Analisis Sosiologis Berger dalam Drama “Dam” karya Putu Wijaya
Tugas Kajian Drama
oleh
Adis Rahmat Sukadis
Karya
sastra merupakan hasil proyeksi lingkungan (pengarang, kondisi sekitar
pengarang maupun kondisi lingkungan tempat karya sastra diciptakan) yang
diungkapkan melalui bahasa atau dapat dikatakan karya sastra mempergunakan
bahasa sebagai medianya. Karena mempergunakan bahasa di dalamnya, maka teks di
dalamnya pun memuat bahasa-bahasa yang memiliki keterasingan dari bahasa yang
dipergunakan sehari-hari. Analisis teks sastra menurut metode analisis Arthur
Asa Berger yang memfokuskan pada hubungan sosial antar peran-peran yang ada di
dalam teks sastra tersebut. Yang secara spesifik mencakup beberapa konsep
utama, antara lain :
1. Alienasi
(alienation) yakni, seseorang yang
teralienasi merasa seperti “orang asing” yang tidak memiliki hubungan dengan
masyarakat atau beberapa kelompok dalam masyarakat.
2. Anomi
(anomie) yakni, seseorang yang
menolak norma-norma yang ada dalam masyarakat.
3. Penyimpangan
(deviance) yakni, penyimpangan yang
merujuk pola-pola perilaku yang dianggap berbeda dari yang sudah ada atau pada
umumnya.
4. Peran
/ sosial (rol/social) yakni, konsep
yang merujuk jenis tingkah laku tertentu yang kita pelajari, yang berhubungan
dengan harapan orang terhadap kita, yang terkait dengan situasi tertentu, yang
ditentukan oleh tempat kita dalam suatu masyarakat.
5. Jenis
kelamin (gender) yakni, kontulsi
sosial yang dijadikan pembeda antara individu berjenis kelamin laki-laki dan
individu berjenis kelamin perempuan. Konsep ini penting ketika dikaitkan dengan
peran-peran dan atribut-atribut seseorang dalam lingkungan sosialnya.
6. Nilai-nilai
(values) yakni, konsep yang merujuk
perilaku seseorang, apa yang diinginkan atau tidak diinginkan, baik atau buruk,
yang semua itu relatif. Nilai-nilai yang kita miliki, secara tak langsung
memengaruhi perilaku kita. Nilai mencakup beragam fenomena sosial secra luas
sek, politik, pendidikan dan sebagainya.
Menurut
Berger manusia dan masyarakat adalah produk dialektis dinamis dan plural (dalam
Eriyanto, 2001 : 13). Masyarakat adalah
produk manusia, namun sebaliknya manusia adalah produk masyarakat (Eriyanto,
2001 : 17). Realitas dalam masyarakat tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga
diturunkan oleh Tuhan, melainkan dibentuk dan dikontruksi oleh manusia itu
sendiri. Dengan demikian realitas memiliki wajah ganda. Setiap orang bisa mempunyai
kontruksi yang berbeda tentangnya.
Sekilas Mengenai Certia “Dam”
Drama
“Dam” ini menceritakan proses persidangan kasus pembunuhan. Seorang tertuduh
yang sudah melakukan pembunuhan pada seseorang tanpa motif yang jelas. Yang
mana pembunuhan itu hanya dilatar belakangi oleh faktor kecemburuan sosial,
karena si tertuduh merasa tidak puas akan kehidupannya yang selalu hidup
menderita bahkan untuk makan saja tak mampu, sedangkan orang lain hidup
bergelimang harta. Ketika ia melihat orang lain yang hidup mewah, secara
seketika muncul luapan rasa kebencian yang begitu menggelegak yang mana mau tak
mau harus disalurkan. Oleh sebab itulah ketika ia melihat sebuah sedan mewah
bahkan terlalu mewah, secara spontan rasa benci itu muncul yang akhirnya
mendorong untuk melakukan pembunuhan itu dengan sebilah celurit. Pada waktu itu
secara tidak sengaja ia mengambil celurit dari seseorang yang kebetulan sedang
buang air, ia menebas leher sipengendara mobil itu secara membabi buta.
