan antara keindahan dan kenikmatan dengan kematian dan kejijikan, kejahatan dan kebaikan sebagai bagian alami interaksi kehidupan antara karakter yang ada.
Individu atau pengarang yang membuat teks yang merupakan produk masyarakat yang mampu memberikan reaksi atau kontribusi baik kepada masyarakat. Pengetahuan masyarakat dikontruksikan dan disajikan pengarang kembali kepada masyarakat. Disini teks yang berupa dialog-dialog merupakan produk interaksi juga bagian dialektika yang ikut membentuk pengetahuan.
Penggunaan media bahasa dalam dialog-dialog drama “Dam” sebagai perlawanan terhadap ketidak puasan dengan usaha-usaha dari para karakter melalui penyimpangan-penyimpangan di dalamnya untuk membuat tafsiran baru yakni menentang terhadap kontruksi


sosial dalam masyrakat. Drama “Dam” adalah pemunculan karakter yang mustahil untuk mendapatkan kepuasan atas seluruh ativitas kehidupan sosial.
Dilihat dalam analisis sosiologis Berger drama “Dam” karya Putu Wijaya ini, hubungan sosial yang saling berkaitan antara peran-peran yang ada dalam  dialog-dialog tersebut  yang dibagi dalam beberapa konsep utama, antara lain sebagai berikut :
1.      Alienasi
Gejala alienasi ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Dalang     : Mukanya berat bagaikan durian busuk dan suaranya mendendam seperti pisau bedah. Berbeda dengan politikus atau seniman, ia sama sekali tak mengelak atau mencoba mengaburkan apa yang sudah dikerjakannya.
Tertuduh : Aku tak kenal orang ini. Sampai sekarang pun aku tidak tahu siapa dia. Itu salah dia, kenapa aku sampai tidak tahu siapa dia. Kenapa dia melintas dengan mobilnya ketika aku ingin menebas.
Dalang   : Ya saya juga iri kalau liat istri orang lebih cantik, kalau rumahnya lebih hebring atau kalau mobilnya lebih wah. Tapi itu hanya sampai tingkat perasaan tok. Perasaan tok. Tidak ada tindakan sosial.
Tertuduh : Tetapi jangan sekali-kali aku diperlakukan begini, seperti binatang yang tidak punya hak bicara. Aku bukan tidak tahu meskipun aku bilang tidak tahu! Coba buka telinga kalian buka mata kalian. Buka telinga dan mata hati kamu yang ada didalam san lebar-lebar.
Interpretasi :
“Dam’ merupakan representasi tokoh yang “mustahil” yang menunjukan hasil resepsi sistem politik yang sarat kekerasan. Bentuk kekerasan itu sendiri representasi laki-laki dalam masyarakat yang merasa tidak puas akan kehidupan yang dijalaninya, karena ia hidup dalam dunia yang serba kekurangan. Bentuk tekanan hidup yang berasal dari pertentangan antara rasionalitas dengan emosi yang selalu mendominasi dalam setiap aktivitasnya. Puncak dari emosi yang merupakan representasi masyarakat yang berupa ketidak puasan akan keberhasilan seseorang, yang pada akhirnya menguasai dirinya atau logika normalnya untuk menentukan saat kematiannya sendiri. Emosi yang menguasai dunia nyata atau realitas yang menjadi tujuannya dan tindakan yang didasarkan pada emosi yang ada pada dirinya.
2.      Anomi
Gejala anomi ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Tertuduh : Tidak! Ini bukan dendam. Bagaimana bisa dendam kalau aku baru satu kali itu melihat dia. Mobilnya terlalu bagus dan mulus. Aku benci semua mobil dan seluruh isinya, khususnya mobil-mobil berkelas yang menghina kemiskinan negeri ini. Menghina semua manusia-manusia yang hidup tercekek di bumi ini. Barang-barang rakitan pabrik yang dibuat oleh negeri-negeri kaya untuk memeras negeri-negeri miskin itu, ternyata sudah lebih dari manusia ciptaan Yang Maha Kuasa.
Tertuduh  : Aku menggugat, aku tersinggung! Bagaimana bisa ada orang memiliki begitu banyak uang dari hasil jerih payahnya sendiri, sementara orang lain untuk makan saja tak mampu.
