ANATOMI NASKAH DRAMA DAG DIG DUG
oleh
Adis Rahmat. S
Drama merupakan sebuah karya sastra atau sebuah
komposisi yang melukiskan kehidupan dan perilaku manusia dalam bentuk dialog
untuk dipentaskan. Sementara kaidah dasar drama sebagai karya sastra sebagai
berikut: (1) dasar drama adalah koflik atau pertentangan antara tokoh/unsur
lain yang memiliki kekuatan, konflik tersebut akan mewarnai setiap bagian yang
ada dalam sebuah cerita drama, (2) dasar dari konflik adalah motif, motif
adalah alasan dan penyebab munculnya konflik terjadi, (3) apa yang menggerakkan
konflik, bagaimana konflik bergerak, dan bagaimana efek-efek dari konflik
bergantung pada jenis dan fungsi setiap unit motivasional, (4) Petunjuk
mengenai teknik dan maksud penulis naskah dapat selalu ditemukan dengan
menganalisis unit motivasional, (5) setiap unit motivasional dipengaruhi oleh
unit yang hadir sebelumnya dan sesudahnya, (6) menafsirkan satu unit ias
mempengaruhi makna keseluruhan permainan, (7) jika sejak awal unit motivasional
ditafsirkan dengan jelas, hasil dari tafsiran ini akan mempengaruhi permainan
secara keseluruhan.
Pembahasan mengenai konflik dalam naskah drama
adalah: (1) mengidentifikasi jenis unit motivasional sebagai indikasi sebab
munculnya konflik, (2) mengidentifikasi fungsi unit motivasional sebagai
indikasi bergeraknya dan efek dari konflik, (3) mengidentifikasi hubungan
antarunit motivasional untuk mendapatkan kandungan makna dan maksud pengarang
yang mengacu pada permasalahan kemanusian yang bersumber pada tabiat kehidupan
manusia (konflik).
Anatomi
Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug dibuat pada tahun 1973,
tepatnya tanggal 27 Oktober. Naskah ini ditulis ketika Putu tinggal dalam
masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto Jepang. Apa yang dituliskan Putu
dalam naskah tersebut, terinspirasi dari pengalaman-pengalaman yang ia alami
selama 7 bulan menghadapi kehidupan di Ittoen. Ittoen merupakan sebuah tempat
di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian
hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat
generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja.
Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi
mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda
dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan. Sebenarnya yang praktis
tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah
karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya
rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan
anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan
lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi,
main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap
hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur.
Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk
sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus
sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah
harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum
pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari
Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan
mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat
bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang.
Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan
kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa
tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi
hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana
Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang
kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu
dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem
kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya.
Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin
akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima
dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan
kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan
Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri
bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka
melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam
tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan
datang.
Gagasan
Zaman
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah
Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang
menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi
inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati
tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani
akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
Analisa
Plot
Plot atau alur cerita merupakan rangkaian
peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat).
Peristiwa demi peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang
tidak dapat dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya
peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian
selanjutnya.
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita (Jakob Sumardjo & Saini KM, 1991: 139,144).
a. Uraian Plot
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita (Jakob Sumardjo & Saini KM, 1991: 139,144).
a. Uraian Plot
Di sebuah rumah hiduplah sepasang suami-istri
bersama seorang pembantunya yang bernama Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri
itu mendapat kabar bahwa seseorang yang bernama Chairul Umam telah meninggal
karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka menerima kabar tersebut melalui
sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan menjelaskan hal tentang kematian
Chairul Umam lebih lanjut.
Pagi hari tepat pada waktu yang telah dijanjikan,
mereka menunggu. Beberapa saat kemudian datanglah dua orang tamu yang
dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan tentang peristiwa yang menimpa
Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar, mereka menyerahkan amplop yang
berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu lintas. Setelah itu kedua tamu itu
pun pergi.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Setelah dibuka dan dihitung, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari demi hari, usia mereka pun bertambah tua. Mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka.
Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Setelah dibuka dan dihitung, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari demi hari, usia mereka pun bertambah tua. Mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka.
Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli.