Ketika
ia melakukan pembunuhan itu, ia sendiri tidak tahu asal usul orang yang telah
ia bunuh itu, dari mana korban mendapatkan mobil mewah itu ia sendiri pun tidak
tahu. Karena yang ia tahu dengan harta sulapan itu, tak mungkin tidak semuanya
itu pasti hasil penipuan, perampokan, korupsi, manipulasi yang sekarang ini
lazim disebut sebagai kiat. Tertuduh beranggapan bahwa semua orang yang
menggunakan mobil mewah itu adalah orang yang menghina kemiskinan negeri ini,
menghina manusia yang hidup tercekek di bumi ini harus segera diberantas dan
dimusnahkan. Tanpa ia mau tahu kalau sebenarnya mobil mewah itu merupakan hasil
jerih payah sang korban selama ini.
Analisis Sosiologis
Latar
belakang pengarang adalah seorang budayawan
yang dilahirkan di Tabanan Bali. Pengarang termasuk ke dalam kelas sosial
menengah atas, yang kehidupan dan tempat tinggalnya selalu berbaur dengan
masyarakat umumnya. Putu Wijaya yang sangat muak dengan kehidupan kota yang
setiap hari sangat menjenuhkan, karena kecenderung orang borjuis yang selalu mendiskriminasikan kehidupan
orang miskin yang hidup sejajar dan
berdampingan dengan mereka. Bahkan mereka menganggap orang miskin
sebagai sampah. Hal inilah yang kemudian yang menjadi dasar mengapa Putu Wijaya
menggambarkan kembali realitas kehidupaan yang ada dalam masyarakat.
Dalam penerapan sosiologi karya sastra dalam
hubungannya dengan masalah sosial, yang
dikaitkan dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Drama ini dipahami dalam hubungannya dengan
masyarakat kaum borjuis yang sara dengan kemunafikan dan individualisme
masyarakat kota. Kehidupan mereka yang cenderung hanya memeikirkan kehidupan
dirinya sendiri yang sukanya hanya mencari kesenangan dunia, tanpa menghiraukan
kehidupan disekitarnya. Tetapi dalam persfektif kehidupannya mereka layaknya
manusia tetapi, tingkah laku mereka telah dibutakan oleh kehidupan semu, karena
dalam hati mereka sudah diracuni oleh naluri kebinatangan. Mereka sudah tidak
mengindahkan tatak rama, moral, dan adat masyarakat timur. Dalam sosiologi isi
karya sastra mengenai drama “Dam” ini dan peramasalaha-permasalahannnya yang terdapat
dalam drama tersebut dipandang sebagai refleksi dari realitas yang terjadi
dalam masyarakat.
Penerapan sosiologi pembaca dan dampak sosial karya
sastra dalam drama Dam karya Putu Wijaya,
sebagai karya sastra yang tergolong cukup berani karena drama ini merupakan
representasi dari kehidupan masyarakat zaman Orde Baru pada waktu itu, akibatnya
drama ini banyak mendapat respon dan
menimbulkan simpati masyrakat dikalangan pembaca. Drama Dam banyak dibaca dan ditanggapi masarakat. Karena
dalam drama Dam merupakan karya sastra yang mengusung makna diskriminasi
dan kecemburuan sosial yang terjadi pada masyarakat. Penyetaraan terhadap
status sosial masyarakat merupakan syarat terciptanya masyarakat beradab.
Motivasi para pembaca dalam membaca
naskah drama “Dam” karya Putu Wijaya ini dapat dirasakan. Karena Dam mengangkat
masalah-masalah yang sehari-hari biasa terjadi pada masyarakat melaui
usaha-usaha yang dimainkan oleh tiap karakter yang ada dalam drama “Dam”
tersebut. Bisa dikatakan “Dam” adalah karya sastra yang berusaha menunjukan
perjuangan seseorang atas ketidak puasannya dalam menjalani hidup. Yang mana
didalamnya drama tersebut, terdapat dialog-dialog yang ada dalam kehidupan
sosial dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga
drama ini memberikan peluang bagi pembaca untuk menafsirkannya secara bebas.
Mengenai apa yang selama ini dilihat, dialami, dan dipikirkan antara idividu
dalam masyarakat, yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk oleh
masyarakat. Jadi Putu Wijaya memang berusaha menggambarkan keadaan yang ada di
masyarakat tanpa memberikan penilaian secara kaku, yang pada dasarnya penulis
berusaha menampilkan keadaan mayarakat seperti apa yang ada pada realita.