Tertuduh  : Aku tidak pernah dididik untuk paham, untuk melihat kebenaran, untuk menyadari di dalam kemewahan itu masih ada sisa kebaikan! Aku sudah dipenggal dari kenyataan! Aku, kami semua sudah terbunuh.
Interpretasi :
Karakter tertuduh menyajikan gagasan bahwa kehidupan yang serba kekurangan dapat memicu luapan rasa kebencian dan emosi yang berlebihan, kemudian berujung pada tindakan-tindakan anarkis, karena faktor diskriminasi dan kecemburuan sosial yang terjadi pada masyarakat.
3.      Penyimpangan
 Gejala penyimpangan ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Dalang  : Ketika kaca jendela dibuka, ia langsung mengayunkan ceruritnya. Setelah itu mendorong mobil itu masuk selokan dan kemudian membakarnya disitu.
Tertuduh : Tapi keinginan apa? Aku tak pasti betul, keinginan membunuh atau apa. Pokonya tiba-tiba ada luapan rasa benci, benci. Kebencian itu begitu menggelegak, harus disalurkan. Aku tak bisa menahannya. Akhirnya aku ambil saja celurit dari orang yang kebetulan sedang buang air. Celurit itu kuayunkan ke arah leher pengendara mobil itu.
Tertuduh : Hanya saja salahnya, kenapa ia mendapatkan semua itu sementara aku, kami semua tidak dapat apa-apa. Mau tak mau akhirnya ia jadi orang yang bersalah, karena berhasil mencapai sukses sementara kami semuanya gagal total tanpa sebab yang masuk akal.
Interpretasi :
Bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan tokoh tertuduh merepresentasikan kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat, yang mana ia melakukan pembunuhan tanpa alasan yang jelas, ia membunuh karena hanya ingin membunuh saja tanpa ia tahu siapa orang yang ia bunuh. Apakah orang yang ia bunuh orang baik atau tidak baik.
Karakter tokoh tertuduh ini merupakan perlawanan atas kehadiran nilai dan norma dalam masyarakat yang meliputi bentuk penguasaan dan penerapan kekuasaan yang diterapkan pada sistem hukum dan institusi  pemerintahan.
Perlawanan dalam suatu reaksi penguasaan emosi menunjukan bahwa ada suatu posisi lain tempat sesorang dapat menunjukan situasi itu pada dirinya. Pemberian label menyimpang dalam fungsi normalisasi agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat yang menunjukan dalam berbagai bentuk kekuasaan individu memasukan emosialitas dalam tubuh sebagai penyimpangan perilaku yang berperan sebagai dampak dan alat ketidak puasan seseorang.   
4.      Peran / Sosial
Konsep  ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Tertuduh : Siapa yang telah membimbingnya kedepan perasaanku. Jangan-jangan dialah yang datang membawa dorongan membunuh itu. Itu kemungkinan yang lain. Kalau begitu aku adalah korbannya.
Jaksa     : Saudara tak punya hak untuk iri! Kalau saudara ingin naik mobil seperti dia, kerja keras dong. Banting tulang, kalau perlu ngerampok, maaf ini hanya contoh, terserah itu urusan saudara pribadi.
Hakim     : Tapi apa kamu tidak tahu juga, bahwa orang-orang itu juga seperti kamu?
Jaksa   : Asal saudara tahu saja, orang yang saudara bunuh itu adalah seorang anggota masyarakat yang setiap hari tak pernah lupa membeli SDSB yang oleh ibu menteri sosial dalam wawancara RCTI tengah bulan Mei lalu dipujikan sebagai sumbangan pada negara.
Interpretasi :
Dialog-dialog dalam naskah drama “Dam” ini sesuai dengan konsep cermin bahwa kayra sastra sebagai tiruan kehidupan masyarakat. Dialog tersebut menunjukan bahwa kontruksi sosial akan identitas seseorang yang didasarkan pada peran individu dalam masyarakat, yang selalu menganggap orang miskin sebagai kaum yang selalu ditindas oleh kaum borjuis. Yang mana faktor inilah yang memicu timbulnya pelawanan orang miskin terhadap kaum borjuis melalui penyimpangan perilaku dan emosi yang memuncak, dengan penyelesaiannya membunuh semua orang kaya tanpa satu alasan yang pasti. Hal inilah yang diakui sebagai kegelisahan penulis akan peran dan aktivitas kehidupan dalam masyarakat.