Setelah membeli bahan-bahan bangunan, keinginan
suami bertambah. Ia ingin membeli peti mati agar lengkap bahan-bahan penguburan
mereka. Istri menolak keras keinginan Suami, dan seperti biasa mereka kembali
cekcok. Selang beberapa hari, dua buah peti mati telah siap diruang tamu
disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian memanggil Tobing, mantan anak kos
mereka yang telah berkeluarga. Mereka bermaksud menjual rumah itu pada Tobing
dengan sistem kredit tak terikat waktu. Yang jelas kredit tersebut harus sudah
dilunasi ketika mereka meninggal. Namun sampai cicilan rumah itu lunas,
suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya. Ibrahim yang dipercayakan mengurus
proses pemakaman mereka juga tidak sabar lagi, padahal kedua suami-istri itu
sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam Suami dalam keadaan sekarat, dan
keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi suasana, sementara Istri
terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf pada Cokro dan Istrinya.
Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat yang ia simpan dibawah
kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya keadaan menjadi normal
kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug. Demikian plot naskah Dag-Dig-Dug.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug. Demikian plot naskah Dag-Dig-Dug.
b. Sifat
Plot dalam naskah Dag-Dig-Dug adalah linear plot. dimana suatu kejadian dan
konflik tersusun secara berurutan seperti bentangan garis dari A sampai Z.
Dimana penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan
tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir.
c. Jenis plot Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya. Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.
c. Jenis plot Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya. Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.
Struktur Dramatik
Struktur adalah suatu kesatuan
dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah atau dirusak, akan
berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Di dalam cerita-cerita
konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik
Aristoteles (1991:142).
Secara struktural naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara Aristotelian, dimana peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata apik satu dengan lainnya yang selalu berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang dan lebih melibatkan pikiran, perasaan penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik Aristotelian terdiri dari :
Secara struktural naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara Aristotelian, dimana peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata apik satu dengan lainnya yang selalu berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang dan lebih melibatkan pikiran, perasaan penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik Aristotelian terdiri dari :
a. Eksposisi
Eksposisi adalah bagian awal atau
pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi
berfungsi sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai
berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa
berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh
cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi dan
sebagainya (1991: 143).
Eksposisi dimulai pada babak I ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.
Eksposisi dimulai pada babak I ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.
b. Rising Action
Dimulai ketika mereka menerima
tamu yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam, yang sekaligus memberikan
uang asuransi. Peristiwa ini membuat masalah berkembang, dimana konflik-konflik
kecil mulai bermunculan. Mereka mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau
tidaknya uang tersebut. Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau
jumlah uang yang diterima itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan
kebingungan tentang siapa Chairul Umam menghantui mereka, akhirnya uang
tersebut diputuskan untuk dikembalikan dengan menambahkan kekurangannya dari
gaji pensiunan mereka.
c. Komplikasi
Komplikasi atau penggawatan
merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian
ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan
tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian
timbullah kegawatan (1991:143). Kegawatan ini saling bertubrukan dengan tokoh
lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati dirinya, sehingga peta
konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi dimulai ketika sang
suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kematian dan penguburan
mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain, yakni agar uang dibungakan
terlehih dahulu. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini justru
semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang
berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri karena
masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.
d. Klimaks
Komplikasi disusul klimaks yang
merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini pihak-pihak yang
berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir
yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh cerita ditentukan
(1991:143).
Klimaks dimulai ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi.
Klimaks dimulai ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi.
Selain konflik secara fisik,
sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan
dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan
menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah
lingkaran kesunyian.
e. Resolusi
Resolusi menyusul klimaks. Dalam
bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau
tokoh-tokohnya terpecahkan. Resolusi ditandai dengan berakhirnya pertengkaran
tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati, masing-masing
bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya tetapi tidak
dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang istri tetap
tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang membaringkan
Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa. Disini eksistensi
masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat keasliannya.
Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana.
f. Konklusi
Konklusi adalah bagian terakhir
sebuah cerita. Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti. (1991 :
144) Konklusi dalam naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog.
Kematian adalah sebuah rahasia yang hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita
tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam
sangkar kesunyian, kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan
akhir cerita pada penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir
naskahnya.
Tipe Lakon
Tipe lakon atau disebut genre
lakon, jenis lakon atau bentuk lakon. Naskah Dag-Dig-Dug ini adalah berbentuk
tragedi komedi, atau yang kita kenal dengan tragic comedi.
Tragedi komedi yaitu bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol (mengundang tertawaan), tetapi yang bertema tragis dimana akhirnya menyedihkan ( Yoyo&Willy, 1985:37).