Sudut pandang sosiologis yang memahami karya sastra
dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan
sosiologis dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak
dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Karya sastra tidak dapat diputuskan hubungannya kondisi politik, psikologis,
sosial bahkan historis ketika karya itu diciptakan. Dalam “Dam” penulis bermain-main
dengan tema-tema sosial. Dalam sudut pandang yang berbeda, yaitu disepanjang
cerita “Dam’ penulis menyandingkan antara keindahan dan kenikmatan dengan
kematian dan kejijikan, kejahatan dan kebaikan sebagai bagian alami interaksi
kehidupan antara karakter yang ada.
Individu
atau pengarang yang membuat teks yang merupakan produk masyarakat yang mampu
memberikan reaksi atau kontribusi baik kepada masyarakat. Pengetahuan
masyarakat dikontruksikan dan disajikan pengarang kembali kepada masyarakat.
Disini teks yang berupa dialog-dialog merupakan produk interaksi juga bagian dialektika
yang ikut membentuk pengetahuan.
Penggunaan
media bahasa dalam dialog-dialog drama “Dam” sebagai perlawanan terhadap
ketidak puasan dengan usaha-usaha dari para karakter melalui
penyimpangan-penyimpangan di dalamnya untuk membuat tafsiran baru yakni
menentang terhadap kontruksi
sosial
dalam masyrakat. Drama “Dam” adalah pemunculan karakter yang mustahil untuk
mendapatkan kepuasan atas seluruh ativitas kehidupan sosial.
Dilihat
dalam analisis sosiologis Berger drama “Dam” karya Putu Wijaya ini, hubungan
sosial yang saling berkaitan antara peran-peran yang ada dalam dialog-dialog tersebut yang dibagi dalam beberapa konsep utama,
antara lain sebagai berikut :
1.
Alienasi
Gejala alienasi
ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang
digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Dalang : Mukanya berat bagaikan durian busuk dan
suaranya mendendam seperti pisau bedah. Berbeda dengan politikus atau seniman, ia sama sekali tak mengelak atau mencoba
mengaburkan apa yang sudah dikerjakannya.
Tertuduh
: Aku tak kenal orang ini. Sampai
sekarang pun aku tidak tahu siapa dia. Itu salah dia, kenapa aku sampai
tidak tahu siapa dia. Kenapa dia melintas dengan mobilnya ketika aku ingin
menebas.
Dalang : Ya
saya juga iri kalau liat istri orang lebih cantik, kalau rumahnya lebih hebring
atau kalau mobilnya lebih wah. Tapi itu hanya sampai tingkat perasaan tok.
Perasaan tok. Tidak ada tindakan sosial.
Tertuduh
: Tetapi jangan sekali-kali aku diperlakukan begini, seperti binatang yang
tidak punya hak bicara. Aku bukan tidak
tahu meskipun aku bilang tidak tahu! Coba buka telinga kalian buka mata
kalian. Buka telinga dan mata hati kamu yang ada didalam san lebar-lebar.
Interpretasi :
“Dam’ merupakan
representasi tokoh yang “mustahil” yang menunjukan hasil resepsi sistem politik
yang sarat kekerasan. Bentuk kekerasan itu sendiri representasi laki-laki dalam
masyarakat yang merasa tidak puas akan kehidupan yang dijalaninya, karena ia hidup
dalam dunia yang serba kekurangan. Bentuk tekanan hidup yang berasal dari
pertentangan antara rasionalitas dengan emosi yang selalu mendominasi dalam
setiap aktivitasnya. Puncak dari emosi yang merupakan representasi masyarakat
yang berupa ketidak puasan akan keberhasilan seseorang, yang pada akhirnya
menguasai dirinya atau logika normalnya untuk menentukan saat kematiannya
sendiri. Emosi yang menguasai dunia nyata atau realitas yang menjadi tujuannya
dan tindakan yang didasarkan pada emosi yang ada pada dirinya.
2.
Anomi
Gejala
anomi ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya
yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Tertuduh
: Tidak! Ini bukan dendam. Bagaimana bisa
dendam kalau aku baru satu kali itu melihat dia. Mobilnya terlalu bagus dan
mulus. Aku benci semua mobil dan seluruh isinya, khususnya mobil-mobil berkelas
yang menghina kemiskinan negeri ini. Menghina semua manusia-manusia yang hidup
tercekek di bumi ini. Barang-barang rakitan pabrik yang dibuat oleh negeri-negeri
kaya untuk memeras negeri-negeri miskin itu, ternyata sudah lebih dari manusia
ciptaan Yang Maha Kuasa.