5.      Gender
Konsep gender ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Tertuduh : Aku lihat sendiri para wanita pembantu terbungkuk-bungkuk mencuci berhala itu pagi-pagi buta. Aku lihat dia menguasai jalanan yang kita biayai milyaran rupiah dari hutang yang akan ditanggung anak cucu.
Dalang   : Pemuda itu tertawa. Ia tertawa bukan karena geli atau ingin mengejek sinis. Ia tertawa untuk mengambil nafas menekan dirinya sendiri.
Interpretasi :
Status sosisal sesorang dalam masyarakat yang didasarkan pada jenis kelamin tertentu dengan perilaku dan sifat yang melekat dalam drama “Dam” ini menunjukan bahwa ketidak puasan sesorang, karena ia menjalani kehidupan yang pahit. Bagaimana tokoh tertuduh mengangap kaum wanita telah dijadikan budak oleh perkembangan zaman untuk mencuci berhala, yang dalam hal ini direpresentasikan sebagai sebuah kendaraan mewah. Dalam hal ini kaum wanita tidak sanggup melawan arus nilai-nilai sosial dalam masyarakat, karena mereka takut hidup sengsara dalam menjalankan kehidupannya dan direndahkan oleh orang lain.
6.      Nilai-Nilai
Bentuk nilai-nilai ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Tertuduh : Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan apa yang kurasa benar. Aku tak sengaja mempergunakan cerurit, karena itulah senjata yang ada di pinggir jalan ketika keinginan itu muncul.
Jaksa     : Dengan menaiki mobil itu, menurut pengakuan keluarga dan catatan hariannya, ia ingin membalas penghinaan terhadap harga diri manusia, karena ia akhirnya ia berhasil memperkuda benda yang seumur hidupnya sudah menyisihkan dia di jalan raya.
Dalang   : Ia mengaku ia sudah berusaha keras. Bahkan begitu keras supaya hidupnya bisa berarti. Bahkan ia sampai membeli lotre dan ke dukun mencari jalan, tetapi tetap saja nasibnya tidak bergerak, hidupnya tidak pernah bisa mapan.
Interpretasi :
Melalui dialog-dialog dalam drama “Dam” Putu Wijaya menentang kontruksi dan nilai-nilai umum yang berlaku dalam masyarakat bahwa kecemburuan sosial dan emosi yang memuncak  merupakan pemicu tindakan-tindakan anarkis seseorang. Putu Wijaya juga menganggap penyetaraan terhadap status sosial masyarakat merupakan syarat terciptanya masyarakat beradab. Serta pemberian kesempatan bagi orang miskin untuk dapat menikmat hidupnya dan meraih semua impiannya, yang merupakan salah satu cara untuk melakukan perubahan kehidupan sosial yang lebih baik.
Simpulan :
Pertentangan yang terjadi antar karakter-karakter dalam drama ini merupakan bentuk tekanan hidup yang berasal dari pertentangan antara rasionalitas dan emosi yang selalu mendominasi dalam setiap aktivitasnya. Karakter tersebut yang berusaha tidak menerima norma-norma yang lazimnya terdapat pada masyarakat dan karakter tersebut tidak percaya akan kemampuan manusia untuk melakukan perubahan dalam kehidupan sosialnya. Puncak dari emosi yang merupakan representasi masyarakat yang berupa ketidak puasan akan keberhasilan seseorang. Emosi yang menguasai dunia nyata atau realitas yang menjadi tujuannya dan tindakan yang didasarkan pada emosi yang ada pada dirinya. Inilah yang diakui sebagai kegelisahan penulis akan peran dan aktivitas kehidupan dalam masyarakat.  

No comments:

Post a Comment

MATERI PEMBELAJARAN KELAS 9 BAB 1: MELAPORKAN HASIL PERCOBAAN

  MATERI PERTEMUAN KE 1 & 2 E-LEARNING KELAS IX MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh: Adis Rahmat S., M.Pd.     bab 1  melap...