Dalam naskah ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Mereka, terutama tokoh Istri sangat mudah mempercayai kabar yang belum jelas yang akhirnya justru merugikan mereka sendiri. Sementara pada orang yang mereka kenal, mereka selalu menaruh kecurigaan yang besar.
Tragedi komedi yaitu bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol (mengundang tertawaan), tetapi yang bertema tragis dimana akhirnya menyedihkan ( Yoyo&Willy, 1985:37).
Dalam naskah ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Mereka, terutama tokoh Istri sangat mudah mempercayai kabar yang belum jelas yang akhirnya justru merugikan mereka sendiri. Sementara pada orang yang mereka kenal, mereka selalu menaruh kecurigaan yang besar.
Sikap Suami dan Istri menunjukkan
kekonyolannya ketika mereka telah mempersiapkan segala keperluan pemakaman.
Bahkan sempat sang suami merasa ajalnya sudah datang ketika penyakitnya kumat.
Tetapi tidak jadi mati dan malah keadaan fisiknya kembali ke keadaan normal.
Perilaku yang ditunjukkan tokoh Suami dan Istri tadi sangat komedi sekali.
Memang bukan komedi rendah yang menimbulkan gelak tawa karena tingkah laku
tokohnya yang mengundang kelucuan secara fisik. Tetapi lebih merupakan komedi
satir yang mentertawakan tingkah laku kejiwaan seseorang yang secara psikologi
mengalami ketidaklaziman atau dengan kata lain mengalami cacat tragis yang
disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam menjalani kenyataan, sehingga
menimbulkan pola watak absurd.
Model Penokohan
Round character adalah model yang
penulis anggap tepat untuk diterapkan pada lakon ini berlandaskan pada konvensi
naskah dan pembawaannya yang mengacu pada realisme, yakni mengkarakterisasi
tokoh secara sempurna sebagaimana adanya manusia.
Yang dimaksud tokoh yang
berbentuk round atau bulat adalah tokoh yang diberikan karakter oleh pengarang
secara kompleks dan tidak hanya hitam putih saja. Kebanyakan tokoh-tokoh yang
berbentuk round ini terdapat dalam lakon-lakon yang sifatnya realistis (Yoyo&Willy,
1985: 26-27). Dengan demikian, aktor memiliki keleluasaan dalam mengembangkan
peran yang dimainkannya, namun tetap dalam batas sebuah konvensi pemeranan
realisme.
Potensi Naskah
Kelebihan Naskah
Naskah ini adalah naskah pemenang
pertama dalam sayembara naskah lakon yang diselenggarakan Dewan Kesenian
Jakarta yang ke III pada tahun 1974. Sudah barang tentu kualitas naskahnya
tidak perlu diragukan lagi. Ceritanya sangat unik untuk sebuah naskah realis.
Memang hanya menceritakan pertentangan antara suami-istri dan orang lain
disekitar mereka (Cokro dan Ibrahim) karena kepikunan dan sifat ngeyel yang
mereka punya. Tetapi makna yang terkandung didalam dialog-dialognya begitu
dalam. Sindiran atau pesan tersembunyi dalam dialog tokoh-tokohnya, sangat
cerdas. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga
memudahkan dalam pemahaman dialognya.
Dalam naskah ini, pengarangnya
memberikan kekuasaan penuh untuk mencoba karakter tokoh didalamnya, tanpa
membatasinya dengan gambaran fisiologis. Karena Putu menyembunyikan identitas
fisik tokoh-tokohnya. Dalam cover depan naskahnya pun Putu menuliskan: “PARA
PEMAIN YANG MEMBAWAKAN NASKAH INI DAPAT SALING BERTUKAR PERAN DARI BABAK KE
BABAK TANPA MENYEMBUNYIKAN IDENTITASNYA”. Demikian juga dengan akhir ceritanya,
Putu menyerahkan nasib tokoh didalamnya kepada penggarap naskahnya. kita bebas
membawakannya sesuai keinginan kita. Tidak ada nama, tidak ada tempat, tidak
ada waktu dan tidak ada kata selesai. Karena itu pada setiap naskah Putu selalu
membubuhkan kata : “Dan Seterusnya”.
Kekurangan Naskah
Kekurangan dari naskah ini
adalah, tidak digambarkan dengan jelas tentang fisiologis tokoh. Sebenarnya
tidak dapat juga dikatakan sebuah kekurangan. Banyak pengarang drama yang
sengaja tidak menjelaskan gambaran fisik tokohnya. Hal ini kemungkinan
dimaksudkan untuk membebaskan interpretasi aktor yang akan memerankannya. Masuk
akal memang, karena pembatasan terhadap peran sama juga membunuh kreativitas.
Akhir cerita dan nasib tokoh sentralnya pun diserahkan sepenuhnya kepada
penggarap. Dan ini menjadi gaya khas Putu Wijaya dalam setiap karya-karyanya.
Selain itu, naskah dan cerita hanya dititik beratkan pada satu wilayah kultur
saja, yaitu kultur Jawa. Padahal, bila dilihat pokok permasalahannya, tentang
kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia dan derita dalam
hidup. Semua orang juga mengalami hal tersebut. Tetapi apabila identitasnya
secara umum, ada kemungkinan setiap penggarapan menjadi baru sesuai dengan
zamannya. Bila dilihat, pemikiran-pemikiran semacam ini, yakni tentang
keinginan untuk segera mati, justru lebih merebak di zaman sekarang karena
frustasi oleh berbagai keadaan hidup, ekonomi, politik, pendidikan, budaya,
dll.
Reformulasi Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug adalah naskah
yang panjang yang apabila dipentaskan akan memakan waktu yang lama.
Permasalahan durasi ini menjadi hal yang harus dipikirkan. Jalan yang penulis
tempuh dalam mempersingkat pertunjukkan salah satunya dengan mengurangi waktu
tampil. Untuk itu penulis mengedit naskahnya kembali, dengan membuang beberapa
dialog untuk mengejar durasi waktu yang dipadatkan, tanpa bermaksud
menghilangkan esensi dari naskah tersebut.
Aksentuasi Garap
Dalam membawakan naskah ini, laku
aktingnya dibawakan secara realis walaupun bentuk naskahnya surealis. Penulis
tidak membuat scenery secara keseluruhan realis, karena yang menajadi absurd
hanya pada pola pikir pemainnya saja. Pada beberapa bagian tertentu hanya
dibuat simbol-simbol saja. Seperti tidak dihadirkannya pintu dan jendela.
Sehingga imajinasi aktor pun dituntut lebih kreatif menyikapi kondisi ini.
Naskah drama sebagai karya sastra di dalam
penelitian ini dipandang sebagai dunia otonom yang mendapatkan perannya dalam
jaringan perhubungan antara penulis naskah (teks) dan pembaca, serta faktor-faktor
relevan yang mengikat hubungan tersebut. Sebagai sebuah dunia otonom, naskah
drama merupakan sebuah sistem yang terbangun atas jalinan unsur-unsurnya.
Secara internal unsur-unsur itu saling mengikat, berjalan saling menunjang
keberadaan masing-masing serta secara bersama-sama unsur-unsur tersebut
membentuk totalitas naskah drama secara utuh. Dengan demikian pembahasan
tentang konflik dalam naskah drama yang pembahasannya difokuskan pada setiap
konflik yang membentuk alur naskah drama juga tidak dapat dilepaskan dari
pemahaman terhadap totalitas unsur pembangunnya, karena konflik merupakan
bagian integral dari keseluruhan naskah, maka konflik harus dipahami melalui
unit-unit motivasional yang mendasarinya.
Contoh data dalam penelitian Konflik dalam
Naskah Drama Dag Dig Dug Karya Putu Wijaya adalah sebagai berikut:Babak I, Adegan I, Unit 1:
SUAMI : Siapa?
ISTRI: Lupa lagi?
SUAMI : Tadi malam hapal. Siapa?
ISTRI: Ingat-ingat dulu!
SUAMI : Lupa, bagaimana ingat?
ISTRI: Coba, coba! Nanti diberi tahu lupa lagi. Jangan biasakan otak manja.
SUAMI : Chai … chai … chairul … ka, ka … ah sedikit lagi (berusaha mengingat-ingat)
(tak sabar) Kairul Umam!
ISTRI: Ah? Kairul umam? Ka? Bukan Cha? Kok lain?
SUAMI : Kairul Umam! Kairul Umam! Kairul Umam! Ingat baik-baik!
ISTRI: Semalam lain
SUAMI : Kok ngotot!
ISTRI: Semalam enak diucapkan, cha, cha … begitu. Sekarang kok, Ka, Ka … siapa?
SUAMI : KAIRUL UMAM!
ISTRI: Kok Kairul, Cha!
SUAMI : Chairul Umam!
ISTRI: Semalam rasanya. Jangan-jangan keliru. Coba lihat surat lagi.
SUAMI : Kok ngotot. Ni lihat (menyerahkan surat)
No comments:
Post a Comment