Tertuduh : Aku menggugat, aku tersinggung! Bagaimana
bisa ada orang memiliki begitu banyak uang dari hasil jerih payahnya sendiri,
sementara orang lain untuk makan saja tak mampu.
Tertuduh : Aku
tidak pernah dididik untuk paham, untuk melihat kebenaran, untuk menyadari di
dalam kemewahan itu masih ada sisa kebaikan! Aku sudah dipenggal dari
kenyataan! Aku, kami semua sudah terbunuh.
Interpretasi :
Karakter
tertuduh menyajikan gagasan bahwa kehidupan yang serba kekurangan dapat memicu
luapan rasa kebencian dan emosi yang berlebihan, kemudian berujung pada
tindakan-tindakan anarkis, karena faktor diskriminasi dan kecemburuan sosial
yang terjadi pada masyarakat.
3.
Penyimpangan
Gejala penyimpangan ini dipelihatkan dalam
dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui
kalimat-kalimat berikut :
Dalang : Ketika
kaca jendela dibuka, ia langsung mengayunkan ceruritnya. Setelah itu
mendorong mobil itu masuk selokan dan kemudian membakarnya disitu.
Tertuduh
: Tapi keinginan apa? Aku tak pasti
betul, keinginan membunuh atau apa. Pokonya tiba-tiba ada luapan rasa benci,
benci. Kebencian itu begitu menggelegak, harus disalurkan. Aku tak bisa
menahannya. Akhirnya aku ambil saja celurit dari orang yang kebetulan sedang
buang air. Celurit itu kuayunkan ke arah leher pengendara mobil itu.
Tertuduh
: Hanya saja salahnya, kenapa ia
mendapatkan semua itu sementara aku, kami semua tidak dapat apa-apa. Mau
tak mau akhirnya ia jadi orang yang bersalah, karena berhasil mencapai sukses
sementara kami semuanya gagal total tanpa sebab yang masuk akal.
Interpretasi :
Bentuk
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan tokoh tertuduh merepresentasikan
kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat, yang mana ia melakukan
pembunuhan tanpa alasan yang jelas, ia membunuh karena hanya ingin membunuh
saja tanpa ia tahu siapa orang yang ia bunuh. Apakah orang yang ia bunuh orang
baik atau tidak baik.
Karakter tokoh
tertuduh ini merupakan perlawanan atas kehadiran nilai dan norma dalam
masyarakat yang meliputi bentuk penguasaan dan penerapan kekuasaan yang
diterapkan pada sistem hukum dan institusi pemerintahan.
Perlawanan dalam
suatu reaksi penguasaan emosi menunjukan bahwa ada suatu posisi lain tempat
sesorang dapat menunjukan situasi itu pada dirinya. Pemberian label menyimpang
dalam fungsi normalisasi agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
yang menunjukan dalam berbagai bentuk kekuasaan individu memasukan emosialitas
dalam tubuh sebagai penyimpangan perilaku yang berperan sebagai dampak dan alat
ketidak puasan seseorang.
4.
Peran / Sosial
Konsep
ini dipelihatkan dalam dialog yang
diucapkan oleh para tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat
berikut :
Tertuduh
: Siapa yang telah membimbingnya kedepan
perasaanku. Jangan-jangan dialah yang datang membawa dorongan membunuh itu.
Itu kemungkinan yang lain. Kalau begitu aku adalah korbannya.
Jaksa : Saudara tak punya hak untuk iri! Kalau saudara ingin naik mobil seperti dia,
kerja keras dong. Banting tulang, kalau perlu ngerampok, maaf ini hanya
contoh, terserah itu urusan saudara pribadi.
Hakim : Tapi
apa kamu tidak tahu juga, bahwa orang-orang itu juga seperti kamu?
Jaksa : Asal
saudara tahu saja, orang yang saudara bunuh itu adalah seorang anggota
masyarakat yang setiap hari tak pernah lupa membeli SDSB yang oleh ibu
menteri sosial dalam wawancara RCTI tengah bulan Mei lalu dipujikan sebagai
sumbangan pada negara.
Interpretasi :
Dialog-dialog
dalam naskah drama “Dam” ini sesuai dengan konsep cermin bahwa kayra sastra
sebagai tiruan kehidupan masyarakat. Dialog tersebut menunjukan bahwa kontruksi
sosial akan identitas seseorang yang didasarkan pada peran individu dalam
masyarakat, yang selalu menganggap orang miskin sebagai kaum yang selalu
ditindas oleh kaum borjuis. Yang mana faktor inilah yang memicu timbulnya
pelawanan orang miskin terhadap kaum borjuis melalui penyimpangan perilaku dan emosi
yang memuncak, dengan penyelesaiannya membunuh semua orang kaya tanpa satu
alasan yang pasti. Hal inilah yang diakui sebagai kegelisahan penulis akan
peran dan aktivitas kehidupan dalam masyarakat.
5.
Gender
Konsep
gender ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh-tokohnya
yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Tertuduh
: Aku lihat sendiri para wanita pembantu
terbungkuk-bungkuk mencuci berhala itu pagi-pagi buta. Aku lihat dia
menguasai jalanan yang kita biayai milyaran rupiah dari hutang yang akan
ditanggung anak cucu.
Dalang :
Pemuda itu tertawa. Ia tertawa bukan karena geli atau ingin mengejek sinis.
Ia tertawa untuk mengambil nafas menekan dirinya sendiri.
Interpretasi :
Status sosisal
sesorang dalam masyarakat yang didasarkan pada jenis kelamin tertentu dengan
perilaku dan sifat yang melekat dalam drama “Dam” ini menunjukan bahwa ketidak
puasan sesorang, karena ia menjalani kehidupan yang pahit. Bagaimana tokoh
tertuduh mengangap kaum wanita telah dijadikan budak oleh perkembangan zaman untuk
mencuci berhala, yang dalam hal ini direpresentasikan sebagai sebuah kendaraan
mewah. Dalam hal ini kaum wanita tidak sanggup melawan arus nilai-nilai sosial
dalam masyarakat, karena mereka takut hidup sengsara dalam menjalankan
kehidupannya dan direndahkan oleh orang lain.
6.
Nilai-Nilai
Bentuk
nilai-nilai ini dipelihatkan dalam dialog yang diucapkan oleh para
tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui kalimat-kalimat berikut :
Tertuduh
: Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan
apa yang kurasa benar. Aku tak sengaja mempergunakan cerurit, karena itulah
senjata yang ada di pinggir jalan ketika keinginan itu muncul.
Jaksa : Dengan
menaiki mobil itu, menurut pengakuan keluarga dan catatan hariannya, ia ingin
membalas penghinaan terhadap harga diri manusia, karena ia akhirnya ia
berhasil memperkuda benda yang seumur hidupnya sudah menyisihkan dia di jalan
raya.
Dalang : Ia
mengaku ia sudah berusaha keras. Bahkan begitu keras supaya hidupnya bisa
berarti. Bahkan ia sampai membeli lotre dan ke dukun mencari jalan, tetapi
tetap saja nasibnya tidak bergerak, hidupnya tidak pernah bisa mapan.
Interpretasi :
Melalui
dialog-dialog dalam drama “Dam” Putu Wijaya menentang kontruksi dan nilai-nilai
umum yang berlaku dalam masyarakat bahwa kecemburuan sosial dan emosi yang
memuncak merupakan pemicu
tindakan-tindakan anarkis seseorang. Putu Wijaya juga menganggap penyetaraan
terhadap status sosial masyarakat merupakan syarat terciptanya masyarakat
beradab. Serta pemberian kesempatan bagi orang miskin untuk dapat menikmat
hidupnya dan meraih semua impiannya, yang merupakan salah satu cara untuk
melakukan perubahan kehidupan sosial yang lebih baik.
Simpulan :
Pertentangan
yang terjadi antar karakter-karakter dalam drama ini merupakan bentuk tekanan
hidup yang berasal dari pertentangan antara rasionalitas dan emosi yang selalu
mendominasi dalam setiap aktivitasnya. Karakter tersebut yang berusaha tidak
menerima norma-norma yang lazimnya terdapat pada masyarakat dan karakter
tersebut tidak percaya akan kemampuan manusia untuk melakukan perubahan dalam
kehidupan sosialnya. Puncak dari emosi yang merupakan representasi masyarakat
yang berupa ketidak puasan akan keberhasilan seseorang. Emosi yang menguasai
dunia nyata atau realitas yang menjadi tujuannya dan tindakan yang didasarkan
pada emosi yang ada pada dirinya. Inilah yang diakui sebagai kegelisahan
penulis akan peran dan aktivitas kehidupan dalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment